8) Kekuatan Magic

8 3 0
                                    

Derbvaro menyusuri jalanan yang gelap, suara tawa itu masih belum berhenti memekak telinganya. Derbvaro bingung harus ke mana? Dia berteriak berulang kali namun tidak ada yang menjawab teriakannya itu. Paluh membasahi badannya.

Napas Derbvaro tersengal, dahaga merogoh tenggorokannya yang terasa kering setelah berteriak keras. “Aku harus ke mana?” ujarnya berulang kali dengan kebingungan.


“Ma....,” teriaknya lagi.

Derbvaro benar-benar ketakutan, tempat ini sangat mengerikan baginya. Sendirian tak ada teman dan mendengar suara-suara aneh yang mengerikan. Derbvaro berlari hingga akhirnya terjungkal.

Derbvaro meringis, lelaki yang sosoknya kuat ini kini menangis ketakutan sembari memeluk lututnya. Dia sangat berharap jika saat ini dia hanya berada di dalam dunia mimpi dan sebentar lagi dia akan terbangun ke dunia nyata yang baik-baik saja.

Derbvaro berusaha untuk tenang, menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Derbvaro pun menutup kedua matamya.

[Cahaya tak bisa dikatakan cahaya jika tiada gelap, dan kegelapan tidak bisa dikatakan gelap jika tiada cahaya.] Kutipan dari halaman ke dua belas pada buku milik Mr. Eyudru tiba-tiba saja memenuhi pikiran Derbvaro saat dia menutup matanya.


“Cahaya, kegelapan. Artinya?” gumam Derbvaro.

Mata Derbvaro langsung terbuka. “Pasti ada cahaya di sekitaran sini.” Dengan keyakinan hatinya, Derbvaro kembali bangkit. Kembali berusaha mencari jalan keluar dari kegelapan dan ketakutan saat ini.

“Siapa pun, tolong aku!” teriaknya nyaring.

Suara denting jam terdengar nyaring. Derbvaro mempertajam pendengarannya. Dia mengenali suara itu yang tidak lain dari suara jam rumahnya yang menunjukkan jam dua belas malam. “Hah, itu.”

Derbvaro kembali berpikir, mengingat buku yang telah dibacanya. “Pasti ini semua ada hubungannya dengan angka dua belas romawi itu.” Asumsi Derbvaro kuat.


Derbvaro mengangkat suaranya, melakukan ancang-ancang untuk menguras seluruh suaranya. “Twelve.....,” teriaknya sangat nyaring.

Cahaya langsung saja datang menyilaukan penglihatan. Derbvaro tak bisa melihat dengan jelas dan dia pun tersadar.


Derbvaro sudah berada di rumahnya, duduk pada kursi di depan meja belajarnya yang mana kedua bukunya sudah tersusun rapi di atas meja. Derbvro meraba tubuhnya, memukul pelan kedua pipinya yang merasa tak menyangka. “Aku sudah di rumah? Aku sudah di rumah?” ucapnya kegirangan. Derbvaro sangat antusias dengan rasa bahagianya, dia tidak pernah membayangkan apa yang akan dia lakukan jika selamanya di tempat gelap itu.

Setelah kesenangan, Derbvaro terkulai lesu. Tenaganya sudah habis tak bersisa.

***

“Der, kamu lihat Guezel nggak?” tanya Alex tiba-tiba.


Derbvaro yang tadinya melahap makanannya di kantin sekolah itu hampir saja tersedak. “Astaga, Lex. Hampir aja aku mati gara-gara kamu.” Derbvaro meraih minumannya dan minum menggunakan sedotan.


“Sorry, Bro.”

“Kamu ada lihat Guezel ga, aku tanya.”


Derbvaro menggeleng. “Ga ada, bukannya tadi di kelas?”

“Iya, tadi di kelas. Sekarang udah ga ada. Aku cariin ga ketemu-ketemu.”


“Palingan di perpustakaan.” Derbvaro kembali mengunyah makanannya.


Alex berdecak pelan. “Ga ada, Der. Aku sudah ke sana. Di ruangan TU juga ga ada, di laboratorium juga ga ada. Ke mana lagi dia?”

Derbvaro mengusap bibirnya pelan. Ditaruhnya kembali sendok pada mangkuknya. “Ke mana ya? Aku ga tau juga sih biasanya dia ke mana aja.”

Plak. Bahu Derbvaro dipukul Alex dengan kerasnya.


“Aduh! Sakit tau, Lex.”


“He, sorry. Kamu sih, bukannya kamu kenal sama Guezel udah lama, kok bisa sih ga tau dia bisanya ke mana gitu?”

“Lex, aku bukan mata-mata.”


“Ah, susah ngomong sama kamu, Der, Der.” Alex bangkit dan siap beranjak meninggalkan Derbvaro. Berbarengan dengan Alex, dari arah lain pelayan di kantin sekolah sedang membawa nampan berisi makanan serta minuman pesanan yang siap dia antarkan ke meja pemesanan. Tapi, tiba-tiba saja dia hampir jatuh dan arah jatuhnya tepat pada Alex.

“Aaaa.”


Derbvaro tercengang. “Alex awas! Berhenti.”

Deg!


Seketika semuanya terhenti menjadi patung. Minuman serta makanan yang akan jatuh tepat pada Alex itu pun ikut terjeda. Derbvaro semakin tercengang, ditatapnya kedua telapak tangannya dengan kedua bola matanya yang seperti mau lepas dari tempatnya. Derbvaro mengitarkan pandangannya ke sekelilingnya, semuanya sama, mematung tanpa gerak. Hanya Derbvaro seorang diri yang bisa bergerak bebas. “Kenapa bisa?” ujar Derbvaro masih tidak percaya.


“Apa aku mimpi?”


“Arg, tidak. Ini nyata.” Derbvaro tersenyum bangga untuk dirinya sendiri. “Apa iya aku punya kekuatan magic?”

“Hahaaa.”


Derbvaro memperbaiki posisi mangkuk serta gelas yang hampir tumpah pada Alex itu. Setelah itu dia duduk kembali pada bangku yang tadi menjadi tempat duduknya untuk menikmati makanannya. Dia kembali pada gerakan serta ekspresi semualanya.


“Bergerak!” ucapnya yakin jika semuanya akan kembali bergerak seperti sedia kala sebagaimana cerita-cerita fantasi yang dia baca pada buku-buku fiksi yang pernah dia baca.


Benarlah, semuanya kembali bergerak.


“Aaa.”


Makanan dan minuman tidak jadi jatuh pada Alex. Huh, syukurlah. Kirain tadi jatuhnya ke aku.” Alex mengusap dadanya lega.


Derbvaro tersenyum lalu kembali melahap makanan dan minumannya. “Gila! Aku beneran punya kekuatan magic?”


Selepas dari kantin, Derbvaro bergegas pergi ke toilet sekolah. Dia masih tidak percaya atas apa yang telah dilakukannya. Akhirnya Derbvaro masuk ke toilet khusus laki-laki. Menunggu yang lainnya keluar dari toilet sampai toilet benar-benar kosong.


“Hei, Der," sapa Albert yang hampir berbarengan dengan Derbvaro.


“Hai juga, Albert.” Mood Derbvaro sirna setelah melihat wajah Albert. Albert tersenyum kepadanya lalu masuk ke dalam toilet. Saat ini Derbvaro berada di hadapan wastafel. Kakinya dihentakannya pelan ke lantai, sembari menunggu Albert keluar dari toilet.

Ceklek.


Pintu terbuka, Albert keluar dari toilet dan singgah sebentar untuk mencunci tangannya di wastafel. “Aku duluan ya, Der!” ucap Albert.


Derbvaro mengangguk menanggapi. ‘Cepetan!’ ujarnya dalam hati.


Albert pun mengeringkan tangannya lalu beranjak pergi. Waktu yang ditunggu-tunggu Derbvaro akhirnya tiba, dia sekarang sendirian di dalam toilet. Derbvaro menatap lekat telapak tangannya lalu berusaha mengeluarkan tenanganya dan mengarahkan telapak tangannya pada kran. “Bergerak!” ucapnya.


Tiada ada pergerakan.

Derbvaro mengerutkan dahinya, lalu mengulangi ucapannya kembali. Tapi tetap saja tidak ada pengaruh apa pun.


“Kok ga bisa sih?” Derbvaro menggaruk kepalanya yang tak gatal.


“Masa iya aku udah gila?”


Derbvaro mendesah kasar dengan kecewa, dia pun mencuci mukanya pada wastafel, menatap wajahnya di pantulan cermin dan berpikir tentang dirinya yang masih waras atau tidak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Twelve XIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang