Waktu pulangan telah tiba, Derbvaro menunggu Guezel di depan gerbang sekolah. Berulang kali dia menatap layar arlojinya. Yang lainnya berhamburan keluar untuk pulang pula. Mata Derbvaro berusaha fokus mencari wanitanya yang sampai sekarang masih belum ditemukannya.
Saat yang lainnya masih berdesakan keluar gerbang, Derbvaro akhirnya menemukan sosok Guezel yang dicarinya, namun gemuruh di dadanya seketika melunturkan senyumannya. Guezel bersama dengan Albert, berboncengan dengan sepeda merah muda milik Guezel. Derbvaro mendengkus kesal, dipukulnya pagar dengan genggaman tangannya lalu pergi dari depan gerbang.
“Pak, perpustakaan kota!” titah Derbvaro masih dengan rasa sesak di dada.
“Siap, Tuan.”
Mobil melaju, Derbvaro masih menangkap pemandangan yang baru saja dilihatnya barusan. Saat ini dia terbakar oleh api kecemburuan yang sangat membara. Sopir memerhatikan wajah kesal Derbvaro dari kaca spion tengahnya.
“Tuan, kenapa mukanya ditekuk gitu?”
Derbvaro menatap pada sopirnya.
“Ga kenapa-napa, Pak.”
“Ceweknya yang tadi mana?” pancing sopir pada Derbvaro.
“”Cewek yang mana? Sudah Pak, fokus nyetir aja!” Derbvaro melipat tangan ke dada lalu melemparkan pandangannya ke arah lura kaca mobilnya.
Sopir terkekeh pelan, sebenarnya dia melihat kejadian yang disaksikan oleh Derbvaro. Sopir tahu kalau Derbvaro saat ini merasa kesal karna melihat Guezel bersama lelaki lain yakni Albert.
“Katanya mau pulang bareng, malah mesra-mesraan berdua,” gerutu Derbvaro tanpa sadar yang didengar oleh sopir. Sopir menahan tawanya dan tidak berani mengusik suasana hati Tuan mudanya saat ini. Mobil berhenti di parkiran perpustakaan kota yang sangat luas. Jejeran mobil berderet rapi begitupun mobil Derbvaro yang masuk pada barisan. Masih dengan wajah yang ditekuk, Derbvaro keluar dari mobilnya. “Tunggu di sini aja ya, Pak!” titah Derbvaro lalu pergi.
“Anak muda, anak muda.”
Derbvaro masuk ke dalam perpustakaan, buku di sini jauh lebih lengkap di bandingkan perpustakaan di sekolahnya. Derbvaro menyousuri lorong rakyat buku yang telah tersusun berdasarkan jenis-jenisnya. Derbvaro sengaja mencari deretan buku fiksi, mencari buku bergenre fantasi untuk menghibur kecamukan hati yang terbakar api cemburu.
Perlahan dia menarik napas dan menghembuskan nya perlahan, lalu membuka lembaran pertama dari halaman buku yang telah berada di tangannya. Perlahan dia masuk ke dunia fantasi dalam cerita yang sedang dibacanya.
“Iya, Profesor. Pastinya rencana kita kali ini tidak boleh ada yang tahu.”
Derbvaro mempertajam pendengarannya, dia mengenal suara itu yang nada bicaranya sama persis dengan apa yang diingatnya. Derbvaro saat ini berada di lorong rak buku. Derbvaro mengintip dari sela buku-buku yang tersusun pada rak. Dua orang laki-laki sedang berdiri dan berbincang. Satu orang diantaranya adalah Mr. Eyudru. . “Mr. Eyudru,” gumam Derbvaro.
Saat ini ruangan perpustakaan memang kosong karna yang lainnya berada di ruangan yang lain, tadinya Derbvaro memang mencari tempat yang sunyi untuk menenangkan hati.
“Mr. Kita harus menyelesaikan secepat mungkin. Misis rahasia kit ini pasti akan menghasilkan keuntungan yang amat besar untuk kita,” ucapan lelaki yang berhadapan dengan Mr. Eyudru. Keduanya tertawa bersama seolah menyoraki kemenangan mereka.
Derbvaro menyimak dengan seksama, rasa penasaran pun muncul di benaknya. “Misi rahasia?” gumam Derbvaro dalam hati. Setelah Mr. Eyidru dengan teman bicaranya itu keluar dari ruangan ini, Derbvaro langsung meletakkan kembali bukunya. Dia pun keluar dari ruangan dan mencoba mencari jejak Mr. Eyudru yang masih menimbulkan pertanyaan di dalam benaknya. Apakah mungkin mengenai tugas penelitian yang dimaksudnya waktu di ruangannya? Ataukah ini ada hal yang lainnya.
Dering ponsel Derbvaro membuat Derbvaro yang tengah fokus itu terenyuh. Dirogohnya saku seragamnya lalu mengeluarkan ia kan ponselnya yang masih bergetar.
‘Hallo, Der. Kamu di mana?’ suara dari balik panggilan telepon.
Panggilan telepon dari Guezel yang membuat Derbvaro teringat kembali dengan kekesalannya.
‘Der, hallo... Der!’
Derbvaro hanya diam tak memberikan jawaban.
‘Der....’
‘Iya, kenapa?’
‘Kamu di mana?’ suara Guezel terdengar menggeram.
‘Perpustakaan. Kenapa?’
‘Krnapa ke perpus? Bukannya tadi janjinya ke toko pamanku?’
‘Aku lupa.’ Derbvaro berbohong.
‘Aku ga mau tahu, sekarang juga kamu ke sini!’
Tut... Tut....
Panggilan telepon diputus oleh Guezel.
Derbvaro menaruh kembali ponselnya ke dalam saku bajunya lalu memutuskan untuk keluar dari perpustakaan. Meski rasa penasarannya belum terjawab, namun dia harus tetap memenuhi janji dan tanggungjawabnya.
“Sudah selesai, Tuan? Tumben sebentar?”
“Iya, Pak. Aku buru-buru. Anterin ke toko buku lagi ya!”
Derbvaro masuk ke dalan mobil.
“Oh, udah selsai cemburuannya,” gumam sopir.
“Ngomong apa, Pak?” tanya Derbvaro.
“Enggak ada, Tuan. Nggak ngomong apaapa.”
Derbvaro mendengkus kasar lalu memasang earphonenya ke telinga. Mobil melaju dan tak berapa lama sampai ke toko buku milik pamannya Guezel.
Derbvaro masuk ke dalam toko. Dicarinya sosok Guezel.
“Derbvaro!” panggil Albert.
Derbvaro berdecak pelan. “Dia lagi,” gerutu Derbvaro. Albert melangkah ke arah Derbvaro.
“Hai,” sapa Albert.
Derbvaro menanggapi dengan tersenyum tipis.
“Guezelnya lagi ke toilet bentar.”
“Oh.” Derbvaro sangat datar. “Aku mau cari buku dulu kalau gitu,” sambungnya untuk menghindar dari Albert.
“Oke.”
Derbvaro berkeliling, rasa kesal kembali membara saat dia teringat kejadian canda tawa Guezel bersama Albert yang berboncengan menggunakan sepeda.
Guezel telah selsai dari toilet. Derbvaro hanya melirik sekilas menunggu dipanggil oleh Guezel.
“Der!” panggil Guezel.
Dengan wajah yang datar, Derbvaro menjawab. “Iya.”
“Sini!” titah Guezel.
Derbvaro tanpa semangat itu pun meongkahkan kakinya mendatangi Guezel. Mereka bertiga duduk memundar mengitari meja yang berbentuk lingkaran. Guezel menaruh di atas meja buku catatan yang berisi tugas-tugas yang harus dilakukannya bersama dengan Derbvaro.
Guezel mengeluarkan pola pikirnya, Albert menyimak dengan saksama setiap apa yang Gue sel jelaskan pada Derbvaro, sedangkan Derbvaro malah gagal fokus menatap wajah Guezel yang sangat menenangkan jiwa dan raganya.
“Gimana, setuju ga?” tanya Guezel setelah selesai menjelaskan opininya.
Derbvaro tak Menjawab krna dia masih tenggelam dalam menyelami indahnya setiap hari wajah Guezel.
“Der! Hallo!”
“Der!”
Akhirnya Albert menepuk pundak Derbvaro yang terdiam mematung itu.
Deg!
Derbvaro terksesiap kaget.
“Iya, ada apa?”
Guezel tertunduk lesu. “Der. Kamu dari tadi kenapa cuman bengong? Aku sudah jelasin opini aku panjang lebar dan kamu ga nyimak?”
“Sorry, sorry, Guezel. Tadi, aku ga fokus.”
“Argh, kamu gimana sih, Der? Masa iya aku ngulang dari awal lagi?”
Akhirnya dengan terpaksa Guezel kembali mengulang ucapan opininya kembali. Kali ini Derbvaro menyimak dengan saksama. Setelah Guezel selesai menjelaskan, Derbvaro pun ikut memberikan beberapa masukan. Dan terjalin diskusi diantara keduanya yang cukuemakan waktu. Tidak ada maslah berpa alamat pun bagi Derbvaro jika itu waktu bersama dengan Guezel.
“Oke, akhirnya selesai!”
“Kalau gitu aku pamit pulang ya. Guezel, Albert.”
“Iya, silakan. Hati-hati di jalan, Der!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Twelve XII
FantasyDerbvaro bersekolah di salah satu sekolahan menengah atas yang teramat terkenal dengan murid-muridnya yang jenius. Kecintaannya dengan buku cerita yang mengangkat cerita dunia fantasi yang berkaitan dengan magic sangatlah dia gemari hingga sampai se...