Untungnya Vins sudah meminta staf keamanan mematikan CCTV di ruangannya sementara waktu, "Yah ada untungnya aku minta CCTV-nya mati."
"Kalau ada yang nguping pembicaraan kita juga sama aja, Vins!"
Kontan, Vins melirik panik ke pintu ruangannya juga jendela ruangannya. Kecuali Superman atau Spiderman, nggak mungkin kan manusia biasa menempel di jendela luarnya untuk menguping?
Tifa terkekeh merasa bingung mengapa pria seperti Vins yang banyak diberitakan pria berbakat juga jenius mudah percaya kata-katanya?!
"Menurut kontrak ini kita harus memperlihatkan situasi sebagai sepasang suami dan istri yang menurut pendapatku pribadi, sangat berlebihan, hanya saat di kantor aja?" tanya Tifa sambil memutar bola matanya.
"Hmm." Vins mengangguk.
"Kita tinggal di mansion yang sama dengan kamar berbeda?"
"Soal itu, aku akan tinggal di apartemenku yang lain kalau kamu keberatan kita tinggal bersama. Tapi karena aku nggak mau menimbulkan kecurigaan orang-orang, lebih baik kita tinggal bersama saja."
"Yah berarti tandanya kita tinggal bersama, Vincent Kyler." Tifa berseru kesal berusaha sabar.
"Mengenai pesta pernikahan, aku nggak mau pusing. Biar nanti diurus oleh WO langsung saja. Kalau kamu punya—"
"Tunggu dulu!" sela Tifa. "Kamu menginginkan anak di pernikahan kontrak ini?!" kedua mata Tifa makin mendelik besar. "Yang benar aja, Vins!"
Vins mengangguk santai lalu menegak cangkir kopinya yang sudah tidak panas lagi, "Kalau kamu nggak mau berhubungan badan, kita bisa coba metode lain seperti inseminasi buatan atau bayi tabung. Ada biaya tambahan kok mengenai hal itu."
"Kenapa kamu menginginkannya?" tanya Tifa berusaha terdengar realistis sambil melipat kedua tangannya.
Bukankah biasanya pernikahan yang bersifat kontrak itu hanya perkara tinggal bersama tanpa mengharuskan punya keturunan? Kecuali ada variabel lain yang tercipta antar kedua individu seperti cinta misalnya.
Namun, itu persoalan yang berbeda kan?
"Ibuku minta keturunan. Dia bahkan akan menawarkan kontrak ibu pengganti dari wanita lain kalau aku nggak menikah juga. Sementara ayahku, mewajibkanku memiliki pewaris sebelum beliau mewariskan seluruh perusahaan dan asset yang dimilikinya padaku."
"Bukan urusanku kalau kamu jadi gelandangan juga kan, Vins?"
Vins terkekeh, "Andai pilihan hidupku semudah itu, Tifa.... "
Tifa mendadak terdiam. Wanita itu teringat dengan tatapan juga cerita yang meluncur dari Vins ketika mereka tengah jalan-jalan sore di pinggir pantai Melasti. Aura sedih terpancar jelas ketika Vins merasa hidup sempurnanya yang diinginkan semua orang; CEO perusahaan ternama, memiliki kekayaan dan asset tidak terhitung banyaknya juga koneksi bertaburan di mana-mana, bagi Vins hanyalah kesenangan semu.
"Aku memikirkan pilihan itu kok... Melepaskan nama besar Kyler dan segala fasilitas yang diberikan. Tapi, ibuku sudah pasti nggak akan memudahkan hidupku. Dia akan memastikan semua koneksinya untuk memblokir segala akses dalam hidupku..." terang Vins dengan nada lirih.
Tifa menghela napas panjang. Seharusnya tadi dia sempatkan sarapan terlebih dahulu. Akibatnya sekarang otak Tifa tidak bisa bekerja lebih giat untuk berpikir secara jernih.
Baru saja Tifa hendak menyatakan sesuatu, ponselnya bergetar karena sebuah notifikasi baru masuk. Rupanya email yang berisi pemakaian transaksi pemakaian kartu kreditnya. Kepala Tifa makin berdenyut kencang ketika ingat persoalan keuangan yang membelit hidupnya belakangan ini.
Tifa menekuni kembali halaman demi halaman kontrak kerja menjadi istri Vincent Kyler. Kali ini, Tifa membacanya dengan cermat tanpa emosi. Memastikan setiap poin pasal perjanjian yang tertera dapat diterima sedikit saja oleh akal sehatnya.
"Kamu nggak menerima kontrak ini?" tanya Vins dengan khawatir.
"Apa aku punya pilihan lain?" sahut Tifa dengan sarkastis.
"Bisa saja sih jika ibuku atau mungkin ayahku menemukanmu dan memberikan kontrak lainnya," seru Vins santai yang langsung membuat Tifa seketika mendelik.
Membayangkan saja akan bertemu Rosalie Kyler, ibu Vins atau William Kyler, Tifa sudah merinding. Rosalie bukan jenis wanita intimidatif dengan tatapan mengerikan. Namun lebih kepada keanggunan dan gaya elegannya. Tifa sering melihatnya di majalah bisnis.
"Sebenarnya... Aku ingin negoisasikan beberapa hal sih..."
"Oke."
"Pertama, mengenai punya anak. Tidak dalam waktu dekat ya, Vins!"
"Alasannya?"
"Aku belum siap! Lagipula, orang-orang akan berpikir aku sudah hamil duluan makanya menikah," seru Tifa dengan mengecilkan suaranya.
"Sebenarnya itu sih yang aku harapkan. Memberi solusi langsung untuk semua masalah." Vins tersenyum.
"Ya, aku belum siap aja!"
"Kita kan sudah pernah melakukannya, Tifa. Kali ini kita melakukannya tanpa pengaman. Mudah kan?"
Tifa menendang tulang kering Vins. Memang sulit bernegoisasi dengan Vins.
"Ya sudah, aku paham..." seru Vins sambil mengusap tulang kering di kaki kirinya dan meringis beberapa saat. "Berapa lama waktu yang kamu inginkan?"
"Enam bulan setelah kita menikah."
Vins mengangguk kemudian mengambil pulpen dan menulisnya pada selembar memo kosong di hadapannya, "Ada lagi keluhanmu?"
"Sejauh ini, kontrak ini sudah oke... Tapi ada dua hal yang aku takutkan..."
"Masih soal buat anak?" tanya Vins kesal.
"Kenapa ya, otakmu sekarang isinya soal itu aja? Mau aku tendang lagi kaki kirimu sekarang?!" ancam Tifa.
Vins terkekeh, "Kita sudah pernah bermalam bersama, tidur bersama, apa lagi sih yang bikin kamu malu?"
"Vins, serius!"
"Oh, kamu hubungan kita jadi serius? Aku nggak keberatan."
"Gimana sama ibumu? Apa beliau akan semudah itu memberi izin pernikahan kita?" tanya Tifa khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Office Husband
Roman d'amourTentang liburan penuh gairah yang dilalui Vincent Kyler bersama Tiffany Leksmana, hingga mengantarkan mereka pada sebuah konsekuensi berwujud kontrak kerja sebagai sepasang suami dan istri selama di kantor. Vincent berpikir solusi tersebut yang pali...