Jasmine"Aku udah di sini. Kamu di mana, sayang?" Mataku menatap area sekitar restoran.
Sudah jam sembilan malam, seharusnya Wira sudah ada di sini sejak satu jam yang lalu. Tapi, sedari tadi aku tidak melihat kehadirannya. Setelah puluhan pesan yang aku kirim akhirnya ia menelponku.
"Aku masih di kantor. Aku harus lembur, sayang."
Keningku berkerut heran, "Lembur? Kata kamu nggak ada project minggu ini?"
Terdengar helaan nafas lelah disebrang sana, "Iya, tapi, ini mendadak juga. Aku bisa apa kalo atasan suruh lembur, sayang?"
"Tapi, kamu 'kan udah janji kita rayain anniversary malam ini..."
"Aku tahu. Tapi, kamu juga tahu 'kan kerjaan aku kayak apa? Aku sibuk akhir-akhir ini..."
"Tahun lalu kamu juga bilangnya begini," selorohku dengan kecewa, "Sibuk, lembur."
"Aku kalo bisa ke sana aku pasti ke sana kok."
"Iya, tapi, masalahnya kamu udah janji kita makan di luar dari minggu lalu. Tahun lalu juga kamu nggak datang, lebih parah kamu nggak ngabarin apapun."
"Tapi, sekarang aku ngabarin kamu 'kan?"
Pegangan di ponselku mengencang, "Itu nggak bikin lebih baik dari tahun lalu, Yang."
Wira mendesah lagi, kini lebih panjang. "Terus kamu maunya aku harus gimana? Aku kerja lho. Kamu juga tahu ritme kerjaku seperti apa dari dulu. Oke, aku salah karena nggak datang lagi buat rayain anniversary. Tapi, besok-besok 'kan bisa. Nggak harus setiap tanggal enam kamu maunya kita dinner. Nggak harus begitu, Jasmine."
Aku termenung sejenak pada ucapannya dengan intonasi yang lelah.
Benar kalau perayaan bisa dilakukan besok atau lusa atau minggu depan atau bulan depan atau tidak sama sekali. Hubungan kami sudah berjalan sembilan tahun dan kami berada di umur yang matang untuk mengesampingkan sebuah perayaan.
Tapi, aku tidak pernah menyepelekan sebuah perayaan. Aku senang merayakan momen tiap tahun yang memiliki arti dalam dibalik tanggalnya.
Tanggal enam bukan sekedar angka di kalender ponselku. Ini tahun ke sembilan kami bertemu lagi dengan tanggal enam di bulan oktober. Tapi, sejak tahun lalu, sepertinya aku yang masih memiliki semangat untuk merayakannya.
Sedangkan Wira semakin apatis untuk mengingat perayaan kami tiap tahunnya.
Tahun lalu aku bisa menoleransi ketidakhadiran Wira. Tapi, untuk kedua kalinya terasa sulit untuk menerima kalau ia memiliki kesibukan lain yang mengesampingkan hari perayaan kebersamaan kami.
Ditambah ia meminta untuk aku mengerti ritme kerjanya di saat aku pun juga memiliki ritme pekerjaan yang sama sibuknya seperti dia.
Namun, aku harus tetap dewasa untuk menyikapinya. Mungkin benar kata Wira, kalau masih ada hari esok untuk merayakannya.
Meski malam ini sudah aku wanti sejak bulan lalu padanya. Salah satu diantara kami harus benar-benar mengalah. Dan sepertinya, lagi-lagi, aku yang harus menekan rasa kecewa dan keinginanku.
"Terus kamu pulang jam berapa?"
"Nggak tahu, kalau udah kelar aku juga langsung pulang kok. Ngapain lama-lama di sini." Ucapnya dengan gerutuan.
Wira memang tidak ada pilihan selain menetap lebih lama di kantor. Aku mendesah pelan, "Ya udah deh. Kamu kabarin aku, ya, kalo udah pulang?"
"Iya."
"Sayang kamu... happy anniversary juga, sayang." Ucapku dengan lembut meski mataku menatap nanar pada piring kosong di atas meja.
"Sayang kamu juga," Aku mendengar suara berisik seperti memanggil namanya, "Aku tutup, ya, Jas. Bye." Panggilan langsung tertutup begitu saja.