Tiga

1.2K 138 17
                                    

Typo

***

"Anak tidak tahu diuntung! Sudah diberi izin untuk menjadi pengamen di jalanan tapi malah membuat ulah! Mentang-mentang anak orang kaya jadi kau bisa bebas melakukan itu semua?! Cih!"

"Yeobo..."

"Diamlah! Urus anakmu itu! Aku lelah!" pria berumur sekitar akhir 50-an itu pergi, tidak tahu ke mana tujuannya, namun yang pasti dia ingin pergi karena tidak mau melihat anaknya yang sedang duduk tertunduk di sofa ruang tengah dengan perasaan bersalah.

"Jangan terlalu dipikirkan, Appamu memang seperti itu. Hum?" sang Eomma menenangkan anak semata wayangnya itu sambil mengelus surai panjang si anak, lalu memilih untuk memeluknya, menenangkannya―sekaligus, untuk menghapus rindu karena sudah lama tidak berjumpa dengan anaknya itu.

"Aku sudah diam, Eomma. Bahkan aku sama sekali tidak marah saat mereka menggangguku. Aku menerimanya. Tapi, apa aku harus tetap diam saat orang yang membelaku―yang sama sekali tidak bersalah, harus ikut menjadi korban juga? Apalagi dia seorang perempuan,"

"Lihat? Eomma tahu kau tidak akan melakukan itu tanpa alasan yang jelas, sayang. Eomma yakin kau memiliki alasannya," ucapnya lagi tanpa menghentikan usapan di surai anaknya, "Tapi, katakan pada Eomma, siapa perempuan yang membelamu sampai remaja itu ikut melukainya?"

"Hanya perempuan biasa,"

Nyonya Kim tersenyum penuh makna setelah mendengarnya, "Kalau perempuan itu tidak istimewa, anak Eomma yang cantik ini mana mungkin akan memukuli seorang anak di bawah umur sampai masuk IGD dan hampir menghilangkan nyawanya, bukan? Tapi, kalau tidak mau memberitahukan seistimewa apa perempuan itu untukmu, Eomma juga tidak masalah,"

"Hng. Terima kasih, Eomma,"

"Sama-sama, sayang,"

-

-

-

Kejadian lumayan mengerikan itu sudah terlewat 2 hari lalu, namun, Hanni masih dapat mengingatnya dengan jelas. Bagaimana badut pantomim yang semula dia anggap lucu dan ramah itu, lusa kemarin sangat menyeramkan dan mirip seperti seorang psikopat.

Tapi untungnya, setiap Hanni pulang 2 hari ini, Minji sudah tidak terlihat di tempat biasanya. Hanni sangat bersyukur akan itu. Selain takut, Hanni juga tetap merasa tidak enak karena sudah mengatai Minji seorang monster. Dia spontan malam itu. Sungguh Hanni tidak memiliki niat untuk mengatakan hal sekasar itu padanya.

Karena itu bukan Hanni sekali.

Tapi ya sudahlah.

Tak!

Hanni tersentak dan mengerjapkan mata saat sebuah jentikan tangan terjadi di depan matanya. Dia menoleh kepada pelakunya, "O- oh, Dongjae, aku pikir siapa," Hanni mengusap tengkuknya merasa tidak enak karena ketahuan melamun.

Lelaki bernama Dongjae yang kebetulan rekan kerjanya itu tersenyum, dan memilih mendudukan dirinya di samping Hanni, "Kenapa melamum sendiri?"

"Memang melamun harus ajak-ajak?"

Dongjae menahan tawanya yang hendak meledak karena pertanyaan kelewat polos yang dilontarkan Hanni padanya, "Bukan itu maksudku. Maksudnya, kenapa melamun? Ada masalah yang mengganggu pikiranmu sekarang?"

Tidak mau menyangkal, Hanni lantas mengangguk.

"Masalahmu ini terlalu privasi atau tidak? Kalau tidak privasi kau bisa bercerita padaku. Tapi, kalau terlalu privasi lebih baik jangan," ucap Dongjae disertai sebuah senyuman, membuat lesung pipi di sebelah kanannya terbentuk. Manis sekali.

Love and ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang