Bab 13

7 2 4
                                    

Waktu semakin berlalu, telah berlangsung dua hari semenjak Herman memberikan laporan pada polisi. Baik Herman, Sintia dan juga Nenek Rohaya pontang-panting keluar masuk ke kantor polisi untuk mendapatkan laporan terbaru dari kinerja mereka. Nenek Rohaya terlampau sedih hingga sering menangis dan bahkan jarang makan. Sintia meski juga dirundung dalam kesedihan namun berusaha untuk saling menguatkan. Percaya kalau anak-anak mereka akan segera ditemukan dalam kondisi yang baik-baik saja. Pihak kepolisian pun bekerja lebih ekstra, apalagi setelah barang bukti di temukan berupa motor milik Nasmi yang tergeletak di pinggiran sawah. Bukti rekaman CCTV serta perkelahian mereka dengan pengendara mobil yang tak lain adalah anak SMA. Kepolisian sempat membawa Daniel dan kawan-kawannya untuk dimintai keterangan. Namun mereka sama-sama berdalih dengan menjawab hanya sekedar perkelahian anak remaja. Namun kepolisian juga tak langsung menghilangkan kecurigaan, mereka tetap dalam pengawasan. Pencarian berlanjut sampai ke titik terakhir kali mobil milik Daniel berhenti. Hingga polisi mulai mencari di lokasi yang menjadi titik buta.

Di lain sisi, Sintia berada di rumah Nenek Rohaya. Ia menggunakan dapur milik Nenek tersebut untuk memasak dan membuat teh hangat untuk suaminya yang duduk di ruang tamu sambil bertopang dagu dengan pandangan yang kosong.

"Hah~" Sintia menghela napas, ia tahan sebisa mungkin air mata yang mencoba untuk keluar. Lengkap sudah tiga hari lamanya sejak terakhir kali Nasmi dan Indri pergi dan hilang tanpa kabar. Tapi ia tak bisa berbuat apapun selain hanya menunggu tim pencarian.

"Nek, Pa, diminum tehnya," tutur Sintia lembut.

Sintia tak mendapatkan jawaban, keduanya terlalu asyik dalam pikiran yang berkecamuk hingga penuturannya terabaikan. Sintia pun berpindah, duduk di samping Nenek Rohaya yang bersandar di sofa dengan wajah kosong dan mata sembabnya.

"Nek, Indri pasti akan segera ditemukan. Nenek harus jaga kesehatan karena Sintia yakin, Indri tak mau melihat Neneknya dalam kondisi seperti ini," ujar Sintia sambil merangkul Nenek tersebut.

"T-Tapi kenapa sampai sekarang belum ada kabar? Nenek khawatir, Ndok," balas Nenek Rohaya yang kembali lanjut menangis. Melihat itu, Sintia tak bisa menahan air matanya lagi. Ia ikut menangis bersamaan dengan sang suami yang juga mengalihkan pandangan agar tak terbawa oleh suasana yang penuh sedih. Kemudian, suara ringtone dari ponsel Herman berbunyi. Sintia tergelak sedikit mengetahui ringtone panggilan ponsel suaminya menggunakan suaranya, berhenti dari tangisannya setelah mendengar bunyi ponsel tersebut. Herman pun segera merogohkan tangan ke dalam kantong sakunya, mengambil ponsel miliknya dan menatap layar yang menyala.

"Dari Pak Bram, Ma," kata Herman membuat Sintia antusias.

Pak Bram adalah kepala polisi yang saat ini sedang memimpin kasus hilangnya anak mereka. Mendapat telpon darinya pastilah sesuatu hal yang penting. Herman pun mengeraskan volume panggilan agar setiap orang di ruang itu dapat tau dengan pembicaraan di seberang.

"Halo, Pak. Apa sudah ada perkembangan tentang pencarian anak saya?" Herman langsung bertanya.

"Benar, Pak! Kami sudah berhasil menemukan mereka!" Jawaban dari Pak Bram di seberang membuat setiap orang lega.

Sintia dan Nenek Rohaya langsung mengelus dada, meskipun sedikit lega namun mereka belum tau bagaimana kondisinya. Mereka pun kembali fokus pada panggilan yang masih berlangsung.

"Lalu dimana mereka, Pak Bram?" tanya Herman tak sabaran.

"Nasmi Permana dan Indriana Rosseline saat ini di rawat di Rumah Sakit Mawar Sari Indah. Kondisi mereka memprihatinkan karena tersekap dalam gudang," jelas Pak Bram.

Herman dan Istrinya tak terkecuali Nenek Rohaya terkejut bukan main mendengar hal itu. Membayangkan siapa pelaku yang begitu tega berbuat demikian.

"Saya akan ke rumah sakit sekarang, Pak Bram," kata Herman dengan tergesa.

"Baiklah, Pak. Kami membutuhkan Bapak untuk penyelidikan lebih lanjut nantinya," tutur Pak Bram terakhir kali sebelum akhirnya panggilan dihentikan.

"Ayo, Ma. Kita harus segera kesana," ajak Herman dengan tergesa-gesa.

Sintia dan juga Nenek Rohaya pun segera bangkit dari duduknya. Dengan perasaan yang berkecamuk di dada, mereka mengikuti Herman dan masuk ke dalam mobil untuk menuju ke Rumah Sakit yang telah disebutkan tadinya. Mobil yang dikendarai Herman melaju dengan cepat di jalan raya. Ia tak bisa berhenti panik setelah mendapatkan kabar tentang putranya yang hilang dalam beberapa hari ini. Hinga dalam hitungan puluhan menit, ia telah tiba di rumah sakit yang dimaksud.

Rumah Sakit Mawar Sari Indah. Mereka bertiga segera masuk ke dalam, di samping resepsionis, telah berdiri seorang polisi yang menunggu kedatangan mereka. Herman yang menemuinya, polisi tersebut memberikan hormat sebelum kemudian mulai bicara.

"Kami memerlukan Pak Herman untuk penyelidikan lebih lanjut," ucapnya.

"Biarkan aku melihat putraku dulu!" tegas Herman yang mulai tak sabaran.

"Baik, Pak. Mari kita antar," jawab seorang polisi tersebut yang diikuti bersama dengan perawat yang menangani.

Mereka pun kemudian masuk lebih dalam, naik ke lantai dua dengan menggunakan lift lalu berjalan hingga berhenti di depan sebuah kamar pasien bertuliskan Bougenville di bagian pintunya.

"Untuk saat ini, pasien bernama Nasmi Permana dan Indriana Rosseline berasa dalam satu kamar yang sama. Selanjutnya, pasien bernama Nasmi akan dipindahkan ke unit rawat jalan," jelas seorang perawat.

"Bagaimana kondisi mereka saat ini, Suster?" Sintia bertanya.

"Nasmi Permana mengalami luka-luka yang sepertinya akibat perkelahian. Beberapa luka lebam dan kurang nutrisi serta dehidrasi karena kurang asupan makanan." Suster itu menjelaskan.

"Cucu saya bagaimana?" Nenek Rohaya bertanya dengan cemas.

Suster itu tentu tak mengetahui mana cucu si Nenek. Akan tetapi dilihat dari penjelasan sebelumnya yang tentang Nasmi Permana, Suster pun mengambil kesimpulan mungkin Indriana lah yang dimaksud.

"Untuk, Indriana Rosseline ...." Suster itu menggantung kalimatnya membuat Sintia dan Nenek Rohaya saling pandang sekaligus semakin cemas untuk mendengarnya.

"Cepat katakan, Suster!" Tak sabar, Sintia pun meninggikan suaranya.

"Indriana Rosseline menderita banyak luka fisik akibat pukulan. Beberapa memar di sekujur tubuh, dan luka di area kewanitaan. Dilihat dari kondisinya, sepertinya ia mengalami pelecehan seksual," jelas Suster tersebut.

Sintia termegap mendengar penjelasan itu, mulutnya menganga namun tangan kanannya dengan sigap menutup. Ia tak percaya dengan penjelasan yang baru saja ia dengar. Meski begitu, itu pastilah kenyataan. Apa yang menimpa pada Indri dan juga Nasmi sekarang adalah kasus kriminal. Mendapat kenyataan seperti itu, ia tak kuasa, matanya kembali berlinang, lebih deras dari pada sebelumnya. Sementara Herman, ia berpaling arah, mengepalkan tinjunya dan meninju tembok tak bersalah. Alhasil, buku-buku tangannya lah yang justru terluka.

"Indri!" Nenek Rohaya yang terkejut pun hanya bisa berteriak, meraung tak terima, menumpahkan segala emosi dan kekesalan lewat air mata.

Sintia yang berada di samping Nenek Rohaya memeluknya dengan erat, namun semakin lama Sintia merasa tubuh Nenek Rohaya semakin berat. Ia menunduk, mendapati sang Nenek yang telah bersandar padanya dengan memejamkan mata.

"Astaga, Nek!" Sintia membaringkan Nenek Rohaya di lantai.

Dilihatnya Nenek Rohaya yang yang telah jatuh pingsan. Segera suster yang berada di tempat tersebut pun memanggil suster yang lain, membantu Sintia membaringkan Nenek Rohaya ke brangkar dan membawanya ke ruang perawatan. Sementara dirinya, ia tetap berada di depan ruang Bougenville tempat dimana Nasmi dan Indri di rawat. Menunggu sampai dokter yang menangani mereka keluar. Lalu si polisi, usai memberikan laporan singkat dan permintaannya untuk berdiskusi lanjut dengan Herman di kantor, ia pun kembali bertugas. Suasana di depan ruang itu menjadi hening. Ia masih bersyukur dengan kondisi Nasmi, tapi teramat prihatin dengan apa yang menimpa Indri.

I Love You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang