Midnight Run

9.2K 886 145
                                    


🍉

Nafasku tersengal-sengal setelah kakiku menginjakan kaki di lobi apartemen yang aku tempati. Aku berlari kencang dari running track yang menjadi fasilitas penghuni apartemen karena hujan tiba-tiba datang.

Udara dingin menusuk kulitku yang basah akibat terguyur hujan. Aku memandang ke langit gelap yang bergerumuh.

"Baru tiga putaran..." gumamku agak kesal karena kegiatan rutinku lari tengah malam tak selesai.

Mengibaskan rambut yang basah aku berjalan sambil menyeka alas sepatu di karpet. Petugas yang berjaga malam menyapaku dengan kekehan, "Kehujanan, Mbak Bita."

"Iya, nih, Pak. Baru juga keluar, eh, udah hujan." Aduku sedikit gemetar karena angin menerpa kencang, "Kayaknya mau badai deh, Pak."

Pak Koman, satpam tower apartemenku ikut melihat ke arah luar di mana hujan dan angin saling menyatu semakin besar.

"Dari siang emang panas nggak ada angin, Mbak. Kayaknya sampai pagi sih ini hujannya." Ucap Pak Koman.

Aku mengangguk setuju lalu melirik Pak Koman, "Saya masuk dulu deh, Pak."

"Silahkan, Mbak Bita, jangan lupa mandi air hangat. Nanti masuk angin." Serunya sambil membukakan pintu untukku.

Aku tersenyum berterima kasih, menuju lift sambil mencari kartu akses yang aku selipkan di pakaianku, tapi, terjatuh bersamaan dengan pisau lipat yang selalu aku bawa ke mana-mana untuk menjadi pertahanan diriku.

"Malam, Mbak Bita." Sapa seseorang yang membuatku menoleh.

Seorang OB yang mungkin seumuran denganku menenteng alat pel dan tersenyum ramah.

"Malam. Mau ke atas juga?" tanyaku melirik namanya yang tertulis di saku bajunya. Aku sering melihat lelaki ini tapi daya ingatku pada nama seseorang terkadang lemah pada orang tertentu. "Jaga malam ya, Mas?"

Kami melangkah masuk bersamaan dengan dia menempelkan kartu akses miliknya baru memencet angka di atas lantai unitku. Kartu akses yang ia punya berbeda dengan milikku yang langsung menuju ke lantai unitku, tidak bisa ke unit orang lain kecuali menggunakan tangga darurat.

"Iya, Mbak." Jawabnya dengan senyuman sopan. Bahkan matanya tak melirik sama sekali pada bagian dadaku yang basah karena hujan sehingga sport bra yang aku pakai menyeplak jelas di kaos putihku.

Kami menunggu dalam diam, aku menyibukan diri melihat jam digitalku yang biasanya memberikan hasil olahragaku malam ini.

"Habis lari malam, Mbak?" Tanyanya tiba-tiba.

Aku menoleh dan mengangguk, "Biasanya 15 putaran. Tadi, baru 3 malah hujan." Kekehku bersamaan dengan bunya lift menandakan lantai unitku berada, "Duluan, Mas." Kataku yang dibalas anggukannya.

Masuk ke dalam unit, aku langsung membuka baju basahku dan memasukannya ke tempat baju kotor. Memeriksa ponselku sejenak, aku beralih ke kamar mandi untuk berendam.

Hangat air di dalam bath tube langsung mengusir kedinginan yang aku rasakan.

Namaku Bitara, di umur ke 29 tahun ini aku seorang editor di sebuah percetakan buku. Sejak kecil aku sudah tinggal dengan nenekku karena kedua orangtuaku meninggal dalam kecelakaan bus saat aku masih berumur 4 tahun.

Empat tahun lalu, satu-satunya orangtua yang aku punya meninggal dunia. Butuh waktu lama untuk aku meredam dukaku sampai akhirnya aku kembali berdiri normal seperti sekarang.

Sebenarnya aku baru pindah ke apartemen ini sejak tiga bulan lalu. Aku menjual rumah nenek yang meski tak besar, tapi, rasanya begitu luas karena hanya aku yang tinggal di sana.

Short Story IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang