"Ma, Kalo aku mendaki gunung, boleh gak?" Tanyaku pagi itu.
"Nggak boleh" Sentak Mama. Aku yang tengah menyantap sarapan saat itu sedikit terkejut karena nada bicara Mama lumayan tinggi, berbeda dari biasanya.
Wanita bernama Miya tersebut akhirnya mendekat dan duduk di sampingku, Mama masih terlihat cantik di usianya, Kedua matanya sipit kulitnya pun putih bersih, Memang Mama memiliki keturuan darah tionghoa, Para tetangga kerap memanggilnya Cici ( Sapaan untuk wanita cina). Tapi sayangnya, Kami berdua terlihat berbeda meskipun wajah kami hampir memiliki kesamaan, Postur tubuh kami berdua sangat berbeda jauh, Mama bertubuh langsing dan tinggi semampai, sedangkan aku sebaliknya, tinggiku hanya 150 cm dengan bobot tubuh 65 kg. Itupun kadang naik pas weekend tiba.
"Kenapa, Ma? bukannya dulu juga Mama pernah mendaki?"
"Sekali Mama bilang gak boleh ya gak boleh, Aya "
Kata-kata itu terus terngiang di telinga, Kilasan kejadian sarapan pagi terakhirku bersama Mama terus berputar di otak. Seketika Aku mengerjapkan mata yang terasa berat. Sakit di sekujur tubuh membuatku enggan untuk bergerak.
"Bangun woy...bangun"
Samar terdengar suara laki-laki di dekatku, Apakah dia malaikat maut? Aku ingat betul insiden tadi saat tubuhku terperosok ke dalam jurang yang sangat dalam, Aku terhempas sekaligus terbentur dedahanan pohon dan batu yang sangat curam, berkali-kali tubuh ini tersentak. Mungkin inilah nasib yang harus aku terima, sebuah Kematian mungkin.
"Banguuun"
Teriakan itu sangat memekakan telinga. Sejurus kemudian mataku terbuka, aku bisa melihat ke atas, hanya ada langit di angkasa dihiasi lebatnya pepohonan, suara gemericik air terdengar begitu jelas oleh pendengaran.
"Dasar bocah, Banguuun"
Aku terkejut saat sesosok tubuh tinggi tegap berdiri di hadapanku. Jika dia malaikat maut, kenapa pakaiannya seperti seorang pendaki?
Dia menghampiriku lebih dekat sehingga aku bisa jelas mengamati wajahnya.Tampan, Laki-laki ini memiliki wajah yang enak di pandang lama-lama. Dirinya memiliki hidung mancung dengan rahang yang tegas. Bulu-bulu tipis terlihat jelas di area dagunya, kulitnya khas orang Indonesia, secara sekilas laki-laki ini terlihat resik. Dia menggunakan jaket berwaran merah dan celana pendek selutut. Sepatu yang dia kenakan sudah terlihat usang dan kotor, tapi hal itu tidak menurunkan ketampanannya sedikit pun.
"Ckk...Bangun, Kita harus cepat keluar dari sini. Kalo tidak, kamu mau di mangsa hewan buas"
Aku melongo dibuatnya, Bukan. Dia ternyata bukan malaikat maut seperti yang aku kira, itu tandanya aku masih hidup.
"To--tolong" Ucapku terbata.
Terlihat dia mendengus, bukannya membantuku untuk bangun malahan dia duduk tepat di sampingku kemudian menyalakan sebatang rokok kretek. Hei, ini orang kok gak peka banget, Padahal jelas kondisiku saat ini penuh dengan luka.
"Bangun saja, Obati lukamu. Lalu kita pergi"
Perlahan aku mencoba untuk bangun, seluruh tubuhku sangat nyeri, apalagi dibagian kaki. Saat berhasil duduk, aku mengamati bajuku yang penuh dengan sobekan pastinya terdapat beberapa luka disana, yang menjadi pusat perhatianku yaitu sebuah luka yang berada di daerah paha, luka menganga sebesar telapak tangan, entah itu bekas goresan atau benturan yang jelas darah segar masih keluar dari sana.
"Ma--ma" Lirihku dengan mata berkaca.
"Ckk...Gak usah cengeng, cepat obati sendiri, buka ransel kamu, pakai obat yang ada"
Laki-laki tersebut sama sekali tidak menghiraukan tangisanku. Beberapa saat aku hanya terdiam begitupun dirinya yang masih menikmati sebatang rokok yang terus dia hisap, asap rokok tersebut melambung di udara. Aku kesal sendiri, tidakkah dia iba dengan keadaanku yang kepayahan.
"Yasudah kalo mau terus nangis aku mau pergi, sebentar lagi gelap. Pasti banyak hewan buas yang akan datang kesini. Ular, Harimau, Ma---"
"Iiya...iya...tunggu sebentar"
Aku langsung membuka ransel yang masih tersampir di punggungku. Tapi sialnya ransel ini hanya berisi cemilan, skincare dan pakaian ganti.
"Heh, Kamu mau mendaki apa piknik hah? Obat P3K saja tidak ada, dasar-----"
''Hik hik hik... " Aku menangis sesegukan, mungkin ini yang di sebut kualat saat menentang perkataan orangtua, kenapa juga aku sampai lupa tidak membawa obat. Betadin saja tidak ada, Aku terus merutuki diri sendiri.
"Terus saja menangis, Kamu pikir dengan menangis lukamu bisa sembuh hah? Lain kali Obat P3K itu harus selalu ada di ranselmu, kamu pikir cemilan ini bisa ngobatin luka? Atau peralatan make up ini bisa jadi alat pertolongan pertama"
"Terus saja marah-marah kalo bisa nyembuhin luka aku, marah aja sepuasnya" Balasku.
Terlihat dia menggusar rambutnya saat mendengar ucapanku.
"Kamu mau pulang?" Tanyanya yang langsung mendapat anggukan dari kepalaku.
"Tepat di sampingmu ada dedaunan, petiklah beberapa helai, atau cari batang yang agak besar ambil getahnya!"
"Yang ini?" Tunjukku pada rumput liar yang berada tepat di sampingku. Berhubung batang daunnya masih sangat kecil, aku berinisiatif memetik daunnya saja.
"Tumbuklah ...!" Titah laki-laki. Kedua alisku saling bertaut.
"Tumbuk pake apa?" Tanyaku.
Laki-laki itu terlihat membuang nafasnya kasar. " Pake jidatmu, Masih nanya lagi".
Ya ampun, ini laki-laki gak ada manis-manisnya sama sekali, orang nanya baik-baik juga.Laki-laki itu terus mengamati gerak-gerikku, Aku bisa melihat wajahnya terlihat kesal, samar terdengar dia berbicara dalam bahasa lain, tapi masa bodo. Yang penting dia masih ada disini. Paling tidak, ada yang menemaniku di tengah hutan yang baru aku jelajahi.
"Selesai..." Ucapku. Saat dedaunan tersebut berhasil aku tumbuk menggunakan batu. Lagi-lagi dia hanya mendengus.
"Taruh di atas luka kamu, itu hanya goresan. bukan luka dalam, setelahnya balut pakai kain supaya daun tersebut langsung meresap ke lukanya"
Aku pun mengangguk paham. Tapi, darimana aku bisa membalut luka ini dengan kain. sedangkan di tas ransel ini hanya ada pakaian ganti, itu pun beberapa kaus dan celana, plus pakaian dalam.
"Kenapa lagi?"
"Anu--- balutnya pakai apa ya?"
Dia berdiri lalu menghentakkan kakinya kesal, sebelumnya dia mendelik ke arahku, Kami berdua saling menatap. Aku langsung kikuk mendapat tatapan mata setajam elang. Perlahan dia melepaskan ikatan kepalanya, sebuah kain berwarna abu tua dengan corak batik ia serahkan kepadaku.
" Waktu kita tidak banyak, cepat tutupi lukamu"
Mendengar perintahnya, aku pun bergegas membalut luka ini, sangat perih sekali saat daun tersebut menyentuh kulit. Tapi sekuat mungkin rasa sakit ini aku tahan.
"Cepat...Kita harus lari" Ucapnya.
Aku tersentak saat beberapa burung liar tiba-tiba saja beterbangan ke angkasa, sepertinya aktivitas mereka yang tengah bertengger di pepohonan terusik. Entah apa itu, Semak belukar yang berada di sebrang kami berdua tiba-tiba saja bergoyang.
"Ayo..Lari" Ucap laki-laki seraya menarik tanganku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jasad Yang Terpendam Jiwa Yang Ingin Pulang
AventuraAyara akhirnya melakukan pendakian, Jiwanya seakan terpanggil saat mendengar nama Gunung Selamet. Meskipun tidak mendapatkan Ijin dari sang Ibu, Ayara bersikukuh pergi mendaki. Namun naas di perjalanan Ayara mengalami kecelakaan yang menyebabkan dir...