10: Clarity

1.3K 127 39
                                    

May 16th, 2015.

"Tunggu," nadanya sama seperti saat di kafe ketika ia memesan. "Namaku Thomas, Thomas Sangster."

"Selamat malam, Cailin."

"Cailin Russo." Ucapnya lagi yang spontan membuat hatiku berdegup kencang.

"Aku tak tahu apa tanggapanmu mengenai ucapanku sebelumnya. Namun itu memang sebuah kenyataan, aku belum melakukan apapun padamu. Maksudku, sesuatu yang dapat membuatmu benar-benar merasa senang."

"Mungkin ini terdengar gila tapi, kau tahu mengapa aku selalu duduk di meja yang sama? Meja nomor 5 itu?" Thomas menghentikan langkahnya di bawah pohon cemara yang rindang dengan lampu-lampu kecil yang melilit di setiap batang pohon kokoh itu.

"Kaca itu memantulkan bayangan dirimu, baik dari meja pastry, maupun saat kau berjalan-jalan mengantarkan pesanan ke meja lain."

"Aku senang sekali duduk disana, memperhatikan setiap gerak-gerikmu. Maka dari itu, kau sering memergokiku sedang memandang keluar jendela, bukan?"

"Cailin Suzanne Russo."

"Kau tak perlu meminta maaf, kau benar-benar terlahir tanpa kesalahan bagiku."

"Kau darimana saja?"

"Aku menunggumu, berniat mengenalkanmu pada kedua orangtuaku, menjalin hubungan dan berakhir mengamit jemarimu diatas altar mengikrarkan janji suci di hadapan Tuhan. Tapi kau, nyaris hilang di telan bumi dan muncul pada saat yang tidak tepat, saat keputusan itu sudah bulat."

"Kau tahu kenapa aku berbohong di pesta malam itu? Karena aku mencoba merubah keadaan. Aku pikir dengan cara seperti itu mampu merubah pikiran Ayahku dan bisa menerima kenyataan bahwa kita memang harusnya bersama."

Ku lempar batu-batu kecil ke danau. Batu-batu itu membuat air yang semula tenang, berubah bergelombang dan menciptakan bunyi air yang khas. Aku tersenyum, pahit rasanya. Kepalaku tiba-tiba menoleh ke sebelah kanan. Thomas disana, memejamkan mata dengan tubuh yang telentang. Aku tersenyum, merebahkan tubuhku di atas rerumputan hijau yang segar. Merasakan kehangatan Thomas yang menyeruak di dalam hatiku. Ia seakan-akan ada disini, melindungiku dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Samar-samar kudengar tawanya. Wajahnya yang ceria juga kerutan di sekitar matanya saat ia tertawa. Bibir tipisnya yang berwarna merah muda serta tulang pipi dan rahangnya yang sempurna.

Aku menarik nafasku dalam-dalam, mengeratkan leather jacket beraroma Aftershave yang seakan-akan tak pernah hilang. Selalu melekat disana seakan-akan memberiku sinyal bahwa Thomas selalu ada. Merasakan seakan Thomas memelukku, mengunci seluruh tubuhku dalam pelukannya yang kokoh. Bagaimana kedua lengannya melingkar di tubuhku, bagaimana ia meletakkan dagunya di atas kepalaku, menghujani puncak kepalaku dengan kecupan. Aku sudah tak ingin menangis. Aku lelah, benar-benar lelah menghadapi kenyataan pahit yang menimpa hidupku tanpa henti.

"Aku tak ingin sedetik pun di dunia ini tanpamu." Aku terkekeh, betapa bodohnya mempercayai kalimat itu.

Thomas melangkahi batu-batu di atas sungai. Kakinya begitu lihai meloncat-loncat kesana kemari. "Aku sudah lama tak melakukan ini."

Ia begitu riang dan bahagia saat itu. Bagaimana bola matanya yang cerah menyorotkan kebahagiaan yang tak terbayar oleh apapun di dunia ini. Suaranya terus menghantui diriku, jatuh di belakang otakku menciptakan bunyi-bunyian yang meremukkan hatiku. Aku merindukan Thomas, Thomas Brodie-Sangster.

Hari ini adalah hari ulang tahun Thomas yang ke 25 dan juga aku, ulang tahunku yang ke 21. Itu berarti sudah 4 tahun Thomas pergi menjauh dariku dan selama 4 tahun ini, aku belum bisa mendapatkan pengganti Thomas. Belum bisa menemukan pria sepertinya dan aku yakin tak akan pernah ada yang bisa menggantikan sosoknya. Thomas adalah Thomas. Tak ada yang mampu menyamainya. Tak ada yang mampu menggapai dasar jiwaku sebagaimana Thomas melakukannya. Tak ada yang terkunci rapat di dalam hatiku kecuali Thomas.

Fading Away (Thomas Sangster Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang