7. TEMPRAMEN DIRGA

220 35 3
                                    

Setelah kejadian kemarin, Jaden memutuskan untuk bersikap tenang. Sudah dua hari dan tidak ada tanda ia akan kembali dalam waktu dekat.

Atau memang dia tidak bisa kembali.

Jaden melirik lelaki yang kini duduk dengan ponsel ditangannya. Sedari semalam, Bastian tidak beranjak dari sana. Rasanya ia tak nyaman ketika orang tak dikenalnya mengurusnya sedemikian. Tapi, ia juga tak ingin pria itu meninggalkannya sendiri.

"Kak Bas gak ada niatan pulang?"

Lelaki dengan kemeja putih yang digulung hingga siku itu menoleh dengan senyum tipis.

"Kemana, Tuan Muda? Rumah saya adalah disisi anda." Ujarnya mendekat.

Remaja itu mengernyit jijik. Perkataan Bastian terasa ambigu ditelinganya. Hingga reaksi Jaden mengundang tawa kecil Bastian.

"Aneh tau gak didengernya, Kak. Terus juga jangan panggil Tuan Muda. Gue gak gila hormat." Ujarnya kesal.

"Lalu, mau gimana? Atau mau saya panggil adik seperti Tuan Muda Dirga?" Goda Bastian. Ia membenarkan selimut yang bahkan tak menutupi telapak kaki Jaden.

"Beda setengah jam doang kok masih ada perbedaan kasta." Cibirnya pelan.

Raut cemberut yang timbul diwajah Jaden mengundang tawa kecil Bastian. Memang selama ia berada diruangan yang sama dengan Jaden, Bastian menjawab setiap pertanyaan anak itu walau ada beberapa yang tak terjawab.

"Jaden."

Tawa Bastian terhenti. Ia menautkan alis bingung.

"Apa?"

Remaja itu merebahkan tubuhnya dan memunggungi pengawal atau bisa dibilang pengasuhnya.

"Panggil Jaden aja. Gue gak nyaman dipanggil Tuan Muda atau apalah itu." Cerocosnya.

"Eii.. mana bisa begitu. Nanti saya bisa dipengg– maksudnya dihukum oleh Tuan Muda Dirga."

Hampir saja. Ia lupa jika Dirga telah memperingatinya untuk menjaga ucapan di depan Jaden. Walau pemuda itu tak sadar ia sendiri tak bisa jaga mulut alias kasar!

Jaden berbalik, "Lo itu bawahan gue atau si Dirga sih. Kok lebih nurut sama dia." Ujarnya sewot.

"Tentu saja, saya bawahan Tuan Besar." Jawab Bastian lugas.

Mencari posisi nyaman dengan terlentang, Jaden berdecak sebal. Benar juga. Bastian tentu lebih menurut pada orang yang menggajinya dibandingkan pada remaja labil yang tak punya uang sepeserpun.

"Omong-omong Tuan lo itu kayak apa? Pasti dia bos yang suka nyuruh lo kerja lembur." Jaden pikir itu benar setelah melihat Bastian bahkan jarang keluar dari kamar rawatnya.

"Itu sudah tugas saya. Tuan Muda juga akan tau seperti apa Tuan Besar saat melihatnya sendiri."

Hanya itu. Memang ya, Bastian terlalu setia hingga tak mau menjelaskan kepribadian majikannya sembarangan. Setiap orang punya pandangan yang berbeda.

"Tapi, kapan dia kesini?" Gumam Jaden lirih.

"Kenapa? Kamu merindukannya?"

Jaden tersentak. Ia menoleh ke arah pintu dimana seorang remaja sepantarannya tengah menyender di ambang pintu sambil menyilangkan tangan.

"Bukan begitu."

Nuansa ruangan berubah drastis saat orang yang paling Jaden hindari kini kembali menampakkan diri. Ia masih sedikit tersinggung dengan perlakuan dan kata-kata kasar yang Dirga lontarkan tempo hari.

"Dia sibuk. Kamu akan bertemu dengannya saat pulang ke rumah. Apa itu cukup?"

Dirga menghiraukan raut kecut yang adiknya perlihatkan. Ia duduk disofa dan membuka kaleng soda yang tadi ia beli sebelum pergi kesini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JADENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang