17. Merelakan?

8 0 0
                                    

Seperti janjinya pada Rei tadi, Riffa menceritakan soal dirinya dan Jingga. Tetapi sebelum itu, Riffa mengajak Rei untuk ke kafe. Entah apa tujuannya melakukan itu.

"Kenapa harus bawa sejauh ini cuma buat cerita soal Jingga." Rei bertanya heran karena kembarannya membawanya pergi dari rumah.

"Kamu lupa? Kalau sampai Ayah dengar, bisa-bisa kamu diminta balik buat belajar di perusahaan Ayah lagi. Udah bagus tadi ayah nggak menyinggung soal itu walaupun kamu dianggap bikin kesalahan," ucap Riffa yang menyadarkan Rei kalau dirinya dan Riffa berbeda. Dia tidak bisa sebebas kembarannya karena tuntutan Ayahnya.

Rei tidak membantah, dia berjalan dalam diam mengikuti Riffa masuk ke ruangannya. Ruangan Riffa memang tempat paling nyaman untuk mengobrol, tapi Rei malah tidak menyukai tempat itu. Rei lebih suka berada di dapur ketimbang ruangan Riffa ini.

Riffa langsung menceritakan perihal dirinya yang mengungkapkan perasaannya pada Jingga. Lelaki itu sama sekali tidak menyembunyikan sedikitpun ucapan Jingga padanya, kecuali bagian Jingga yang mengakui kalau gadis itu memang menyukai Riffa. Hanya saja, Jingga cuma sekadar menyukai karena sikap Riffa yang baik.

Rei sama sekali tidak berkomentar, dia hanya tetap diam sampai Riffa menyelesaikan ceritanya. Dalam benaknya Rei menyusun skenario sendiri mengenai hubungannya dengan Jingga dan juga Riffa. Akankah mereka bisa menemukan pemberentian terakhir?

"Lah malah ngelamun. Terus setelah ini apa rencanamu?" Riffa menoyor kepala kembarannya dan membuat Rei menatap kesal padanya.

"Nggak ada," ucap Rei sambil berdiri. Dia berniat ke dapur untuk membuat minuman, karena dia paham kalau Riffa pasti akan menahannya di tempat ini berjam-jam.

Riffa hanya duduk diam setelah Rei keluar ruangan. Pikirannya kembali mengingat kejadian beberapa jam lalu.

~

"Maaf Pak, tadi harus beresin kerjaan dulu sebentar," ucapnya sambil berjalan pelan mendekati Riffabyang sedang berdiri di samping mobil.

Riffa mengangguk dan menbiarkan Jingga masuk dalam mobil. Dia berniat membawa Jingga ke tempat lain, tempat favoritnya. Lelaki itu sengaja membawa Jingga ke tempat favoritnya, karena dia merasa disinilah tempat yang cocok untuk mengakui semua perasaan yang Riffa punya.

"Jingga, saya benar-benar jatuh hati sama kamu. Mau nggak kalau kamu coba hidup bersama saya." Riffa berucap pelan sambil menatap Jingga, menggenggam lembut jemari gadis itu.

Jingga hanya diam, sepertinya dia masih kaget denga pernyataan cinta yang diterima tiba-tiba.

Perlahan Jingga melepaskan genggaman tangan Riffa dan menunduk. Dari gelagatnya, Riffa sudah bisa menebak kalau Jingga akan menolak. Dia memiliki pilihan sendiri untuk ini, pilihan yang mungkin akan mengecewakan untuk Riffa dan mungkin juga untuk Rei.

Tapi mungkin inilah yang dinamakan takdir karena bisa mengenal dan bahkan jatuh hati dengan Jingga. Mungkin terdengar bodoh, tapi seperti itulah nyatanya. Riffa dan Rei sama-sama jatuh hati dengan Jingga. Mereka berdua jatuh dalam pesona gadis itu.

"Maaf, Pak. Bukan saya tidak tahu diri. Saya menyukai Pak Riffa, tapi disisi lain akhir-akhir ini saya juga memiliki orang lain yang saya sukai. Maaf kalau saya tidak bisa menerima perasaan Pak Riffa. Saya harap Pak Riffa akan menemukan cinta yang lain, yang lebih baik ketimbang saya. Sekali lagi saya minta maaf," ucapnya sambil berbalik membelakangi Riffa.

~

"Riffa, kenapa kamu selalu terjebak diantara kisah asmara kembaranmu. Tidak bisakah kamu mencari cintamu sendiri?" Riffa berucap pelan merutuki dirinya sendiri yang selalu saja terjebak dalam lingkaran kisah cinta kembarannya.

"Nih, minum."

Rei kembali dengan membawa dua cangkir cappucino hangat untuk dirinya dan Riffa. Dengan senang hati Riffa menerima pemberian dari Rei. Mereka melanjutkan mengobrol, keduanya membicarakan banyak hal malam itu.

"Ayah tadi bicara apa?" Riffa tiba-tiba bertanya soal obrolan Rei dengan Ayahnya tadi.

Rei tidak langsung menjawab, ada jeda sebentar, "Biasa, kayak yang udah-udah."

"Terus kamu gimana?" tanya Riffa yang sudah paham arah pembicaraan Rei.

"Akhirnya aku menyerah, dua bulan ini akan aku pakai waktu yang ada sebaik mungkin buat kafe. Jadi pas ditinggal kamu nggak akan kerepotan. Aku udah persiapin itu dari sekarang sebenarnya,  lewat Arion." Rei menjeda ucapannya dan memandang jauh ke depan. Dalam benaknya terbayang banyak kemungkinan setelah dia memutuskan untuk mengikuti kemauan Ayahnya.

"Dia nanti akan gantiin aku. Kita punya keuntungan dari kemampuannya soal milk and fruit based. Tinggal nanti selama dua bulan, aku akan bikin Rion pelan-pelan belajar soal coffe based."

Riffa mengangguk paham dengan rencana yang Rei paparkan. Dia sebetulnya sama sekali tidak khawatir soal kafe, karena Riffa tahu adik kembarnya itu akan tetap bertanggung jawab. Hanya saja, Riffa malah terpikirkan hal lain.

"Em... soal Jingga, gimana?" Riffa bertanya ragu, karena bagi mereka membahas soal Jingga adalah hal yang cukup sensitif.

Rei menggeleng pelan, dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Satu-satunya hal yang terpikirkan dalam otak Rei saat ini adalah merelakan, melepaskan Jingga untuk kembarannya. Lagi pula dalam waktu kurang dari tiga bulan Rei akan pindah kota karena memenuhi keinginan Ayahnya untuk berkuliah lagi jurusan Managemen agar bisa membantu di perusahaan.

"Aku nggak tahu, bahkan sampai sekarang pun aku nggak yakin sama perasaanku buat Jingga. Aku takut kalau perasaanku justru membebani gadis itu."

"Tapi kamu tetap harus mencoba, Rei. Siapa tahu ternyata takdirmu memang Jingga."

"Sekalipun seperti itu, aku tetap nggak bisa. Kami berdua berada di waktu yang tidak tepat. Mungkin aku akan memilih untuk melepaskan gadis itu."

Riffa bungkam, dia tidak berani berkomentar apapun. Dia membiarkan Rei berjalan keluar. Karena dia tahu, saat seperti ini yang Rei butuhkan hanyalah ketenangan.

Mungkin Rei terlihat biasa, tapi Riffa memahami adiknya itu. Riffa tahu kalau Rei sebetulnya keberatan. Tapi dia tidak bisa menbantah ucapan Sang Ayah.

"Kita nginep sini aja sekalian. Aku malas nyetir buat pulang." Riffa berucap sambil merebahkan diri di sofa yang ada di ruangannya.

Rei tidak menjawab ucapan Riffa, dia lebih memilih duduk diam di balkon kafe sembari menikmati kopinya.

"Rei, miris banget sih kisah cintamu. Naksir cewek yang ternyata suka sama kembaranmu. Dan sekarang,  saat kamu berniat untuk berjuang ternyata semesta nggak mengizinkan. Mungkin emang kamu harus melepaskan dia, merelakan dia senang dengan dunianya."

Rei kembali menyesap kopinya sambil memandang jauh ke langit. Pikirannya malam ini terlalu penuh. Terlalu banyak hal yang berkecamuk dalam benaknya.

Entah kenapa perasaan Rei pun sedikit resah. Ada rasa sedikit tidak rela untuk melepaskan Jingga. Sekalipun gadis itu sama sekali tidak tahu menahu soal perasaan yang Rei simpan untuknya. Sekalipun Jingga menganggap Rei galak dan menyebalkan.

=====

Rhain
05-12-2023

Just for You [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang