Kejadian beberapa bulan yang lalu selalu terulang ulang dikepalaku. Aku terkadang suka memikirkan menjamah tubuh mungil Fal. Aku suka melihat ekspresinya yang kegelian.
"Papa hari ini ada dinas ke luar kota lagi, kondisi cuaca sedang buruk, Ran setelah pulang sekolah langsung pulang, mungkin nanti malam akan ada badai, jadi langsung pulang kerumah." Perintah papa, aku hanya mengangguk sambil mengunyah sarapanku. Papa pamit pada kita semua, mencium kening kita dan melumat bibir tante Syani.
Hari ini aku dijemput tante Syani dan juga Fal. Hari sudah semakin mendung, sekolah dipulangkan lebih awal.
"Hari ini Mbak lagi pulang ke rumahnya, anaknya sakit. Jadi hanya ada satpam dan supir yang ada dirumah. Kalian ingin beli apa? Cemilan atau makanan?" Aku menggeleng karena kelelahan.
Akhirnya kami langsung pulang. Aku langsung masuk kamar dan melempar tasku kesembarang arah. Kubenamkan diriku kedalam kasur dan selimut. Dan akupun tertidur.
Duaarrrrr!!!!
Suara petir begitu kencang, aku kaget sekali mendengarnya, disusul oleh listrik padam dan teriakan Fal. Aku jadi kaget.
"Mamaaaa!" Teriaknya.
Aku langsung mengambil hpku dan menelepon pak satpam. Memang biasa beliau yang menyalakan genset.
Pak Satpam bilang gensetnya sedang terjadi korsleting dan mungkin harus menunggu beberapa jam untuk selesai.
Tok...tok...tok...
Pintuku diketuk pelan.
"Ran, listriknya sedang padam. Gensetnya sedang rusak juga. Ayo kita istirahat sama-sama." Ajak tante Syani.
"Gapapa tante, Rani berani sendiri kok."
"Tapi masalahnya kita yg tidak berani sendiri." Ucapnya membuka pintu.
"Ayo kita tidur bersama." Ucapnya.
Akhirnya aku bangun dan ikut tante Syani.
"Rani masih pakai seragam sekolah ya?" Tanyanya.
"Iya te, tadi kecapean terus gk sadar ketiduran."
"Kamu mau ganti baju dulu kah?"
"Gapapa kok tante."
Kami menuju kamar Fal. Tampak disana dia meringkuk ketakutan. Tante Syani menyalan beberapa lilin dibeberapa tempat membuat suasanya menjadi temaram.
Duarrrrrrrr!
Suara petir menggelegar!
"Mammaaaaaaaaa!!!" Teriak Fal, masih meringkuk dan tanpak ketakutan.
"Iya sayang mama disini" tante Syani merebahkan badannya disamping Fal, dan membelai lembut rambutnya.
"Mamm, Fal takut...hiks!" Ucapnya hampir mau menangis.
"Iya... iya sayang, mama disini." Tante Syani membawa Fal kedalam pelukannya.
Aku masih terdiam berdiri melihat keakraban mereka. Aku merasa sedih karena tidak ada yg membelaiku saat aku sedang ketakutan. Aku jadi terbiasa tidak takut sendiran.
"Mama, nenen..." Ucap Fal, aku merasa tidak salah dengar.
"Huss Fal, malu ada kakakmu disini."
"Gk mau! Pokoknya nenen! Fal takut ma!!!" Fal mulai menangis.
"Cupp...cup...cup... sayang... baiklah kalau begitu."
Aku melihat tante Syani mengeluarkan payudaranya dari gaun tidurnya yang tipis. Aku melihat Fal mencari-cari puting tante Syani dan kemudian melahap dengan lembut, sementara tante Syani membelai lembut rambut Fal. Aku mematung melihat hal didepanku.
Apakah akan seperti ini jika aku punya ibu?
Apakah akan ada yg menemaniku saat aku ketakutan?
Apakah akan ada orang yg membelai rambutku saat aku terlelap?
Berbagai pertanyaan berputar di otakku.
"Ran...kemarilah..." Ucap tante Syani lembut, mengisyaratkan aku harus berbaring disampingnya. Sementara Fal masih menyedot lembut puting tante Syani.
Aku melangkahkan kaki menuju sebelah tante Syani.
"Fal anak yang penakut, setiap kali dia mendengar petir dia akan menangis ketakutan dan hanya nenen yg bisa membuatnya tenang." Jelasnya.
Puting tante Syani dilepaskan perlahan dari mulut mungil Fal. Fal sudah terlelap kembali.
"Kemarilah..." Tante Syani menarik tanganku dengan lembut membaringkanku disebelahnya. Tante Syani membelai lembut rambutku, rasanya sedikit aneh tapi aku merasa begitu nyaman.
"Ran...Rani anak tante, jadi kapanpun Rani takut atau butuh tempat untuk bersandar, tante akan ada untuk Rani." Ucapnya lembut, menarikku kedalam pelukannya. Hangat sekali. Apakah ini rasanya dipeluk ibu?
Aku tak sadar meneteskan air mata.
"Cup...cup...cup sayang..." Tante Syani mengecupku beberapa kali dipipi, dagu, hidung dan keningku.
Aku semakin menangis terseduh, entah mengapa perasaanku jadi seperti ini. Tante Syani mendekapku jauh lebih dalam ke pelukannya. Tangisku menjadi-jadi. Diangkatlah mukaku dengan kedua tangannya, untuk melihatnya. Aku baru menyadari tante Syani secantik ini. Benar benar cantik tidak kalah dengan orang orang yang berseliweran di TV. Kulitnya putih terawat, bibirnya pink penuh, matanya yang sipit somehow membuatnya terlihat lebih muda.
Didekatkannya mukanya ke mukaku.
Cup...
Kali ini dia mengecup bibirku.
Ada sensasi berbeda saat dia mengecup bibirku beda dari kecupannya yang tadi.
Aku meneteskan air mata dan memejamkan mataku.
Tante Syani mengecup bibirku kembali, tapi kini dengan sedikit lumatan.
Emmmppp.... aku refleks sedikit mendesah.
Kini lidahnya masuk melalui bibirku yang terbuka. Dilumatnyalah bibir dan lidahku membuatku merasa menjadi gerah.
Ahh, jadi begini rasanya dikecup orang yang kita sayang? Inikah mengapa papa tiap pergi selalu mengecup bibir tante Syani? Inikah cara menunjukkan kasih sayang pada orang yang kita sayangi.
Ahh aku merasa bahagia sekali.
Tante Syani melepaskan lumatannya, melepaskan bibir indahnya dari bibirku, mengecup dengan sekejap bibirku kembali.
"Tante..." Ucapku lembut sedikit bergetar.
"Mmmm...?" Tante Syani membelai rambutku penuh kasih sayang.
"Bolehkah aku memanggil tante Syani mama?" Suaraku hampir tidak terdengar?
"Apa kamu bilang?" Dia kaget dan terduduk, payudaranya masih sebelah keluar.
"Maaf misal tante tidak berkenan..." aku mulai meneteskan air mata kembali.
"Tidak sayang... bisakah kau mengulanginya lagi?" Ucapnya lembut sambil menggenggamku.
"Ma...ma..."
Seketika tante Syani meneteskan air mata, bercucuran bahkan melebihi ku tadi.
"Jangan menangis ma..." Jari-jariku mengusap air matanya yang berjatuhan. Digenggamlah tanganku diciuminyalah tanganku.
"Berkat apa yang kudapatkan hari ini? Semesta membukakan pintu hatimumu sayang... Terimakasih banyak... terimakasih banyaaak...."
Dikecupinya tanganku kiri dan kanan secara bergantian.To be continued~
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirty Little Secret
Teen FictionHai Aku Rania, mungkin kalian tidak percaya dengan apa yang kutulis tapi ya terserah saja mau percaya atau tidak. Alasanku menulis ini, karena aku butuh tempat bercerita, tak mungkin aku mengisahkan kisahku ini ke orang-orang yang mengenalku.