01. RASA SAKIT MAFAZA

102 58 30
                                    

THE DESTRUCTION OF A
MAFAZA

COPYRIGHT• Drstii
Hak cipta di lindungi oleh undang-udang.



SEBELUM MEMULAI, TEKAN VOTE TERLEBIH DAHULU, THANK YOU👋

AND
SELAMAT MEMBACA!!



Setelah pulang sekolah, Mafaza melangkahkan kakinya memasuki pelataran rumah nya setelah tadi dia di antar Farrel pulang.

Pandangan Mafaza meliar ke sebuah rumah bertingkat dua yang cukup mewah. Sebelum menarik handle pintu, mata Mafaza meliar ke setiap sudut rumah yang dipenuhi lampu setiap sisi, rumah bertingkat dua itu tampak sepi dari luar.

Ini adalah rumah masa kecil Mafaza. Rumah ini sering jadi tempat pulang Mafaza meski tidak pernah menjadikan tempat yang aman dan tenang untuk beristirahat.

Mafaza terlahir dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya adalah pemilik hotel WHS di kota Jakarta, jika dilihat dari status Ayahnya semua orang pasti beranggapan kalau hidup Mafaza pasti tercukupi dari lahir. Memang benar dari kecil Mafaza tidak pernah kekurangan finansial.

Namun untuk kasih sayang dan ketentraman, Mafaza tidak pernah mendapatkan itu sedari kecil.

Di usia tujuh tahun, Mafaza sadar kalau dia lahir di antara saudara-saudaranya yang tidak pernah menginginkan kehadirannya. Mafaza adalah anak terakhir dan dia memiliki 3 saudara tiri.

Mafaza lahir dari wanita yang di duga istri kedua Ayahnya, Ibunya Mafaza dinikahi Ayahnya disaat sang kakek memaksa Ayah Mafaza untuk menikahi Fatma di saat istri pertama nya sudah setahun meninggal. Bahkan setelah menikah bukan hanya Ayahnya Mafaza yang tidak menganggap Fatma, namun juga anak anak Ayahnya yang lain, alias saudara tiri Mafaza. Saudara-saudara Mafaza menganggap Fatma bencana bagi mereka dan cuma mengejar harta sang Ayah.

Mafaza harus menelan pil pahit saat menyadari identitasnya itu disaat usia nya masih terbilang kecil. Dia disebut anak tiri di usia sepuluh tahun, karena sejak lahir dia sudah pisah rumah dengan saudara-saudara tiri nya dan juga Ayahnya sendiri.

Sejak saat itu, Mafaza beranggapan kalau kehadirannya hanya membawa bencana. Terlebih saat Fatma ibunya meninggal di usia Mafaza yang ke 12 tahun, jadilah Mafaza selalu menganggap dia hidup di tempat seperti neraka. Hampir setiap waktu, ia selalu diolok-olok saudara-saudaranya agar cepat pergi ke panti asuhan. Namun Mafaza tetap bertahan di rumah itu, rumah yang menjadi saksi bagaimana ibunya menghembuskan nafas terakhir dalam hidupnya.

Mafaza mendorong handle pintu itu dan masuk. Suasana mencekam mulai terasa saat ia melihat di ruang tamu, terdapat jejeran koper dan tas besar.

"Non Aza, baru pulang? Mau Mbak buatkan minuman?" tanya santi, ART yang menjaga rumah sekaligus yang mengurus Mafaza sejak kecil.

"Ini koper siapa?" Mafaza mengalihkan pertanyaan.

"Ini koper Bapak, Non. Beliau baru pulang dan katanya mau nginep, sekalian nemenin kamu katanya," balas santi.

"Kenapa gak di rumah nya sendiri? Nggak perlu ditemenin, aku bisa sendiri kok."

Santi hanya tersenyum canggung, tapi dia tetap menarik masuk koper itu.

Mafaza mendengkus kesal, ia paling tidak suka hal ini. Ayahnya sering mengunjungi rumah ini untuk sekedar mampir kalau lelah dari perjalanan bisnisnya, atau bahkan menginap sampai beberapa hari.

Sebenarnya Mafaza tidak keberatan, karena rumah ini juga milik ayahnya. Tapi yang jadi masalah, kalau Ayahnya sudah pergi pasti dia yang berurusan dengan saudara-saudaranya. Mereka akan mengolok-olok Mafaza dan menuduh Mafaza akan merayu Ayahnya untuk dapat warisan atau minta uang dalam jumlah banyak.

Padahal kenyataannya, Mafaza tidak pernah diberikan uang sepersen pun kecuali uang untuk biaya sekolah dan gaji untuk santi.

Mafaza melangkah hendak pergi ke lantai dua, tapi langkahnya tertahan saat melihat pintu kamar di dekat tangga terbuka, memunculkan bayangan pria tua dari dalam kamar.

"Kamu pulang?" tanya Zines Ayahnya Mafaza sambil melangkah keluar dari kamar mendiang ibu Mafaza yang sudah lima tahun tidak dihuni.

"Iya" jawab Mafaza singkat.

Zines tersenyum di antara keriput di wajahnya. "Ayah kangen sama ibu kamu, jadi mau nginap satu minggu disini."

Mafaza sontak melotot mendengar Ayahnya bicara.

"Seminggu? Gak biasa banget,"

"Memang kenapa? Ayah gak boleh nempatin kamar ibumu?"

Mafaza mencebikkan bibirnya, lalu menatap Ayahnya dengan pandangan sinis. "Itu bukan kebiasaan Ayah, kenapa Ayah gak pulang ke rumah istri Ayah yang baru? Bukannya Ayah baru nikah sebulan lalu? Terus kenapa datang ke sini lagi?"

Zines menggeleng. "Ayah gak bisa nikah karena Ayah masih mencintai ibu kamu, jadi jangan berpikir macam macam Mafaza!"

Mafaza memutar bola matanya jengah. "Basi. Kalimat itu gak bakal mempan buat jadi ucapan maaf Ayah. Ayah masih nyesel, kan, karena udah ninggalin ibu yang sakit? Tapi gak usah bohong, Ayah. Mafaza tahu kalau dari dulu ibu gak pernah punya posisi yang pantas jadi istri Ayah,"

"MAFAZA!" sentak Zines, spontan membuat Mafaza terkejut.

"Jaga bicara mu, kenapa tutur kata mu buruk sekali?!"

"Itu karena didikan Ayah sama kakak-kakak tiri! Kenapa Ayah marah kalau dari dulu Ayah gak pernah didik aku?"

"Berani sekali kamu Mafaza!" tangan Zines mengepal, siap memukul Mafaza. Tapi gadis itu langsung memalingkan muka sambil menutupi wajahnya.

"Kalau gak ada Ayah, kamu bisa jadi gelandangan! Sana pergi cari keluarga ibu kamu kalau gak kuat ngadepin keluarga Ayah! Ingat ucapan Ayah Mafaza, tanpa Ayah kamu cuma anak gelandangan, nggak beda jauh sama ibu kamu!"

Sentakan Zines membuat Mafaza tercengang, meski bukan kali pertama nya, sebab kata kata itu sering ia dengar dari mulut para saudaranya.

Seperti biasa, rumah itu kembali menjadi saksi bagaimana Mafaza disakiti oleh orang orang yang sebenarnya dia sebut keluarga, tapi malah menjadi pelaku utama sumber rasa sakitnya.

MAFAZA (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang