🍁enam🍁

19 9 2
                                    

Peluh sudah membanjiri tubuh ini seiring dengan kencangnya tiupan angin, Aku memberanikan diri untuk membuka mata. Dan,

"Astagfirullah..."

Aku memejamkan mata lagi, merapalkan doa yang masih bisa ku ingat. Sekuat mungkin aku harus melawan rasa takut ini, Ya...Tepat di depanku, Makhluk itu berdiri dengan wajah yang menyeramkan. Badannya hitam legam, tingginya hampir 2 meter dengan lidah yang menjulur hingga dada, belum lagi taringnya menjulang ke atas, matanya merah menyala.

Aku terus merapalkan doa, memejamkan mata berharap makhluk tersebut pergi, Namun suara lain semakin memekakan telinga. Runtuh sudah semua pertahananku, jika sampai ada makhluk lain di sana. Namun, di detik selanjutnya tanganku seakan ada yang menarik, aku mencoba diam tanpa mempedulikan semua yang terjadi. Tapi kenapa hati kecil ini berkata lain, sentuhan itu seakan aku mengenalnya. Perlahan mataku memicing, ternyata ada Bang Ziel di sampingku, tapi sayangnya wajahnya dipenuhi dengan darah dan tubuhnya penuh luka-luka.

"Larilah semampumu, keluarlah dari hutan pinus ini" Ucapnya terbata-bata.

"Abang...abang kenapa?" Pekikku. Tidak mungkin aku meninggalkannya sendiri dalam keadaan seperti ini.

"Tidak, pergilah...Mereka tidak suka ada manusia disini!" Ucapnya lagi.

"Mereka siapa, Bang?"

Tangan Bang Ziel memegang erat tanganku, kali ini tangan itu teramat sangat dingin seperti aku memegang bongkahan es.

"Bang....!" Tangisku pecah.

"Anak baik, berjalanlah ke arah timur, yakin kamu bisa keluar dari sini. Di ujung hutan sana, ada pohon Akasia besar. Berhentilah disana, Tunggu aku"

"Lalu Abang gimana?"

"Pergilah, kamu harus selamat. Berjanjilah untuk bertahan. Ingat apapun yang menghadangmu di tengah jalan, jangan pernah berhenti sebelum sampai di Pohon Akasia"

Taklama suara-suara aneh itu bermunculan,  Aku tahu di tengah gelap sana ada banyak makhluk yang tengah mengawasiku.

"Lari, cepat. Bawa kayu panjang itu bakarlah sampai menyala, gunakan sebagai penerangan selama perjalanan"

Antara tidak tega dengan keadaan Bang Ziel dan memilih untuk pergi, Namun berkali-kali Bang Ziel memintaku untuk pergi. Akhirnya aku pun mengikuti semua sarannya, terlebih dengan berat hati aku meninggalkan Bang Ziel sendiri.

"Aku tunggu di Pohon Akasia nanti..." Ucap Bang Ziel.

Aku mengangguk setelah mendengar ucapannya nyaliku pun semakin bertambah, sebuah kekuatan besar tiba-tiba menghampiriku.

Berbekal obor yang saat ini aku pegang, Kakiku melangkah menyusuri gelapnya malam. Berjalan cepat menuju arah yang Bang Ziel sebutkan. Suara-suara tawa yang menggema di udara sengaja aku abaikan, Makhluk-makhluk itu seperti tengah menertawakanku, tapi itu tidak menjadi masalah, Silahkan kalian tertawa asal jangan pernah menggangguku.

Semakin jauh langkah kaki ini terasa semakin berat, sekujur tubuh ini seakan menopang sebuah beban. Tapi semua itu bukan penghalang untukku sampai ke tempat yang Bang Ziel janjikan. Sesaat setelahnya bau busuk sangat menyengat indra penciuman, Aku pun menutup hidung guna mengurangi bau tersebut, semakin melangkah bau itu semakin menusuk, hingga aku tak kuasa menahan rasa mual.

"Kuat, Ayara. Kuat..." Aku terus menyemangati diri ini. Berjalan lurus ke arah timur, pepohonan pinus masih terlihat di kiri dan kanan. 

"Aaarggghhhh....Kenapa tadi bukan fokus saja berjalan, malah sok sok'an lihat kanan kiri"

Benar saja pohon-pohon pinus yang sedari tadi berdiri, kini berubah menjadi makhluk-makhluk menyeramkan, mungkin mereka yang tadi siang Bang Ziel sebut sebagai jiwa-jiwa yang hilang. 

Akun tertegun sembari tetap melangkah lurus, mereka semua memperhatikanku, bajuku sudah basah dengan keringat yang bercucuran meskipun sebenarnya malam ini sangat dingin sekali.

Makhluk-makhluk tersebut sangat menyeramkan meskipun mereka berwujud manusia, semuanya memakai baju pendakian. Ada yang wajahnya hancur, bahkan kepalanya nyaris putus, ada yang sebagian tubuhnya tidak lengkap, mungkin di mangsa oleh hewan buas, ada juga yang matanya hilang dan keluar sebelah, mungkin bau busuk tersebut berasal dari mereka. Aku terus berjalan, selain ketakutan sebenarnya rasa kasian sangat mendominasi. Mungkin mereka juga sama sepertiku awalnya, hendak mendaki namun takdir berkata lain.

Dada ini seketika sesak mengingat akan nasib para korban, hutan yang sunyi senyap saat ini riuh dengan suara tangisan yang memilukan.

"Siapapun kalian, semoga arwah kalian tenang di alam sana, di ampuni segala dosanya"

Aku pun sejenak memanjatkan doa terlebih dahulu, doa yang pernah guru agama ajarkan khususnya untuk mereka yang sudah meninggal.

Perlahan suara tangisan itu menghilang dan makhluk itu berganti kembali menjadi pepohonan. Tidak menunggu lama, Aku pun melanjutkan perjalanan. 

Langit sudah cerah, itu tandanya pagi menjelang. Hampir semalaman aku berjalan kaki menyusuri hutan ini, dan dari jarak 3 meter, Pohon Akasia berdiri kokoh. Itu tandanya, aku sudah hampir sampai. Obor yang aku pegang juga sudah sangat pendek, semoga apinya mati saat langit sudah terang.

Aku pun melangkahkan kaki dengan cepat, Namun sebelum sampai tempat tujuan, langkahku terhenti. Sebuah cekalan tangan yang mengenai kedua kakiku. 

Aku diam mematung merasakan sebuah tangan yang memegang erat kedua kaki ini, Ya Tuhan jangan sampai aku berjumpa lagi dengan hantu.

"Tolooong..." Ucapnya dengan rintihan.

Suara itu tidak asing di telinga, Aku pun melihat ke arah bawah.

"Bang Ziel..."

Kedua kakiku di tarik kencang hingga aku jatuh terjerembab.

Jasad Yang Terpendam Jiwa Yang Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang