Aku merasa tidurku terganggu saat selimut yang membungkus tubuh kecilku ini ditarik pelan pelan. Merasa tidak berhasil membuatku bangun, karena aku menarik kain tebal itu seperti semula, dia menyingkap sedikit ujung selimut hingga menampilkan kakiku. Dan dengan jahilnya, makhluk kecil berbulu hitam itu menjulurkan lidah pada ujung jariku, sehingga aku merasa geli.
“Zeroo” lirihku pelan, memanggil namanya.
Dia menghentikan aktivitasnya sejenak, “Meong,” Lalu kembali membuat kakiku geli dengan lidahnya.
Dengan cepat, aku menekuk kakiku hingga terbungkus kembali dengan selimut.
“Meong," Kucing itu berjalan jalan diatas tubuhku, lalu mulai menggerakan ekornya yang panjang saat dia tepat di depan wajahku. Aku sudah berusaha mendorongnya dengan pelan agar menjauhkannya dariku, tapi ternyata dorongan itu cukup membuat Zero jatuh dari kasur. Tanpa peduli, aku berbalik badan memunggunginya.
“Meong" Dia seolah protes dengan kelakuanku. Tidak sampai lima detik, ia meloncat dan mendarat tepat di atas kepalaku, kukunya yang kecil mencoba memainkan rambutku hingga menjadi tarikan kecil.
“Zero!" Teriakku saat merasakan perih, seraya mendudukan diri di tepi kasur. “Sakit tahu” ucapku mendelik padanya yang sudah diam bak patung di atas selimutku yang berantakan.
“Jangan tarik tarik rambut dong, sakit ih” Seolah olah kucing hitam itu mengerti dengan perkataanku, dia menundukkan kepalanya dengan empat kakinya yang menekuk, diam, tidak berkutik.
“Meong” Suara dia mengecil seolah mengatakan permintaan maaf.
“Aku nggak akan kasih kamu makan, baru tau rasa” Kucing itu dengan cepat berjalan ke arahku, lalu mendusel dusel perutku sembari mengeong.
“Gelii ya Allah, canda doang Zer, udah sana” Aku menarik Zero, lalu berdiri menghadap cermin kecil yang terpasang di dinding. Menarik ikatan rambut, dan menyisir pelan dengan jari, saat akan mengikatnya lagi, ikat rambutku sudah raib ditanganku, ia malah menjadi mainan Zero di lantai.
“Aish” Alih alih mengambil ikat rambut, aku malah mengizinkan Zero memainkannnya. Sambil memainkan rambut panjang bergelombang dengan jariku, aku melangkahkan kaki ke kamar mandi. Jam memang masih menunjukan pukul 03.10, dan aku terbiasa mandi pagi sebelum subuh, agar wangi dan segar saat tahajud di masjid bersama para santri serta santriwati nanti.
***Setelah mengobrol dengan santriwati yang dekat denganku, aku langsung pamit masuk ke rumah, menyimpan mukena di kamar dan bergegas pergi ke dapur, untuk menyiapkan sarapanku.
“Buah naganya habis, hari ini jus mangga aja ya kak, udah adek taruh di kulkas” Suara Kahfi terdengar saat aku memasuki dapur. Dia menunjuk dengan dagunya ke arah kulkas, sedangkan tangannya memegang blender dengan sisa sisa jus yang menempel di permukaan.
Aku mengangguk, tersenyum seraya mengangkat jempol, “Makasih banyakk”
Aku membuka kulkas, jus itu sudah ada di tumbler putih kesayanganku. Aku berjongkok untuk mengambil telur puyuh yang hendak aku rebus sebagai menu makan.
“Jadi rebus telur puyuh, Kak?” tanya Kahfi tanpa menoleh, dia sedang mencuci blender di wastafel.
Aku memandang pungunggnya, “Kok tahu?”
Dia berbalik badan, lalu memutar bola mata, “Siapa yang suka kasih ultimatum tiap menit, 'Dek, awas aja kamu rebus telur puyuh di kulkas, nanti kamu yang kakak rebus, baru tau rasa'"
Aku terkekeh, “Hehe, antisipasi Dek, ini kan bekal kakak buat hari ini”
“Cape nggak sih kak sarapan di kereta atau di sekolah?” Kahfi menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketos Menyebalkan
Teen FictionSedari dulu, dari bangku sekolah dasar hingga SMP, aku tidak pernah ada keinginan untuk terjun di dunia ekstrakulikuler ataupun organisasi. Tapi itu berubah saat aku menginjak masa SMA, pilihanku jatuh untuk menjadi anggota OSIS. Di bulan pertama...