Rei dan Riffa benar-benar menginap di kafe. Bahkan sampai sekarang mereka berdua belum menunjukkan tanda-tanda akan bangun walaupun pagi sudah tiba.
Bahkan Jingga yang hari ini mendapatkam jatah sift pagi sudah berada di kafe. Hari ini dia memang membawa kunci karena kemarin pulang terakhir setelah mengobrol dengan Riffa.
Gadis itu bersenandung kecil sambil membersihkan meja, sepertinya dia sudah mulai nyaman bekerja menjadi waiteress. Untungnya Jingga tidak lupa kalau dia juga seorang author.
Jingga berjalan pelan menaiki tangga, berniat membersihkan ruangan Riffa. Dengan santai Jingga memasuki ruangan, dia sama sekali tidak menyadari kalau ada Riffa dan Rei dalam ruangan itu. Sampai dering ponsel Riffa mengagetkan mereka bertiga.
"AAAAA!"
Jingga refleks berteriak dan nyaris memukul Rei yang berdiri di hadapannya dengan wajah masih mengantuk.
"Diam."
Rei membungkam mulut Jingga degan tangannya, agar gadis itu tidak berisik.
Riffa yang juga baru saja terbangun menatap Rei dan Jingga dengan tatapan aneh. Dia sepertinya masih belum sepenuhnya sadar berada dimana saat ini.
"Mas Rei sama Pak Riffa ngapain tidur di sini?" tanya Jingga dengan suara pelan.
Riffa menatap Rei, lelaki itu sepertinya berniat mengatakan alasan sebenarnya pada Jingga. Tapi sebelum itu terjadi, Rei sudah lebih dulu menjawab pertanyaan Jingga, "Semalam ambil barangnya Riffa yang ketinggalan, sekalian ngecek stok barang. Riffa nggak mau pulang, jadilah kami menginap di kafe," ucapnya.
Jingga mengangguk-angguk paham, lalu gadis itu segera keluar ruangan. Dia tidak ingin mengganggu kedua atasannya.
"Aku tahu kamu mau bicara apa sama Jingga." Rei berucap sambil menatap tajam Riffa yang masih mencari-cari kacamatanya yang entah berada dimana.
Riffa mendongak dan balik menatap Rei dengan tenang. Karena kalau tidak seperti itu, Rei pasti akan semakin mencecarnya nanti. Jadi Riffa memilih untuk mengalah. Toh kalau dipikir-pikir Jingga tidak perlu tahu soal itu.
"Kamu mau pulang nggak? Aku kayaknya mau pulang dulu." Riffa beranjak dari duduknya dan bersiap untuk segera pulang. Karena ada beberapa berkas yang masih tertinggal di rumah.
Rei menggeleng, karena lelaki itu punya stok pakaian ganti di loker. Jadi dia tidak perlu pulang. Padahal sebenarnya Riffa pun punya pakaian ganti di ruangannya, tapi karena beberapa berkas tertinggal dia harus tetap pulang.
"Kamu kalau mau mandi di ruanganku aja, pakai bajuku sekalian juga boleh dari pada kamu harus turun ambil di loker dulu." Riffa berucap sebelum menutup pintu, sedangkan Rei malah kembali merebahkan diri di sofa.
Pikiran Rei berkelana jauh, percakapannya dengan Sang Ayah kembali tergiang. Dia bingung harus berbuat apa, disatu sisi Rei sudah berjanji dengan Ayahnya tapi disisi lain dia juga ingin memperjuangkan Jingga. Lelaki itu ingin menikmati perasaannya untuk Jingga.
~
"Ayah mendapatkan laporan kalau akhir-akhir ini kamu sering keluar dari kafe dan meninggalkan pekerjaanmu. Apa kamu sudah bosan bekerja bersama kakak kembarmu?"
Rei tersentak, dari mana Ayahnya tahu perihal dia yang sering keluar kafe akhir-akhir ini. Tapi Rei tetap bungkam, dia tidak berniat menyangkal ucapan Ayahnya, karena semua itu memang benar.
"Kalau kamu sudah tidak ingin berada di kafe, kamu bisa melanjutkan kuliahmu tahun ini. Lagi pula Ayah rasa sudah cukup kamu menjeda kuliahmu, sudah saatnya kamu melanjutkan pendidikanmu dan setelah lulus, kamu bekerja di perusahaan Ayah."
"Tapi, Yah..." ucap Rei menggantung, dia ragu melanjutkan ucapannya saat melihat ekspresi Sang Ayah.
"Tidak ada tapi, dua bulan dari sekarang kamu harus membereskan urusanmu di kafe dan silakan kembali ke kampus."
Rei hanya bisa pasrah, karena keputusan Ayahnya itu tidak bisa diganggu gugat. Mau tak mau Rei harus menurutinya, sekalipun dia merasa keberatan. Karena itu adalah konsekuensi yang harus dia dapatkan atas janjinya setahun yang lalu.
~
Rei menghela napas berat, terlalu banyak beban yang Rei simpan sendiri. Banyak hal yang sengaja Rei sembunyikan dibalik topeng galaknya. Lelaki itu tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang lain, bahkan di hadapan kembarannya sekalipun. Rei akan berusaha menyembunyikan perasaannya, walaupun itu sia-sia.
Sepertinya Rei terlalu banyak melamun hari ini, bahkan dia tidak menyadari kalau Jingga mengetuk pintu sejak tadi. Hingga kini gadis itu sudah melongokkan kepala dibalik pintu guna mengecek Rei.
"Mas Rei? Sebentar lagi sudah waktunya kafe buka dan di bawah belum ada Arion." Jingga berucap pelan yang untungnya masih bisa didengar Rei.
"Tunggu sebentar, saya bebersih dulu. Tolong siapkan bahan-bahan untuk menu minuman ya," ucap Rei yang memahami maksud Jingga memanggilnya.
Setelah Jingga kembali ke dapur, lelaki itu bergegas membuka lemari milik Riffa yang ada di pojok ruangan. Rei berdecak tidak puas tatkala melihat isi lemari itu, karena semua baju milik Riffa adalah kemeja formal untuk setelan jas.
"Ya udahlah, pakai yang ini aja," gerutu Rei pasrah sembari mengambil kemeja warna hitam yang tampak tidak terlalu formal.
"Aku kira Pak Riffa tadi, tapi kok nggak pakai kacamata. Ternyata kamu."
Rei disambut dengan ucapan Arun yang sepertinya pangling melihat penampilan Rei. Lelaki itu terlihat jauh lebih berwibawa ketika mengenakan kemeja.
"Waah, Mas Rei jadi makin cakep pakai kemeja kayak gitu," puji Jingga yang kebetulan baru kembali dari gudang mengambil stok bahan minuman.
Rei membelalakan mata kaget dan menggaruk hidungnya, lelaki itu salah tingkah akibat pujian Jingga. Rei sengaja memalingkan wajah, menghindari tatapan penuh binar yang Jingga tujukkan padanya.
Bunyi lonceng kafe menghentikan sesi tatap mentatap antara Jingga dan Rei. Kedatangan pelanggan itu sedikit membantu Rei agar bisa segera menjauh dari Jingga. Karena kalau terlalu lama berdekatan dengan gadis itu, bisa-bisa jantung Rei akan berdebar semakin tidak karuan.
"Kalian layani dia, saya mau persiapan dulu." Rei mengambil alih kotak yang dipegang Jingga dan langsung berjalan cepat menuju dapur.
"Ini ya Rei pesanannya, vanilla latte, hot cappucino sama tiramisu." Arun meletakan kertas berisi pesanan pelanggan di hadapan Rei sembari menyebutkan pesanannya itu.
Setelah dua pelanggan itu, dengan cepat pelanggan lain Kafe Serenity mulai berdatangan. Rei sedikit kewalahan melayani pesanan mereka semua karena Arion izin untuk datang terlambat hari ini.
"Mas Rei, istirahat dulu kalau capek. Udah nggak ada pelanggan lagi kok," ucap Jingga pelan tidak tega melihat Rei yang terlihat kelelahan hari ini.
"Iya, nanti dulu. Tanggung masih ngecek stok dessert yang disiapin Riffa." Rei berucap tanpa melihat Jingga, karena dia sedang fokus dengan jajaran cake dan beberapa puding yang tertata di hadapannya.
Rei memang merasa lelah, tapi dia menahannya. Karena hanya ada dia di sini, tidak ada Riffa ataupun Arion yang bisa membantunya. Jadi Rei harus siap ketika ada pelanggan yang datang ke kafe.
"Astaga, Mas Rei. Ngeyel banget dibilangin, istirahat dulu. Lagian kafe udah sepi ini, mending dimanfaatin buat istirahat." Jingga menarik paksa Rei, sayangnya tindakan itu membuat Rei yang tidak siap malah jatuh ke pelukan Jingga.
"Waduh! Aku nggak lihat kok, lanjut aja silakan." Arion yang baru masuk dapur langsung berbalik keluar setelah melihat Jingga dan Rei yang berpelukan.
Jingga buru-buru melepaskan pelukannya dan berjalan cepat keluar dapur. Arion yang melihat itu hanya tertawa pelan, karena dia tidak ingin kena amuk Rei akibat menertawakan Jingga.
======
Rhain
06-12-2023

KAMU SEDANG MEMBACA
Just for You [TERBIT]
RomansaReivandra menyukai Jingga, juniornya di kafe, ah bukan tapi mencintainya. Rei akan melakukan apapun asalkan Jingga bahagia. Katakan Rei bodoh, karena mengharapkan seseorang yang sama sekali tidak melihatnya. Tapi apakah benar seperti itu? Credit cov...