8: Remedy

982 100 5
                                    

Thomas melangkahi batu-batu di atas sungai. Kakinya begitu lihai meloncat-loncat kesana kemari. Aku tertawa, memandangnya di tepi sungai. Kulipat kedua kakiku dan memeluknya, terus menatap Thomas yang tak bosan-bosan melompat-lompat kesana kemari tanpa menyadari usianya sendiri yang sudah termasuk ke dalam golongan pria dewasa.

"Aku sudah lama tak melakukan ini." Ucapnya sembari tertawa kecil. Aku tersenyum, merasa begitu bersyukur di pertemukan dengan pria seperti Thomas. Ia membuatku ingin terbangun di pagi hari untuk melihat wajahnya kembali, ia membuatku tak ingin membuang nafasku untuk sesuatu yang tidak berguna, ia membuatku merasa hidup, ia membuatku merasa seperti kado terindah dalam sebuah hidup adalah dirinya, sosoknya yang memercik cipratan warna di hidupku. Setiap hari, setiap detik, semuanya terasa sangat berharga bersama Thomas. Seakan-akan aku hanya ingin Thomas dan Thomas yang berada di sekitarku, yang berada di ruang lingkup kehidupanku.

Pria tinggi itu kemudian berhenti setelah merasa lelah dan berbaring di sebelahku. Merentangkan semua bagian tubuhnya dan terkekeh. Nafasnya memburu, mirip seperti anak kecil yang baru saja berlari-lari di padang rumput.

Aku tak ingin kehilangannya, aku tak ingin ia di miliki oleh orang lain selain aku. Namun mengingat fakta yang terkuak lebar saat kini bahwa Thomas sudah mempunyai istri membuatku tak bergeming. Aku merasa bahwa aku gagal menarik hatinya untuk memercayai diriku sebagai pendamping hidupnya. Aku merasa semuanya berjalan begitu rumit namun lancar bagiku. Entah sihir apa yang diberikan Thomas tapi dengan mendengar suaranya saja, kebahagiaan itu muncul begitu saja. Kebahagiaan itu alami seakan-akan bawaan spontan dari diriku sendiri. Dari dasar hatiku yang hanya bisa di jangkau oleh Thomas. Hanya sosoknya yang terperosok begitu dalam di jiwaku. Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya namun aku merasa ada sesuatu yang janggal diantara semua ini. Sesuatu yang terkesan memaksa dan tak akan pernah terjadi. Sebuah kehendak yang memaksa. Keegoisan di dalam dirikulah penyebabnya.

Aku mendesah frustasi lantas menoleh, melihat Thomas memejamkan kedua matanya. Manis sekali. Aku sampai bingung ingin mencium, mencubit atau meremasnya. Lalu kucapit hidungnya menggunakan jari telunjuk dan tengahku. Thomas terperanjat yang sontak membuat kedua matanya terbuka. Aku tertawa keras melihat ekspresinya yang konyol. Thomas menatapku dan membalas dengan sama menyapitkan dua jarinya di hidungku hingga akhirnya kami berdua saling tarik menarik hidung hingga aku tak kuasa dan melepas dua jariku di hidung Thomas.

"Hidungmu merah sekali!" Teriakku, menunjuk hidung Thomas. Ia merabanya dan menunjuk hidungku.

"Kau juga!" Berikutnya tawa dan tawa yang terdengar. Dilanjutkan dengan cerita konyol Thomas yang membuatku juga menceritakan kejadian-kejadian cerobohku yang mampu mengocok perut. Tawa Thomas adalah tawa yang akan membuat hatimu merasa senang mendengarnya. Suara Thomas adalah suara yang akan membuatmu merasa tenang dan nyaman saat mendengarnya. Ia benar-benar jelmaan sosok malaikat tanpa sayap. Bukannya aku berlebihan, tapi jika kau merasakannya secara langsung maka kau akan mengatakan hal yang sama. "Kau adalah hal terhebat yang pernah terjadi dalam hidupku." Aku tersenyum saat mendengarnya. Ia pintar sekali merangkai kata yang dimana akan membuatmu merasa sangat berharga berada di dekatnya.

Beberapa menit kemudian aku memutuskan untuk pulang. Ayah dan Jeff pasti cemas. Aku hanya meminta izin padanya untuk menginap di rumah Renee dan mematikan ponselku tanpa menunggu jawaban dari salah satu diantara keduanya. Aku hanya ingin langsung terbebas dari kekangan mereka berdua saat itu. Thomas setuju dan dia segera mengantarku pulang. Aku mencium pipi, kening, hidung dan bibirnya sebelum keluar dari mobil. Entah kenapa aku sulit sekali melakukannya. Aku ingin tetap berada di sampingnya. Namun saat Thomas berkata ia akan selalu kembali menemuiku, aku memercayainya lantas menutup pintu mobil.

Langkah kakiku terhenti saat Jeff mencegatku di ambang pintu. Wajahnya terlihat cemas, ia lantas menarik tubuhku ke dalam pelukannya membuatku bisa merasakan tubuh Jeff yang gemetar. "Maaf aku pergi tanpa pamit." Aku merasa bersalah. Seharusnya semarah apapun diriku, tak sepantasnya aku pergi dengan cara yang tidak layak. Bagaimana pun, Ayah dan Jeff adalah dua pria yang membuatku bisa bertahan hidup sampai detik ini. Jeff melepas pelukannya dariku kemudian mengusap peluh yang menetes di sekitar dahinya.

Fading Away (Thomas Sangster Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang