Menunggu adalah hal yang aku benci.
Bukan artinya aku tak bisa menjadi sabar.
Tapi, sabar terkadang begitu menyesakan.
Apa lagi melihat orang yang kita cintai hanya bisa terbaring menutup mata tak tahu kapan mata beriris cokelat itu terbuka.
Terkadang aku ingin meminta para dokter untuk berhenti mengatakan aku tak memiliki harapan lagi. Aku ingin menyuruhnya diam. Biarkan aku menunggu keajaiban itu datang. Dan jangan lagi mengganggu harapanku.
Meski jauh dari dalam hati, perlahan rasa ingin menyerah timbul.
"Dua hari lagi kita berangkat." Ujar Kasih padaku yang menatap lurus pada lelaki yang berbaring di atas ranjangnya.
"Jenaka." Panggilnya pelan karena aku masih tidak meresponnya.
Sekali tarikan nafas aku bangkit dari kursi yang lima tahun ini menjadi tempatku.
"Kamu udah persiapkan barangku?" Tanyaku masih memusatkan atensi pada lelaki di depanku.
Dia tidak koma seperti yang dokter katakan. Dia seperti tertidur, meski selang menempeli setengah sisi wajahnya.
"Udah. Kamu mau berangkat dari sini atau dari rumah?"
"Dari sini." Kataku tanpa berpikir. "Kamu bisa siapkan 'kan? Semuanya?" lirihku.
Dia mengangguk. "Kalo gitu aku balik ke studio dulu."
Saat dia bangkit dan berjalan ke pintu keluar, aku memanggil namanya. Kasih, selaku manager yang selama ini tetap setia menemaniku di saat semua orang menyerah padaku menoleh.
"Terima kasih." Ucapku dari hati.
Dia tersenyum tulus. "Walaupun aku butuh 5 tahun untuk bikin kamu kembali seperti Jenaka yang aku kenal... meski nggak sepenuhnya... aku tetap senang. Dan aku selalu percaya sama kamu."
Sedikit dari banyaknya orang, Kasih adalah salah satu orang yang masih tetap percaya padaku.
Pada orang egois, lalai, dan tak pantas sepertiku.
Dia masih berada di sini.
Aku menahan gumpalan isakan yang menyangkut di tenggorokan dan hanya mengangguk membelakanginya.
Seperti kata Kasih, dia butuh 5 tahun untuk membuatku menjadi Jenaka.
Dan aku butuh 5 tahun mencoba memperbaiki diriku sendiri.
Tapi, meski 5 tahun berlalu, aku masih belum mendapatkan dirinya kembali ke dunia ini. Meski dia ada di depanku.
"Kamu kapan bangun? Aku butuh kamu..." lirihku menatapnya lurus dan hampa.
Jika saja dulu aku tak egois dan mementingkan keinginanku, mungkin ini semua tak akan terjadi. Mungkin dia akan tetap di sini bersamaku. Kami masih tetap saling bercanda saling menjahili.
Saling mencintai.
Layaknya sepasang suami-istri.
Malam itu...
Di antara derai hujan, seharusnya aku tak memaksanya pergi menemuiku. Seharusnya aku percaya padanya kalau ia sedang sakit kepala. Seharusnya aku mendengarkan kata Kasih kalau tak baik mengendarai mobil tengah malam dalam cuaca buruk. Seharusnya aku yang mengalah memilih pulang dengan taksi.
Bukan memaksanya.
Bukan bersikap kekanakan dan menuntut di perlakukan seperti ratu.
Tapi, semua sudah terlambat.