Joko, 11 tahun. Kelas 6 SD.
Joko pulang sekolah berjalan kaki, mengayunkan kedua kakinya tinggi-tinggi sambil bernyanyi-nyanyi kecil, senyum dan tawanya kontras dengan seragamnya yang sudah lusuh dan mengecil di tahun terakhirnya bersekolah dasar itu. Ia berbelok setelah berpisah dengan beberapa temannya di persimpangan. Sejauh jarak 2 km bolak balik ditempuhnya setiap hari untuk bersekolah.
Hari ini menjadi hari pertamanya di semester terakhir sekolah. Hari ini juga hari ulang tahunnya. Bapaknya, Parjo, bilang akan memberikan kejutan pada saat ia pulang sekolah. Tapi bukan itu yang membuatnya senang, namun kehadiran bapaknya saja sudah membuatnya bahagia.
Sesampainya di rumah ia disambut dengan pelukan hangat oleh bapaknya yang sedang beristirahat selesai mengurus kebun. Walaupun Parjo sedang penuh keringat, Joko tetap merasa nyaman memeluk bapaknya itu.
"Jok, ganti baju, makan dulu yuk," ucap Parjo kepada anaknya.
"Siap pak." balas Joko sebelum tertawa dan berlari menuju kamarnya.
"Ojo mlayu, Jok! (Jangan berlarian, Jok!)" tegur Parjo sambil tersenyum melihat tingkah laku Joko.
Joko menyibakkan gorden pintu kamarnya, lalu menyampirkan tas sekolahnya ke sebuah gantungan paku di dinding kayu kamarnya. Dengan cepat dan buru-buru ia melepas seragamnya dan berganti pakaian.
"Jok, seragamnya digantung, jangan ditaruh di bawah..." terdengar peintah Parjo seolah-olah sudah terbiasa dengan kelakuan Joko.
Joko mendengarnya dan membalas singkat sambil tertawa kecil. Setelah memakai kaos dan celana pendeknya, ia mengambil seragamnya yang berserakan dan menggantungnya di dinding.
Lalu kembali berlari keluar kamarnya, cerobohnya ia tersandung ke arah depan. Bukannya jatuh, tiba-tiba kaki bapaknya sudah siap untuk menahannya. Ia mendongak dan melihat bapaknya.
"Kandani ojo mlayu og... (Sudah dibilang jangan berlarian)" ucap Parjo gemas.
Joko bangkit lalu tertawa nyengir kepada bapaknya sambil garuk-garuk kepala. Keduanya duduk bersampingan di sisi yang sama pada meja makan.
Dua piring berisi nasi putih yang hangat sudah siap di atas meja makan. Disertai dengan lauk tempe dan sayur bayam sederhana.
"Jok, masih belum mau makan sambel?" tanya Parjo sambil mengambilkan dua sendok bayam pada piringnya Joko.
"Ihihi... takut pedes to pak..." balas Joko.
"Ya wis (ya sudah)." ucap Parjo sambil mengambil lauk untuk dirinya sendiri. Joko melihatnya menyendok sambal berwarna merah yang sebenarnya menggugah seleranya itu.
Setelah berdoa untuk makan mereka melahap hidangan sederhana itu.
"Mmm... enak pak." celetuk Joko mengomentari masakan bapaknya itu.
Parjo hanya tersenyum.
Joko melihat bapaknya itu melengkapi suapannya dengan sambal. Tanpa ia sadari, menjadi terus-terusan melihat bapaknya yang terlihat sangat menikmatinya.
Parjo melirik ke arah Joko, "Kenapa Jok? Mau coba sambelnya?". Mulut Joko menganga menandakan dia ingin mencobanya.
"Heh, Jok. Mingkem." Parjo mencubit bibir Joko untuk menutup mulut anaknya itu dengan tangannya. "Ini, coba dikit dulu aja ya."
Joko melihat dengan seksama ketika Parjo menyendok sambel itu di mangkuk, membawanya ke piringnya, lalu menuangkannya di sana. Matanya berbinar-binar ingin segera mencicipinya.
Dengan dipenuhi rasa penasaran, Joko menyendoki makanannya dan menyisipkan sedikit dari sambal itu. Lalu ia melahapnya, matanya yang penuh rasa ingin tahu itu lama kelamaan menjadi sedikit terbelalak.
Parjo yang melihatnya mulai tertawa kecil sambil tangannya mencoba metaih sesuatu di atas rak kecil di samping meja.
"Emhh... cshhhh... Pedes pak." ucap Joko polos
"Huh hahh huh hahhh..."
Joko merasakan untuk pertama kali sensasi terbakar di lidahnya, seperti digigiti balik oleh makanan yang ada di dalam mulutnya. Ia memandangi bapaknya ketika rasa pedas itu mulai menguat dan menjalar.
Parjo kini telah siap membawakan segelas air untuk Joko dan memberikannya kepadanya
"Huh hah... Glek glek glek glek.... huuh hah.."
"Huh hah, masih kerasa pedes pak, hahh.." curhat Joko.
"Gapapa Jok, nanti juga ilang sendiri." ujar Parjo sambil mengambil air minum Joko. "Enak Jok?"
"Enak pak, tapi pedes hah hah hah." ucap Joko masih merasakan sensasi pedasnya.
"Hahaha, anak bapak sudah gede." bangga Parjo menepuk-nepuk pundak kecil anaknya.
Lalu mereka menghabiskan makanan mereka diiringi oleh gelak tawa Parjo dan ekspresi kepedasan Joko.
Selesai makan, Parjo mengajak Joko ke belakang rumah mereka dan memberikan Joko sebuah sepeda bekas untuknya. Joko yang sangat senang memeluk pinggang ayahnya.
Hari demi hari berlalu, kini Joko setiap hari berangkat menuju sekolahnya dengan mengayuh sepedanya.
***
Joko, 14 tahun, kelas 3 SMP.
Joko kecil yang imut itu kini sudah memasuki fase remaja awal. Badannya yang dulu hanya sepinggang bapaknya kini sudah lebih tinggi hampir sedada.
Sore itu, ia menyelesaikan kegiatan ekstrakurikuler terakhirnya untuk berfokus kepada Ujian Nasional yang akan dilaksanakan tiga bulan lagi.
"Hyah!, Hap!, Hyahh!" teriaknya mengikuti arahan dari pelatih.
Sejak kejadian kehilangan sepedanya ketika kelas 1 SMP, ia diminta oleh Parjo untuk mengikuti ekskul bela diri. Hal tersebut juga beralasan karena ia pernah hampir menjadi korban bully dan palakan oleh kakak kelasnya yang nakal.
Sehingga walaupun masih kurus, tubuhnya kini lebih terbentuk dan tegap. Kharismanya juga bertumbuh dengan didikan-didikan lemah lembut Parjo.
***
Joko, 17 tahun, kelas 3 SMA.
"Bapak pulang..." ucap Parjo di sore hari memasuki rumahnya setelah kembali dari sawah.
Joko keluar dari kamar menyambutnya. Dan memeluknya seperti biasa yang dilakukan mereka sejak ia kecil.
Kini dengan seringnya ia membantu pekerjaan bapaknya di sawah ketika libur sekolah, badannya kini terbentuk ideal. Dadanya bidang, perutnya mulai mengencang memperlihatkan lekuk-lekukannya.
Dengan hormon pertumbuhan pria yang sedang berada dalam masa puber, ia juga tengah dilanda rasa ketertarikan kepada lawan jenis.
"Kok udah pulang Jok, ga jalan dulu sama si doi?" ujar Parjo memandangi Joko yang kini sudah hampir setara tingginya dengannya.
"Hehe, enggak pak, lagi males aja." balas Joko yang membuat bapaknya tertawa kecil.
"Udah makan pak? Joko masakin ya..." lanjutnya tanpa memberi kesempatan bapaknya untuk menjawab ia menuju dapur.Di saat Joko mulai mempersiapkan bahan untuk memasak, Parjo menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sore itu pun mereka habiskan dengan makan bersama diiringi dengan cerita-cerita dari masing-masing dengan penuh kehangatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parjo dan Joko Anaknya
General FictionJoko, anak seorang petani bernama Parjo menjalani kehidupan sehari-hari mereka dengan bahagia meskipun hanya berdua. Suatu saat, tetek bengek dalam usia 17 tahunnya membuat Joko menemukan sebuah rahasia yang mengejutkan. Sebuah kisah pendek.