5: Drawning

962 120 7
                                    

"Oh, pria yang selalu duduk di kursi nomor 5 itu? Terakhir dia kemari hari Jum'at kemarin. Dia menanyakanmu karena sudah dua hari kau tidak bekerja. Aku tak tahu apa-apa, jadi aku bilang seadanya. Kau mengenal dia? Kapan? Astaga, kenapa kau tidak menceritakannya? Dia tampan dan seksi, ya Tuhan, kau harus mendapatkannya!" Renee bercerita penuh semangat. Hari ini Sabtu, aku baru berkunjung kemari karena sibuk oleh urusan sekolah dan merasa hampa tanpa kehadiran Thomas selama hampir seminggu. Aku menghembuskan nafas jengah, dadaku terasa sesak menahan rindu yang menggumpal menyakiti paru-paruku, membuat ruang oksigen di dalamnya menyempit.

"Apa dia meninggalkan sesuatu untukku?" Tanyaku, berharap Renee mengatakan ya lantas memberikanku sesuatu. Namun ia hanya mengedikkan bahu, mengerucutkan bibirnya lantas kembali mengelap gelas-gelas.

"Dia bilang, dia sudah mengunjungi flat-mu berulangkali dan teman flat-mu yang kamarnya terletak di sampingmu bilang kau sudah pindah. Dia juga menjemputmu ke sekolah tapi tak mendapati dirimu. Dia menanyakan alamatmu yang baru, tapi aku tak tahu. Aku memberikan nomor ponselmu, namun tidak aktif. Dia benar-benar mencarimu. Aku kebingungan bagaimana harus membantunya. Hey, Cailin! Kau membuatnya frustasi. Aku bersumpah. Aku sering melihatnya dengan wajah yang kusut seakan-akan dia kehilangan sosok istri yang tengah mengandung sembilan bulan! Kau membuatku marah." Renee memukulku dengan lap tangan yang di pegangnya. Aku meringis lantaran itu terasa sakit.

"Aku sibuk karena sekolah. Ayahku memintaku untuk kembali ke rumah. Ini alamat dan nomor teleponku jika suatu saat kau membutuhkannya dan Thomas datang kemari mencariku. Tapi, sekarang hari Sabtu, aku tidak melihatnya datang kemari." Rasa cemas menghantui diriku, menyebar dengan cepat ke seluruh tubuhku. Oh, Thomas, maafkan aku. Aku pun tak ada niat untuk meninggalkanmu seperti ini. Aku merindukanmu dan berharap bertemu denganmu seperti yang kau rasakan. Mataku memandang meja nomor 5 yang kosong, merasakan rasa cemas yang luar biasa. Lantas teringat perkataan Ayah bahwa ia akan menghadiri pesta rekannya nanti malam. Aku pun segera bangkit dari atas kursi di meja pastry dan mengucapkan beberapa patah kata pada Renee sebelum akhirnya pulang menaiki taksi.

***

Rumah megah dan besar itu di penuhi bunga-bungaan yang cantik dan indah. Aku tersenyum riang, mencengkram lengan Ayahku yang berbalut jas berwarna abu-abu. Kulangkahkan kakiku menaiki undak-undakkan tangga kecil yang membawaku menuju ruang tengah yang sudah di sulap menjadi aula dengan desain yang begitu elegan. Aku tersenyum saat seorang wanita setengah baya menyambutku bersama seorang gadisnya yang cantik. Mereka berdua mirip sekali dengan wajah yang oriental dan ramah.

"Adam, senang bertemu denganmu. Dan oh astaga," wanita itu menutup mulutnya kemudian mengamit tanganku, meremasnya dan menatapku lembut. "Mary, kau kah itu? Kau cantik sekali. Mirip seperti Ibumu." Ia tersenyum manis, mengusap air mata yang hampir menetes. "Dulu ia sahabat terbaikku, wanita terbaik yang pernah ada. Dan perkenalkan ini putriku." Kemudian gadis berambut pirang sepertiku melangkahkan satu kakinya, menjabat tangan Ayah dan aku. Kami berdua benar-benar disambut hangat oleh Tuan rumah dan ini merupakan awal yang baik untuk menikmati pesta.

"Aku sangat bahagia mendengar berita tentang putramu, Tasha." Ayahku bersuara setelah sekian lama bungkam. Wanita yang dipanggil Tasha itu tersenyum dan meninju pelan lengan Ayahku saat Ayah melontarkan lelucon yang sedikit menggelitik perut. Kemudian gadis berambut pirang di sebelahku tersenyum manis, sama manisnya dengan Tasha, Ibunya. Ia dengan senang hati mengajakku untuk masuk lebih dalam. Menikmati berbagai macam dessert dan minuman-minuman yang segar. Hujan turun sangat deras diluar sana hingga tamu-tamu berkumpul di dalam menciptakan suara bisikan-bisikan yang lembut.

"Hujan di luar sana seakan tidak menyetujui acara ini." Celetuk gadis cantik di sampingku. Aku terkekeh geli tanpa mengerti maksud ucapannya.

Aku menoleh saat acara di buka yang aku sendiri bahkan tidak tahu acara apa ini. Namun saat kedua pasangan menaiki panggung yang sedikit lebih tinggi dan saling memakaikan cincin, aku baru tersadar bahwa acara ini adalah acara pertunangan. Aku terhenyak, mencoba menembus kerumunan orang-orang yang bertepuk tangan saat pasangan itu saling mencium satu sama lain. Dan saat aku sampai di barisan paling depan, saat itu juga mataku terkunci pada sosok pria diatas sana. Sosok pria yang kukenal telah melukis berjuta-juta pelangi di hatiku.

Fading Away (Thomas Sangster Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang