Kami berjalan menuju kamarku, merasa ada sesuatu yang aneh pada Solar dan Blaze. Aku memandangi mereka secara bergantian, perlahan perasaan itu semakin jelas. Dan...
Bingo!
"Oh, ya. Blaze, kenapa kamu masih ingat Kira'na?" tanyaku heran.
Seingatku, bukankah semua elemental mengalami amnesia? Dan jika diingat kembali saat mereka keluar dari jam, Solar lah yang memberitahu fakta, kalau mereka adalah pecahan dari diriku.
"Hmm? Entahlah, ingatanku kacau. Terkadang aku mengingat sesuatu dan melupakannya," jelas Blaze sambil mengangkat kedua bahunya.
"Lalu, Solar. Bagaimana denganmu?"
Solar yang merasa ditanya, menoleh ke arahku. "Ingatanku aman, walau sedikit kacau. Tapi setidaknya, ingatanku lebih baik dari mereka semua."
"Wah, kalian beneran lupa ingatan?" tanya Gopal sambil mengetuk kacamata milik Solar.
Tidak suka dengan tindakannya, Solar hanya memasang ekspresi kesal. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menyerang temanku.
"Lalu, kenapa mereka memanggilmu Tuan? Bukannya Boboiboy?" tanya Fang yang sudah merasa sedikit lebih tenang.
"Oooh... itu ulah Solar. Soalnya tadi Blaze gak nerima, jika hanya aku yang dipanggil Boboiboy. Jadinya Solar mengajukan panggilan itu."
Merasa ada hal aneh, Yaya hanya menoleh kesana-kemari. Sedangkan diriku hanya terdiam, berusaha memahami maksud dari tindakannya.
"Eh, tunggu! Mana Halilintar dan Gempa?" tanya Yaya yang menyadari dua dari kami menghilang.
Aduh, bener juga! Terlalu fokus sama masalah tadi, aku jadi lupa sama mereka berdua.
"Kami di sini."
Sebuah suara yang dingin menyapa kami. Terlihat dua anak berpakaian warna merah dan kuning keemasan sedang berjalan menyusul dari belakang.
"Darimana saja kalian?" tanya Taufan heran.
"Hanya jalan-jalan," jawab Halilintar sambil mengalihkan pandangannya.
Langkah kaki penuh kebencian perlahan mulai berjalan melewatiku. Sebelum menjauh, Halilintar menatapku dengan tatapan sinis yang mematikan. Lalu, berjalan memasuki kamarku yang berada tak jauh dari tempat kami berada.
"Eh? Ada apa dengan Halilintar?" tanya Gopal heran sembari menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.
"Hmm.... sepertinya dia semakin benci dengan Tuan," ujar Gempa yang berada di belakangku.
Wajahnya yang lesu tanpa energi, memberitahuku kalau dia baru saja gagal membujuk Halilintar.
"Sudahlah, dia memang begitu. Sebaiknya kalian semua cepat masuk ke dalam, Tuan butuh istirahat yang cukup," ucap Solar rewel sembari membuka pintu kamarku yang baru saja ditutup Halilintar.
Aku mengangguk tanda setuju, lalu menyenggol bahu Gempa pelan. "Biarkan saja dulu, dia hanya perlu waktu," ujarku dengan senyuman lebar.
"Tapi..."
Gempa yang hendak mengatakan sesuatu, memilih untuk diam. Lalu tersenyum lebar ke arahku, wajah ceria yang tadi sempat hilang, kini terlihat jelas.
"Kau benar, ayok masuk."
Gempa mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar, diikuti oleh yang lain. Aku hanya bisa terdiam sejenak, melihat mereka yang menjauh. Perasaan gembira dan khawatir bercampur menjadi satu. Senang rasanya bisa merasakan memiliki saudara kembar, sekaligus khawatir dengan perpecahan yang akan menimbulkan masalah besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Family
Fiksi PenggemarCeritanya dipindahkan ke (CHANGED) My Family adalah sebuah kisah yang menceritakan seorang anak bertopi Dino yang sedang menunggu kepulangan orang tuanya. Namun, karena alurnya terasa agak berantakan. Jadinya Author ganti cerita ini menjadi (CHANGED...