3. SEDERHANA

380 57 3
                                    

"Nih, minum dulu."

Jaden yang sedang mengibaskan kaos karena merasa gerah mendongak ketika sebotol air mineral disodorkan padanya.

"Wih, tumben baik banget lo." Ujar Jaden yang tentu menerimanya dengan senang hati.

Calvin mendengus. Ia ikut duduk di sebelah Jaden yang tengah beristirahat saat sesi latihan basket sore ini.

"Mana ada. Bayar lima ribu sini, mau buat beli cilok di depan." Calvin menengadahkan tangan menuntut.

"Cuih, nih gue balikin."

Dengan dongkol Jaden memuntahkan kembali air minum yang baru ia tegak sekali, lalu menyodorkan botol yang isinya baru hilang seperempatnya.

"Elah, bercanda doang kali. Asem banget muka lo."

Calvin menyenderkan punggung. Matanya menyipit saat memandang lapangan outdoor yang dipapar sinar matahari.

"Lo pernah denger gak sih kalau sekolah kita ini angker, Vin?" Tanya Jaden random. Ia menunduk, lalu melirik Calvin yang juga menatapnya.

"Emm, gue gak pernah denger berita kesurupan di base sekolah tuh." Ujar Calvin polos.

"Tapi kayaknya gue akhir-akhir ini ketempelan deh. Lo ngerasa gak sih kayak ada yang ngawasin gitu?" Tanya Jaden membuat hawa kian mencekam.

Pemuda yang tadinya duduk santai dengan meminum es jeruk itu kini wajahnya kian kaku. Ia tertawa jenaka mencoba mencairkan suasana.

"Halah, perasaan lo aja kali. Selain para ciwi-ciwi buta macam mereka, mana ada yang mau liatin muka burik lo, Den." Tunjuk Calvin pada segerombolan siswi yang menjerit histeris dari arah tribun ketika Jaden tak sengaja menoleh.

"Sialan!"

Namun, hawa tak enak memang sedang mereka rasakan jika berada di area sekolah beberapa hari ini. Bahkan Jaden yang tak peka pada sekitarnya saja merasakannya.

"Udah sana latihan aja. Biasanya lo juga gak peduli selain tuh bola oren." Ujar Calvin sedikit mendorong bahu Jaden.

Benar. Kenapa dia jadi memikirkan hal yang tidak perlu. Selagi ia bisa bermain basket, hidup akan terasa menyenangkan. Jaden suka saat bola oranye ditangannya bergerak sesuai keinginannya.

Bagaimana saat benda itu memasuki ring dan sorak ramai terdengar memujinya. Berlarian dan bekerja sama untuk mencetak angka, sesimpel itu. Jaden bahagia dengan masa mudanya.

"Abis ini kita nongki di tempat biasa." Kata Jaden sambil berlari kecil ke tengah lapangan saat sang pelatih memberi instruksi untuk memulai kembali sesi latihan.

Hanya acungan jempol dan senyuman lebar yang Calvin berikan. Ia kembali meminum es jeruknya yang mulai mencair saking panasnya sore itu.

"Bukan setan lagi Den yang liatin lo, tapi iblis." Gumam Calvin bergidik saat mendapati sosok menjulang tak jauh dari sana.

****

"Satenya satu porsi lagi, ya?" Ujar Calvin dengan cengirannya.

"Satu porsi pala lo." Jaden melotot galak saat baru menyadari sedang diperas oleh sahabatnya itu.

Mereka berdua tengah duduk lesehan di taman kota yang ramai oleh pedagang kaki lima. Nongkrong ala Jaden dan Calvin itu kulineran. Hari ini atas dasar kalah suit, Jaden jadi atm berjalan Calvin.

Angin malam menerpa. Jaden yang tadi habis olahraga dengan keringat banyak kini malah merapatkan jaketnya. Tapi tidak dengan kakinya yang hanya mengenakan celana pendek seragam dari tim basket sekolahnya.

"Dingin banget gila. Cepet lo! Udah baik gue bayarin tuh lima porsi." Dumel Jaden sembari menggosok kakinya.

"Bentar elah, baru aja dikasih satenya." Kata Calvin buru-buru memakannya. Takut jika anak itu meninggalkannya tanpa membayarinya.

"Abis ini temenin gue ke toko bunga."

Calvin mengangguk saja. Masalah untuk apa anak itu kesana akan ia tanyakan nanti saat sudah menelan makanannya.

Billow in the Breeze Flowers

Kring

"Selamat datang di toko kami." Suara ramah menyapa keduanya. Wanita dengan dress kuning mendekat.

"Lo punya gebetan, Den? Kok gue gak tau lo ngincer cewek." Komentar Calvin curiga.

"Diem lo." Bisik Jaden.

Wanita setengah baya itu tersenyum mendengar bisik-bisik dua remaja lelaki di depannya. Anak muda jaman sekarang memang ada-ada saja tingkahnya.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tawarnya saat melihat salah satunya menatap bingung bunga di depannya.

"Eh– anu, saya mau liat-liat dulu boleh gak Kak?" Ujar Jaden terbata.

"Silahkan. Kalau butuh bantuan, saya ada meja sebelah sana ya." Tunjuknya pada meja minimalis dengan tulisan kasir.

Jaden mengangguk. Ia kembali menatap beberapa buket replika yang dipajang sebagai contoh.

"Jangan bohong deh. Lo mau nembak siapa? Nanti gue bantu. Ikhlas lahir batin gue." Ujar Calvin menggoda.

"Mau nembak Bunda gue biar gak marah-marah tiap hari."

Mendengar itu Calvin terdiam. Tidak asik. Ia kira sahabatnya ini akhirnya bisa teralihkan duniannya dari bola menyebalkan itu.

"Yaelah, lo nurut aja nyokap lo bakal seneng. Makanya jadi anak jangan durhaka, Den. Hidup lo gak berkah."

"Kayak bener aja tingkah lo."

Oke, Calvin diam. Dia adalah versi lebih buruk dari Jaden yang tidak pernah melanggar aturan sekolah. Kecuali kejadian waktu itu tentunya.

"Mama lo suka bunga apa, Vin?" Tanya Jaden pada akhirnya. Ia hanya tau jika sang Bunda sangat menyukai bunga karena Ayahnya membangun rumah kaca untuknya.

"Mama gue sukanya duit, bukan bunga." Ceplos Calvin.

Jaden menoleh dengan wajah horor. Memang tidak salah sih setiap wanita memang harus memiliki jiwa materialis. Tapi, mungkin mamanya Calvin sudah pada tingkat yang berbeda.

"Haha, Bokap lo pasti bahagia dapet istri gak ribet." Ujarnya tertawa canggung.

Melupakan itu, matanya meliar ke penjuru toko yang tak besar itu. Meneliti satu persatu bunga hingga tatapannya jatuh pada bunga berwarna kuning cerah dan ungu disudut ruangan.

"Kak, boleh bikinin buket dari dua bunga itu." Jaden menunjuk bunga yang menarik perhatiannya.

"Wah, pilihan yang bagus. Ini namanya bunga yellow acacia sama aster. Kamu lagi nunggu seseorang ya?"

Wanita itu menanggapinya dengan ceria sembari menuliskan pesanan di bucket list. Sangat cocok dengan pekerjaannya.

"Ah, gimana? Ini buat Bunda saya kok." Ujar Jaden tersipu.

Tawa renyah terdengar. Calvin sampai melamun menatap wanita yang umurnya tak muda lagi itu. Tapi seolah kecantikannya tak luntur oleh waktu.

"Maaf, kamu manis sekali. Bunda kamu pasti suka sama hadiahnya." Katanya menatap Jaden yang sekali lagi tersipu malu.

"Terima kasih, Kak?"

"Panggil Tante saja. Saya juga punya putra seumuran dengan kamu." Ujar wanita itu tersenyum tipis.

"Oh, iya ini notanya. Buketnya bisa kamu ambil besok siang."

Jaden menatap nota yang lebih mirip kartu persegi dengan namanya sebagai pelanggan. Terdapat gambar rangkaian bunga ditepian kertas kecil itu.

"Terima kasih, Tante. Sampai jumpa besok." Jaden melambai sembari menyeret Calvin yang masih terpana akan kecantikan wanita itu.

Senyuman wanita itu redup kala pintu tertutup. Ia kembali ke meja kecil yang sepanjang hari ia duduki. Lalu mengambil secarik kertas yang biasanya akan terselip disetiap buket.

Jangan lupakan aku.

JADENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang