Bab 17

9 2 2
                                    

Di waktu malam, Nasmi tak bisa tenang meski berusaha untuk fokus dalam mengerjakan PR yang diberikan. Sebentar lagi ujian kenaikan kelas dan ia tak bisa belajar dengan baik. Pikirannya bercabang, setiap kali berusaha untuk memahami pelajaran, ia kemudian terbesit pada hal lain yang membuat pikirannya kalut akhir-akhir ini. Pikiran utama Nasmi hanya tertuju pada Indri, gadis yang menjadi kekasihnya itu sudah mulai mau untuk berbicara dengannya. Meskipun ucapannya justru menusuk ulu hati Nasmi, tapi ia masih mendengarkan. Memberikan pengertian pada Indri, mengajak gadis itu kembali seperti semula dan terbangun dari keterpurukannya. Akan tetapi hal itu belum membuahkan hasil, dan kenyataan itulah yang membuat Nasmi tak bisa berhenti berpikir.

Drrttt...

Nasmi pun segera mengambil ponsel yang berada di sebelah buku yang sekarang ia baca. Dilihatnya layar ponsel yang menunjukkan nama dari pemanggil.

"Nenek Rohaya? Ada apa malam-malam begini menghubungiku?" Nasmi bertanya-tanya. Karena merasa ada sesuatu yang penting, ia pun segera menerima panggilan dan memposisikan ponsel tersebut menempel pada telinga kanan.

"Halo, Nek," kata Nasmi membuka.

"Nak Nasmi." Ucapan Nenek Rohaya terhenti, terdengar sedikit isakan dari seberang membuat kepanikan Nasmi semakin meninggi.

"Ada apa, Nek? Apa terjadi sesuatu?" Nasmi bertanya, tak sabar.

"I-Indri-"

"Ada apa dengan Indri, Nek? Dia baik-baik saja kan?" Nasmi memotong kalimat Nenek Rohaya yang bahkan baru dimulai karena ketidaksabaran dirinya.

"I-Indri pingsan di kamarnya. Dia mimisan, dan Nenek bingung harus bagaimana. Nenek mencoba membangunkan namun ia tak kunjung sadar," jelas Nenek Rohaya dari seberang panggilan.

"Nenek tenang saja ya, Nek. Nasmi akan segera kesana dan membawa Indri ke rumah sakit," ujar Nasmi yang langsung saja memutus telpon sepihak.

Dengan tergesa-gesa, Nasmi pun keluar dari kamarnya. Segera ia berlari menuju ke ruang keluarga dimana Mama dan Papanya berbincang di sana. Sesampainya, Nasmi bahkan membuka pintu ruang keluarga tersebut tanpa mengetuk. Herman dan Sintia langsung menoleh begitu mendengar pintu yang dibuka dengan kasar. Dilihatnya Nasmi yang sekarang tersengal-sengal dan menatap serius ke arah mereka.

"Nasmi, ada apa?" Herman bertanya.

"Kunci mobil, Pa," ucap Nasmi sambil mengangkat tangannya sebagai isyarat meminta.

"Kunci mobil? Kamu mau kemana malam-malam begini?" Herman bertanya.

"Nasmi mau ke rumah Indri, Pa. Nenek Rohaya barusan menghubungi Nasmi kalau kondisi Indri memburuk. Nasmi mau mengantarnya ke rumah sakit," jelas Nasmi.

"Baiklah, kalau begitu Papa juga akan ikut," kata Herman yang dibalas anggukan kepala.

"Tidak, Pa." Sintia mencegah.

"Papa juga khawatir, Ma. Sebaiknya Papa juga ikut," kata Herman.

"Tidak, Pa. Papa kan ada meeting penting besok pagi. File dan dokumen yang diperlukan belum Papa persiapkan sama sekali. Lebih baik Papa mengurus itu dan biar Mama saja yang ikut." Sintia menjelaskan.

Herman pun mengikuti saran dari Sintia. Ia berpindah tempat ke sebuah laci di samping meja TV dan membukanya. Disana ia mengambil sebuah kunci mobil dan menyerahkannya pada Sintia. Nasmi kemudian pergi dengan Sintia dengan ianya yang mengendarai mobil. Karena kekhawatiran yang kuat, Nasmi akhirnya melajukan mobil dengan kecepatan tinggi agar bisa cepat sampai. Sesampainya di depan rumah Indri, Nasmi dan Sintia bergegas turun bahkan mereka langsung masuk ke dalam rumah tersebut tanpa mengetuk pintu. Tidak ada orang di ruang depan jadi mereka langsung ke ruang yang mereka tuju, yaitu kamar Indri. Dan di sanalah Nenek Rohaya berada, menunduk menatap Indri yang menutup mata dengan tangisannya.

I Love You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang