🍉Revan
"Jangan tinggalin aku... jangan pernah..."
Aku terus memeluknya, mencoba menenangkannya dengan usapan yang lembut di punggungnya. Dia terus memelukku erat, meyakinkan dirinya kalau aku akan selalu ada untuknya.
"Nggak akan. Aku akan selalu di sini."
Itu yang aku janjikan pada Samara. Aku memang tidak akan ke mana-mana, aku akan selalu ada di sisinya. Di perempuan yang memiliki kehidupan yang pelik. Yang membuat jiwaku tergerak menjadi perisainya.
Aku akan selalu ada disampingnya, menjadi penguat dan penghapus air matanya Samara.
Dia terlalu berharga untuk hancur. Tiap harinya ketakutan dia sebagai anak satu-satunya, di tengah keluarga yang hancur berantakan, aku tetap meyakinkan Samara jika dia memiliki aku.
Samara adalah perempuan baik. Terlalu baik untuk dunia ini miliki. Tinggi kepeduliannya pada sesama tidak bisa diragukan. Jiwa malaikatnya memang apa adanya. Tidak sedikit yang mengagumi dirinya. Termaksud aku sendiri.
Setahun yang lalu, di saat hati ini hancur dan tak percaya bisa dikembalikan lagi, aku melihat Samara dengan suara merdunya bernyanyi di sebuah cafe. Suara merdu dan wajah yang menghayatinya membuat mata ini terpaku terus padanya.
Kala itu, aku pikir tidak ada lagi yang bisa menggerakan hati ini setelah hancur berkeping-keping. Tapi, hanya dengan suaranya, Samara mampu membuatku terdiam dengan tatapan tertuju padanya, sampai dia selesai menyanyikan lagu yang mewakili suasana hatiku saat itu.
Dia ramah, bahkan hampir dikatakan bodoh karena mudah percaya pada orang-orang yang baru dikenalnya.
Tapi, itu istimewanya Samara. Keramahannya membuatku ingin terus berada disampingnya untuk menemani dia.
Mengenal Samara hingga berbulan-bulan kemudian, aku tak bisa menyangkal pada kepak sayap kupu-kupu yang terasa penuh di dalam perut setiap berdekatan dengannya.
Aku jatuh cinta lagi.
Pada seorang gadis bernama Samara.
Dan aku tahu, perempuan ini yang bisa menyembuhkanku. Pada keputusasaan kisah kasih percintaanku.
Setahun lama mengenalnya dan sudah berstatus resmi kekasihnya, membuat aku tahu, dibalik sebaris senyum manis nan bahagianya, tersimpan luka yang amat dalam.
Aku lahir di keluarga yang lengkap dan harmonis. Sebagai anak pertama dan kakak dari dua adik perempuan, kami selalu kompak untuk mempererat tali kekeluargaan.
Tapi, Samara... Hidupnya terlalu menyakitian.
Sejak kecil yang dia lihat adalah pertengkaran dan kekerasan dari kedua orangtuanya.
Ayahnya seorang pejabat negara, sejak dulu senang bermain wanita dan main tangan pada ibunya. Sedangkan ibunya adalah wanita sosialita, tidak ingin kalah dari suaminya, ia senang berganti lelaki muda untuk menemaninya.
Dua orang itu membuat karakter Samara begitu kecil dan rapuh.
Tak ada hari tenang untuk Samara. Tiap pagi, siang, dan malam hanya pertengkaran yang terjadi di dalam rumah itu. Membuat Samara yang beranjak dewasa mulai sering meninggalkan rumah.
Di umurnya yang ke 23 tahun, Samara-ku bekerja disebuah cafe, bernyanyi untuk menghibur para pelanggan. Padahal, jika dia mau, dia bisa bekerja di kantoran atau bank. Sebagai lulusan terbaik di universitas bergengsi, Samara tidak memanfaatkan gelarnya sama sekali.