🍁tiga🍁

16 9 3
                                    

" Jika kamu tidak mengejar apa yang kamu inginkan, Kamu tidak akan pernah memilikinya. Jika kamu tidak pernah bertanya, Jawabannya akan selalu tidak. Jika kamu tidak melangkah maju,  Kamu akan selalu berada di tempat yang sama" 

                ☘️☘️☘️

"Lari...lebih cepat lagi..."

Entah sudah berapa jauh aku berlari melewati semak belukar yang tingginya hampir sama dengan orang dewasa. Laki-laki itu terus berlari kencang dengan tangan yang masih memegang erat tanganku. Aku bisa melihat kedepan betapa rimbunnya semak yang aku lalui, tapi anehnya semak itu seperti jalanan biasa tak sedikitpun aku kesusahan untuk melewatinya.

Luka disekujur tubuh ini rasanya seperti menghilang. Aku berlari sekuat tenaga yang aku miliki. Yang aku tahu dibelakang sana ada bahaya yang tengah mengintai, Hingga akhirnya nafas ini sudah tidak beraturan sampai aku kesulitan untuk bernafas.

"Bang...Stop" Ucapku.

Genggaman tangan itu akhirnya terlepas seiring dengan kebas yang aku rasakan di bagian telapak tangan karena tangan laki-laki itu terasa dingin sekali. Aku terdiam sembari mengatur nafas, Barulah beberapa detik kemudian aku kembali merasakan sakit di sekujur tubuh ini, apalagi di bagian kaki. Aneh memang, saat tadi berlari tubuh ini tak merasa sakit sedikitpun atau itu karena efek ketakutan, mungkin saja.

"Sudah mau gelap, Kamu bawa alat penerangan?" 

Aku menggelengkan kepala, Apa tadi dia lupa dengan isi ransel yang aku bawa. Laki-laki itu pun terdiam sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"Ayo jalan lagi, tempat ini masih tidak aman untuk dijadikan tempat berkemah" 

"Jalan aja ya, Bang. Jangan lari, aku udah---"

Belum selesai aku berbicara, tubuh itu hampir saja menghilang di balik semak belukar. Ish menyebalkan memang, Akhirnya aku pun berlari kembali menyusul dirinya yang sudah berjalan lebih dahulu. Sampailah kami berdua di tempat yang tidak terlalu rimbun, tanahnya pun cukup landai, dan sepertinya tempat ini pernah di gunakan sebagai tempat peristirahatan, karena ada bekas api unggun dengan arang yang tersisa, tapi itu pun sepertinya sudah lama.

"Kalau mau berkemah, carilah tanah dengan kontur yang datar. Hindari area dasar lembah atau ngarai, karena saat malam suhu di sana bisa sangat dingin" Ucapnya santai.

Demi mencairkan suasana, aku pun mencoba mengajaknya mengobrol sambil duduk rebahan, baru saja aku mempersiapkan obrolan untuk kami berdua, lagi-lagi dia membentak.

"Heh...malah duduk, bukannya bikin api unggun! Kamu mau gelap-gelapan di sini tanpa penerangan sedikitpun, Apa isi ransel kamu ada yang bisa digunakan sebagai penerangan hah?" 

"Bi---bikin aa--api unggun? Caranya?"

"Makanya sekolah itu yang bener, bikin api unggun aja gak bisa!"

"Ya gimana? Orang beneran kok gak bisa"

Laki-laki itu kembali membuang nafas kasar. 

"Yasudah, kumpulin kayu-kayu kering" Ucapnya pelan, tapi aku masih bisa mendengar jelas. Aku pun gegas mengumpulkan ranting-ranting kering yang berceceran di sekelilingku, Sedangkan dia bukannya ikut membantu malah diam mematung sembari bersidekap. "Sabar, Aya. Sabar. Begini kalo kualat sama orangtua"

Beberapa menit kemudian, Aku sudah mengumpulkan kayu bakar. " Segini cukup gak, Bang?" 

Laki-laki itu tidak menjawab hanya mengangkat kedua bahunya. "Sabar, Aya. Sabar"

"Oia, nyalain apinya----" 

"Cari batang kayu yang agak runcing, taruh di atas batang kayu yang agak besar sebagai alas, Kemudian geseklah, taruh rumput kering di sisinya sampai gesekan tersebut nantinya mengeluarkan percikan api, itu namanya tekhnik hand drill" 

Kaya di jaman purbakala banget gak sih, nyalain api mesti di gesek-gesek begini, Kalo sekarang ngerasa nyesel banget gak pernah ikut eskul Pramuka. Coba aja dulu rajin, pasti hal kaya gini udah fasih.

"Percuma mau nyesel sekarang juga gara-gara gak pernah ikut eskul pramuka, sekarang mending fokus nyalain apinya"

Dih, itu orang kok bisa tahu. Perasaan tadi,  aku cuma ngomong di dalam hati. Atau jangan-jangan dia ini bisa membaca pikiran orang lain? bisa malu dong, tadi aku sempat ngata-ngatain dia. Aku terus melakukan instruksi yang diberikannya, dengan susah payah mencoba menghidupkan api tanpa bantuan sebuah pemantik atau korek. Lama, sudah hampir satu jam terlewati, namun api tak kunjung menyala. Yang ada tanganku sampai perih karena menggesakan batang kayu.

"Coba lebih fokus lagi"  Ucapnya.

Aku mendengus, Laki-laki itu tidak ada niatan untuk membantu sama sekali pikirku. Padahal ini kan tugasnya laki-laki.

"Heh, jangan menggerutu aja, Hal seperti ini juga harus bisa di lakukan seorang perempuan, tugas saya hanya memberi petunjuk, selebihnya kamu yang melakukan"

Deg.

Lagi-lagi dia bisa menebak isi kepalaku, Aku jadi bergidig ngeri, Akhirnya aku mengulang kembali namun hasilnya tetap nihil. Mencoba lagi, dan... Akhirnya percikan api pun muncul dan menyambar dedaunan yang kering.

"Huft... Akhirnya berhasil juga"

Aku bersorak heboh, merasa bangga dengan hasil pekerjaanku. Dan saat aku mendongakan kepala betapa terkejutnya melihat laki-laki itu tengah kembali menghisap sebatang rokok. What? Jadi ngapain aku capek-capek menghidupkan api, sedangkan dia sendiri punya korek. Laki-laki itu sempat menahan tawa.

"Itung-itung belajar"  Seloroknya.

***

Malam pun tiba, Kami berdua masih saling diam. Sungguh aku masih kesal dengan insiden sore tadi, tanganku saja masih terasa kebas, bisa-bisanya dia mengerjaiku. Tapi, ada kebanggaan tersendiri saat aku melihat api unggun yang berkobar di depan mataku. Pencapaian yang membanggakan, dimana seorang Meilani si anak rumahan bisa menghidupkan api unggun tanpa bantuan korek api.

Udara dingin malam semakin menusuk tulang belulang, belum pakaianku yang tidak terlalu rapat karena beberapa bagian terdapat sobekan. Aku sengaja mendekatkan tubuh ini demi menghangatkan tubuh ke depan api unggun, Kami duduk saling berhadapan. Laki-laki itu duduk santai dengan menjadikan kerilnya sebagai sandaran. Sebatang rokok masih dia hisap, entah dia memang memiliki stok banyak rokok atau mungkin rokok tersebut gak habis-habis, Intinya dari sore dia terlihat asik dengan aktivitas tersebut.

"Jangan ngelihatin terus, mending tidur. Besok pagi siapin tenaga lebih, perjalanan masih sangat jauh"

"Oia, Bang. Sebelumnya, aku boleh tahu gak nama Abang siapa?"

Hening tak ada jawaban, dia tidak menanggapi pertanyaan yang aku berikan, sesekali dia menghisap kembali rokoknya dengan mata yang terpejam. Sabar, Aya. Sabar.

"Abang asli mana? terus kok bisa nemuin aku? Abang sendiri tujuanya-----"

"Tidak usah banyak tanya, dan jangan mau tau urusan orang lain lebih dalam, Masalah nama, Lihatlah di sisi kain yang kamu pakai, tidurlah..."

Aku pun langsung menelisik dimana kain tersebut terikat di bagian pahaku. Di bagian sisi memang tertulis huruf kecil namun sudah samar, Ziel Er ----- ngga. Beberapa huruf tidak jelas terlihat.

"Bang...ini?"

Saat akan bertanya lagi, Laki-laki yang bernama Ziel itu tiba-tiba menghilang  begitu saja, Kemana perginya dia? Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling yang nyaris sangat gelap. cahaya terang hanya berasal dari api unggun. 

"Tega sekali, dia pergi tanpa berpamitan..." Lirihku. 

Akhirnya tidak ada cara lain selain merebahkan tubuh ini, tanpa ada tikar apalagi tenda, hanya beralaskan tanah bernaungkan langit. Tidak pernah terpikirkan olehku berada dalam situasi seperti sekarang, tiba-tiba saja aku merindukan orang rumah sampai tak terasa air mataku sudah jatuh berlinangan.

"Mama...Papa...Aya pengen pulang"










Jasad Yang Terpendam Jiwa Yang Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang