Gisella memperhatikan keadaan di sekelilingnya, kemudian kembali lagi pada kakaknya, Aira, yang masih sibuk memilah gaun yang berderet tepat di hadapannya. Mereka sedang berada di sebuah butik saat ini, yang setahu Gisella sepertinya tidak pernah kakaknya kunjungi sebelumnya. Tentu Aira senang berbelanja, tetapi bukan di tempat seperti ini. Biasanya Aira akan berbelanja pakaian-pakaian yang sedang trendy dan—seperti yang biasa mamanya sebut, kurang bahan. Ini juga salah satu hal baru yang Gisella temukan dari Aira.
Perempuan dua puluh empat tahun itu kembali menatap keadaan di sekelilingnya, terus menerus berpikir bagaimana tempat ini terlalu feminin dengan semua warna pastel dan merah muda. Tentu saja, Aira yang dulu tidak pernah memiliki selera seperti ini. Tetapi sekarang, disinilah mereka. Gisella bahkan kini sedang membantu membawakan beberapa potong pakaian yang sudah Aira pilih sebelumnya. Semuanya berbahan chiffon, atau memiliki aksen renda, dengan warna-warna pastel yang lembut dan manis dan jangan lupakan, semuanya sopan-sopan. Gisella mulai bertanya-tanya kembali apakah Aira sedang bermimpi atau bagaimana.
"Gigi, bagaimana menurutmu yang ini?"
Suara Aira segera menyadarkan Gisella kembali, tatapannya segera tertuju pada gaun yang saat ini berada di tangan Aira. Warnanya semu merah muda, bermotif floral dengan aksen renda sederhana berwarna putih tulang. Sangat cantik, Gisella akui.
"Menurutmu ini pantas dipakai untuk bertemu Tante MItha?"
Gisella kembali terperangah mendengar kalimat pertanyaan Aira yang terakhir. Nama itu segera mengingatkan Gisella pada seorang wanita--satu-satunya Tante Mitha yang dia kenal adalah Rusmitha Atmadja, ibu dari Matthias Atmadja. Pria itu.. adalah tunangan Aira selama tiga tahun ini, hasil dari perjodohan keluarga mereka yang tadinya, begitu Aira benci.
"Kakak.. ingin bertemu Tante Mitha?"
Tatapan Aira yang masih tertuju pada gaun di tangannya segera beralih pada Gisella kembali, dia kemudian tersenyum kecil dan mengangguk, sebelum kembali memperhatikan gaun di tangannya.
"Mama dan kakak akan bertemu Tante MItha besok lusa," tukas Aira sembari tersenyum, kemudian memberikan gaun yang masih berada di tangannya pada Gisella untuk bergabung dengan yang lainnya. "Kakak sudah membeli tas sebagai hadiah untuk Tante Mitha, dan mungkin Matthias juga akan datang kalau dia tidak sibuk di kantor," lanjut Aira, kemudian mengalihkan perhatiannya kembali untuk memilih gaun-gaun di hadapannya seolah apa yang baru saja dia ucapkan pada Gisella adalah hal yang lumrah.
Gisella kembali tertegun mendengar kalimat yang baru saja Aira ucapkan. Seolah kak Aira tidak ingat kalau dia pernah mengamuk setelah pesta pertunangan mereka tiga tahun lalu dan mengancam akan kabur dari rumah, dia baru saja mengucapkan kalimat itu dengan begitu enteng.
"Oh, Gigi," Aira sudah berada di deretan gaun-gaun yang lainnya, kali ini, Gisella melihat Aira sedang menunjukkan sebuah gaun berwarna hijau olive berbahan satin yang begitu cantik. Model gaunnya sedikit lebih terbuka dari semua gaun yang Aira pilih sebelumnya. Gisella segera tersenyum pada Aira dan mengangguk.
"Cantik kak," Gisella berucap, berpikir kalau gaun itu, meskipun sedikit, tetapi lebih cocok dengan selera kakaknya selama ini dibandingkan dengan semua gaun yang sudah Aira pilih sebelumnya. Saat Aira kembali tersenyum dan melangkah lebih dekat padanya, Gisella membuat gesture akan menerima gaun itu, tetapi dia justru kebingungan saat Aira menempelkan gaun itu pada tubuhnya seolah dia ingin melihat bagaimana sepotong kain itu terlihat di tubuh Gisella.
"Kau benar, Gigi. Cantik sekali," Aira berucap dan mengangguk, kemudian menatap Gisella kembali. "Cocok sekali untukmu."
Kalimat terakhir Aira justru membuat Gisella sedikit tergagap, bingung karena salah paham. Jadi maksud kak Aira gaun ini cocok untuknya?
"Kak, Gigi 'kan, hanya mengantar kak Aira hari ini, bukannya ikut berbelanja juga.." Gisella berucap, mencoba tersenyum dan tergelak pelan untuk mencairkan suasana dan perasaannya sendiri yang sedang bingung dan sedikit gugup menghadapi Aira hari ini.
Mendengar kalimat Gisella, Aira sedikit terkekeh seolah gemas dengan reaksi adiknya. Dia kemudian memperlihatkan kembali sepotong gaun itu lebih jelas pada Gisella. "Lihat, ini cantik sekali dan pas untukmu. Kakak yang belikan, okay? Kakak ingin Gigi memakainya saat hari pernikahan kakak, ya?"
Gisella kembali terperangah, terheran, dan berkedip beberapa kali mendengar kalimat terakhir Aira.
Apa kali ini? Pernikahan? Pernikahan kak Aira dengan Matthias, maksudnya?
"Kak.."
Aira, yang sepertinya mengerti soal keterkejutan Gisella hanya tergelak pelan kembali, setelah menyerahkan gaun itu pada Gisella, dia kemudian mencari yang lain lagi. Dia bermaksud membelikan Gisella beberapa potong lagi, jadi adik kesayangannya itu bisa memilih sendiri yang mana yang ingin dia pakai saat pernikahannya beberapa waktu lagi.
"Iya, apa kau lupa kakak dan Matthias akan menikah sebentar lagi?"
Apa Gisella ketinggalan sesuatu? Apakah ada satu chapter penuh dalam hidupnya yang Gisella lewati begitu saja hingga di tahap ini? Dia tidak ingat pernah melihat kakaknya senang—bahkan, setuju, untuk melanjutkan pertunangannya dengan Matthias, hingga ke tahap pernikahan.
Dengan itu, Gisella memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan Aira. Dia juga tidak tahu harus menjawab apa pada kakaknya.
"Ini," Aira menyerahkan beberapa potong gaun lagi pada Gisella, dan adik perempuannya itu hanya menerimanya tanpa mengatakan apapun. Jika Aira bilang ini untuk pesta pernikahannya, maka Gisella sama sekali tidak dapat melakukan apapun untuk melarangnya membeli gaun-gaun ini untuknya.
Sejak mereka kecil, Gisella sudah mendengar Aira menginginkan sebuah pernikahan yang sempurna dengan laki-laki yang dia cintai, dengan pangeran impiannya—meskipun setelah mereka dewasa, Aira justru lebih memilih kekasihnya, David. Dia bahkan begitu jengkel dan menentang keras perjodohan yang diatur oleh orang tua mereka dengan Matthias Braga Atmadja, satu-satunya keturunan keluarga Atmadja yang akan menjadi penerus bisnis keluarga Atmadja.
Meskipun Gisella masih muda saat itu, dia dengan mudah bisa mengerti, kalau Matthias bukan hanya sekedar seorang pangeran, tetapi seorang putera mahkota dalam kerajaan bisnis keluarganya. Sayangnya, Aira beberapa waktu lalu masih dibutakan oleh cintanya pada David, laki-laki dari keluarga biasa saja hanya karena dia sudah menjalin hubungan dengan pria itu selama delapan tahun lebih.
Gisella bahkan ingat terakhir kali dia mendengar nama David adalah saat mamanya menangis karena tahu kakaknya, Airani Kalandra Witte, tunangan dan calon istri dari Matthias Atmadja, justru pergi berlibur berdua bersama kekasihnya dan menghamburkan uangnya untuk laki-laki "tidak berguna" itu. Entah kemana Aira pergi saat itu, Gisella yang masih belum pulang ke Indonesia juga tidak ingin terlalu ikut campur urusan kakaknya. Tetapi yang pasti, saat itu Aira benar-benar dibutakan oleh cinta dan kata-kata manis oleh David.
Itulah, semuanya, yang membuat Gisella kebingungan dengan keadaan yang terjadi saat ini. Kakaknya yang berubah drastis seolah menjadi pribadi baru, serta semua keinginan mama dan papanya berjalan lancar—bahkan kak Aira dengan senang hati akan menikah dengan Matthias sebentar lagi. Hal yang Gisella pikir adalah salah satu hal paling tidak mungkin terjadi di dunia ini, justru kini dia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
Kalau keadaan bisa berbalik begitu drastis seperti ini, mungkinkah Gisella juga akan mengalami hal yang sama seperti apa yang Aira alami?
Gisella menggeleng pelan, mencoba menyingkirkan pemikiran itu dari dalam kepalanya. Apapun yang terjadi pada kak Aira, Gisella hanya bisa berharap hal itu tidak menyakitinya. Meski dia jarang memperlihatkannya setelah mereka dewasa—dan juga karena keadaan Aira juga yang selalu bertengkar dengan kedua orang tuanya, tetapi sungguh, dia benar-benar menyayangi kak Aira, satu-satunya saudara yang dia miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Etérea
RomanceWarning : 18+ contents. Be wise. *** Pada usianya yang tepat ke tiga puluh tahun, Airani Kalandra Witte, putri sulung dari keluarga Wijaya akhirnya mau menerima perjodohan yang diatur oleh keluarganya tepat setelah dia pulang dari liburannya di Veni...