#5 Memendam Sendiri

2.9K 66 2
                                    

Teeett...teettt...teeetttttt

Bel pulang sekolah berbunyi, Joko segera mengemasi barangnya.

"Jok, langsung pulang, udah ga pusing?" tanya Yoga melihat Joko terburu-buru.

"..." Joko hanya sibuk sendiri.

"Jok... kalau perkataanku tadi menyinggung kamu..." ujar Yoga merasa bersalah.

"..maaf ya, aku ga bakal ngulanginya lagi." lanjutnya setelah Joko menggendong ranselnya.

"Gapapa Yog, maaf aku masih sedikit pusing, mau cepat pulang saja." balas Joko beranjak pergi meninggalkan Yoga yang kebingungan dan menyimpan pertanyaan.

Siapa mereka?

Anak itu bernama Joko?

Joko itu adalah aku?

Tapi dia bukan bapak...

Lalu, bapak siapa?

Aku pernah membunuh seseorang?

... ... ...

Joko yang sedang dilanda kegelisahan itupun memiliki lebih banyak pertanyaan di benaknya. Ia ingin segera bertemu dengan bapaknya. Ia pun segera bergegas melangkahkan kakinya untuk pulang tanpa bersiap-siap dengan barang bawaan yang sebagian masih ditenteng di tangannya.

Drap..drap..drapdrapdrap.....

Bugh..!

Gedebug!

"Astaga kamu kalau lihat ke depan nak." ucap Pak Ganda, satpam sekolah sambil melihat ke Joko.

"Ma- maaf pak." Joko termenung sesaat sebelum membantunya mengambil barang-barang yang ia jatuhkan.

"Kamu kenapa?" tanya Pak Ganda melihat gelagat Joko yang aneh.

"Eng.. gapapa pak. Agak pusing saja." balasnya singkat.

Joko berdiri dan menyerahkan benda-benda tadi ke satpam sekolahnya itu.

"Ya sudah, terimakasih ya. Langsung pulang saja, istirahat." ucapnya sambil melanjutkan pergi.

Joko mengangguk dan segera pergi juga. Pikirannya makin berkecamuk. Ia ingin segera bertemu dengan bapaknya-, tidak, Parjo, tidak-, arggh! Joko semakin bingung.

***

Joko tiba di depan rumah, matahari masih menyengat. Seperti biasa, Parjo juga sudah menyiapkan masakan untuknya. Bau harum tercium oleh Joko. Hal itu membuatnya sedikit lebih tenang.

Di depan pintu, ia masuk ke dalam naungan atap sederhana rumahnya yang menghalau sengatan matahari. Joko menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.

"Joko pulang... pak." ucapnya terjeda, lalu langsung menuju ke dapur.

"Eh Joko, dah pulang. Tunggu Jok, sebentar lagi mateng." balas Parjo yang sedang bertelanjang dada sedang membolak balik sayur yang sedang ditumisnya.

Joko hanya memandangi punggung Parjo dari belakang, punggung seorang bapak yang sangat menyayanginya semenjak kecil.

Hasil banting tulang Parjo tercetak jelas dalam ukiran-ukiran alami otot di tubuhnya. Walaupun hidup sederhana, Parjo selalu memberikan yang terbaik untuk Joko. Joko mengetahui itu, dengan yakin.

Tubuhnya yang gosong karena terbakar matahari setiap hari. Kulitnya yang kasar yang dipakai bekerja sepenuh tenaga. Joko termenung mematung memandang Parjo.

"Jok, kenapa diam saja? Tadi lancar acaranya?" tanya Parjo membuyarkan lamunannya.

Joko tersadar namun tidak menjawab, ia langsung pergi ke kamarnya. Menaruh tasnya di kasur, terduduk, lalu mengambil KK dan akta lahirnya dari tas.

Sekali lagi ia mengamati perbedaan nama orang tuanya di kedua dokumen itu. Sepertinya kejadian-kejadian ini bukanlah sebuah kebetulan baginya.

Rasa penasarannya yang membuncah itu mereda melihat Parjo sedang menyiapkan meja makan. Ia urungkan niatnya untum bertanya tentang itu.

Ia beranjak menuju meja makan dan disambut oleh senyuman Parjo yang sedang menghidangkan sayur yang baru matang itu di meja makan.

Shreekk..

Gesekan kursi kayu dengan ubin menjadi suara pertama yang memecah keheningan sedari tadi, yang kemudian disusul lagi oleh diamnya Joko di mata Parjo. Sorot sinar matahari yang menembus satu buah atap kaca menyoroti ujung meja makan.

Tanpa berkata-kata, Joko mengambil nasi untuknya sekaligus di piring lain untuk bapaknya seperti biasa. Parjo hanya bisa bertanya dalam hati apakah ada sesuatu yang mengganjalnya, apa yang sedang membebani pikiran Joko, dan sebagainya. Ia tidak mencoba untuk membuka obrolan karena pikirnya yang terbaik adalah Joko makan dan sehat.

Melihat sebuah telur ceplok yang tersaji di depannya, ia mengambil sendok dan memisahkan kuning dan putih telurnya. Putih telurnya ia ambil sementara kuning telurnya ia berikan ke piring Parjo, ia menilik ke belakang dengan kebiasaan dari dulunya itu.

Menit demi menit, mereka makan dalam diam. saat makan, Parjo terpikir untuk bertanya kepada Joko setelah makan selesai. Hingga sampai saat sorot matahari berpindah ke lantai, mereka tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Sendok suapan terkahir dari keduanya diakhiri dengan minum air putih di gelas masing-masing. Beberapa momen kemudian sebuah seruan dari masing-masing mulut mereka terucap secara bersamaan.

"Jok."
"Pak."
!

Mereka kaget, Parjo memandang wajah Joko yang sedang menahan senyum tawanya. Namun, tiba-tiba, wajah Joko berubah ekspresinya seperti menahan sakit.

Zwunggg!!

"Shhhh... aduhh!"

Joko mengaduh kesakitan sambil meletakkan tangannya di punggungnya. Kali ini rasanya seperti tersambar oleh sesuatu yang amat panas. Parjo yang khawatir segera mengelus-elus punggung Joko.

"Jok, kenapa Jok? Sakit lagi?" Tanya Parjo penuh perhatian. Tangan kasarnya berusaha untuk mengelus punggung Joko dengan lembut.

"I-iya pak, Joko mau langsung tidur dulu pak, hari ini capek sekali." ucap Joko sembari menumpuk piring yang mereka gunakan.

"Iya, sudah Jok, kamu langsung tidur aja, bapak yang beresin, ya." Parjo menahan Joko yang setengah berdiri untuk membawa piring kotor mereka ke tempat cuci.

Joko menurut dan beranjak pergi menuju kamarnya. Parjo hanya melihat Joko yang berjalan sambil sedikit mendesah kesakitan. Kemudian segera membereskan yang kotor, lalu menuju kamar Joko dan melihatnya sudah tertidur.

***

Malam harinya

Parjo terbangun karena gerah akibat kipas angin yang mati. Ketika terbangun ia sadar bahwa sedang mati lampu, kilat kilat dan gemuruh kecil bersahutan menandakan akan turun hujan. Ia segera mencari korek dan lilin untuk penerangan.

Srett brushhh!

Korek kayu di tangannya menyala, belum sempat ia menyalakan lilin, ia dikejutkan oleh sebuah kilat yang terang sekali lalu disusul oleh petir yang disertai dengan teriakan yang terdengar dari kamar Joko.

BLITZ!! BLAR!!! CETARRRR!!!

"HAAAAARGGHHHH!!!"

Parjo dan Joko AnaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang