Penyesalan terdalam Ajeng

347 43 7
                                        

Pada akhirnya Ajeng menceritakan perihal apa yang sebenarnya terjadi kepada ibunya. Bagi Cahyani, tidak mengherankan bila tindakan putrinya itu berhasil mengundang kemarahan Abimana. Hingga dia sendiri tak dapat merespons dengan benar, amat terkejut akan pengakuan putrinya tadi. Tatapan kecewa pun tak luput dari matanya.

Cahyani menutup album foto yang baru saja dilihat ulang. Dia mengambil secangkir teh beralaskan piring ceper kecil, kemudian menyesap tenang isinya.

"Ibu enggak menyangka seburuk ini, Jeng. Apalagi menantu enggak bilang apa-apa tentang perbuatan kamu. Sekarang Ibu bisa mengerti wajah murung itu disebabkan oleh anak Ibu sendiri. Kamu mengkhianati kepercayaan menantu. Siapapun prianya pasti membenci hal tersebut, Ajeng."

"Tapi, Bu, Ajeng enggak mengkhianati Mas Abim. Ajeng cuma pergi liburan bareng teman-teman. Ajeng baru tahu rencana mereka setelah kami tiba di vila. Kalau Ajeng tau dari awal, Ajeng enggak mungkin ikut, Ma." Ajeng tetap belum sepenuhnya menerima kekeliruan yang terjadi, terlebih saat tahu suaminya betul-betul menghindari dia. Fakta demikian justru menguras habis akalnya ketika dia merasa terpaksa untuk menyelami kesalahan.

"Apakah dalam posisi itu kamu masih dibenarkan untuk beralasan? Salahmu justru makin terlihat di mata Ibu. Kamu bilang enggak tau pasti rencana teman-temanmu, tapi sangat yakin memilih bergabung dan membantah peringatan suami? Kamu bilang menantu enggak kasih izin, tapi tetap pergi." Cahyani mendesah pelan, lalu menatap serius pada sorot mata putrinya. "Ibu sudah tua sekarang. Mungkin karena pengaruh usia dan Ibu melupakannya, Ibu benar-benar enggak ingat kapan Ibu pernah mengabaikan perkataan ayahmu."

"Ibu ..."

"Atau mungkin Ibu pernah mengajarkanmu untuk menentang suami? Dalam hal ini kamu pasti tahu ke mana arahnya."

"Udah Ajeng katakan semua ini memang salah Ajeng. Ibu sama sekali enggak ada hubungannya dengan apa yang terjadi, ini murni perbuatan Ajeng."  Dia menjawab dengan nada keputusasaan, pelupuknya berlinang. "Aku menyesal sekali, Ibu. Mas Abim enggak mau dengar permohonan maaf Ajeng."

"Berapa kali? Berapa kali kamu membantah suami?"

"Ibu, Ajeng enggak sejahat itu. Mana mungkin ..."

"Berapa kali Ajeng? Berapa kali kamu mengecewakan menantu?! Itu yang Ibu tanya," tegas Cahyani hingga putrinya terpaku di tempat. "Kalau tebakan Ibu benar, kamu sering mengulanginya." Mendengar tuduhan ini kontan membuat Ajeng tak mampu berkutik. "Sebaiknya kamu berhati-hati. Ibu berharap bukan karena jenuh sama perilaku kamu yang menyebabkan menantu pergi."

"Mas Abim pergi ke Kalimantan buat menyelesaikan pembukaan cabang outlet di sana, Ibu. Dia udah bilang ke Ajeng."

"Semoga aja begitu. Kalau menantu tiba-tiba berubah, itu semua karena dirimu sendiri, Nak. Ibu enggak bisa berbuat apa-apa untuk membantumu." Cahyani beringsut ke lemari. "Bersihkan tubuhmu, Ibu akan meminta Mumu agar menyiapkan air panas," katanya sembari membuka lemari guna mengambil pakaian yang akan dikenakan Ajeng.

"Ibu mau ngapain?"

"Mencari baju gantimu, memangnya apalagi?"

"Biar Ajeng aja, Ibu," sanggah Ajeng sambil mencoba turun dari tempat tidur. Namun, pergerakan Cahyani lebih cepat. Wanita baya ini nyaris histeris saat mendapati kekacauan di situ.

"Ya ampun, Ajeng! Untuk apa bungkusan sebanyak ini, Nak?! Dari mana kamu mendapatkan semua barang-barang ini?!" Cahyani menginterogasi, tanpa sadar meninggikan intonasi bicaranya saking terkejut mendapati belasan kotak serta paper bag yang menumpuk di sana.

Dek Ajeng & Mas AbimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang