Chapter 3: We Don't Talk Anymore

269 42 20
                                    

Minji mengaduk-aduk kuah baksonya, mencampurnya dengan saos dan kecap, lalu mencicipinya dengan tak berselera. Bibirnya tertekuk, alisnya menukik tajam. Pandangannya runcing menyasar ke arah jejeran pohon mahoni di sudut lapangan, dimana tampak dua orang siswa sedang bercengkrama. Orang itu adalah Danielle, rekan satu eskulnya dan Yujin, salah seorang atlet basket.

Alisnya yang lurus itu semakin bertaut, matanya melotot saat melihat Danielle menyeka keringat di wajah Yujin dengan sehelai handuk kecil. Danielle tergelak, matanya menyipit dan sepasang lengkungan bulan sabit muncul di wajahnya.

Ia terbatuk lalu melengah. Air mukanya mengeruh dan pekat. Begitu jelas, begitu kentara betapa ia tak suka akan pemandangan yang terhampar di depan matanya.

"Ckckck, mesra-mesraan di depan umum. Mereka itu beneran pacaran eh?"

Hanni yang juga sedang makan bakso bersamanya mengamati pemandangan itu dengan muka sarat tanya.

"Maksudmu Danielle sama si Yujin?"

Ia mendehem, pura-pura tidak menyaksikan kejadian tersebut. Sekilas pandangannya melintas ke arah Danielle. Gadis itu masih asyik berbincang riang dengan Yujin. Entah apa yang dibicarakan mereka.

"Iya, mencurigakan tuh mereka, soalnya nempel banget, biasanya tidak begitu. Oh ya, aku juga liat Danielle keluar masuk kosnya Yujin. Kayaknya dia sering nginap di sana deh."

Hanni secara gamblang menjelaskan bagaimana ia bisa memergoki dua insan itu. Ceritanya, ia sedang ketagihan makan es krim. Ia kemudian menyeret Haerin si kucing pasrahan untuk makan es krim di rumah es krim yang berada tak jauh dari kediamannya. Letak rumah es krim tersebut berseberangan dengan rumah kos Yujin.

Di suatu malam saat sedang asyik mengobrol dengan Haerin dan menikmati es krim kesukaannya, matanya memergoki Danielle yang masuk ke dalam kamar kos Yujin. Begitupun pada esok dan hari-hari berikutnya, ia terus melihat Danielle bermalam di sana.

Minji manggut-manggut mendengarkan cerita Hanni. Makin lama, air mukanya semakin tak terbaca.

"Hmm, begitu. Mungkin benar mereka pacaran. Baguslah."

Minji menyendok kembali mie dan baksonya. Sebisa mungkin menghindari pandangan ke lapangan.

"Bicara soal pacar, bagaimana kencanmu dengan orang itu?"

Minji mengerang, bakso yang hendak disendoknya jatuh lagi ke dalam mangkok.

"Jangan ditanya lagi, sangat membosankan, Han."

Kronologi kencan buruknya minggu lalu menyerbu lobus frontalnya. Masih basah dalam ingatannya betapa menjemukannya kencan tersebut. Lelaki yang tempo lalu memberinya sebuket bunga dan memohon satu kesempatan jalan dengannya ternyata tidak nyambung saat diajak bertukar pikiran. Susah payah ia mencari topik pembicaraan untuk menepis kecanggungan, sementara pemuda itu hanya menimpali obrolannya dengan iya dan oke sembari sesekali tertawa garing haha. Respon yang keringnya melebihi kegersangan Gurun Sahara.

Kepalang gondok, malam harinya Minji blak-blakan tidak ingin lanjut komunikasi dan memblokir nomor pemuda itu.

"Jadi, gak lanjut jadi pacar?"

"Hahaha, tidak akan. Aku tidak tertarik padanya."

Ia bergidik ngeri, membayangkan punya pacar yang kaku bak kanebo kering. Bisa-bisa ia mati kebosanan.

"Syukurlah kamu tidak berkencan dengannya. Jujur ya Ji, kelihatannya dia hanya tertarik pada fisikmu. Well, bukankah banyak sekali lelaki yang begitu?"

"Mungkin, tapi yang pasti dia bukan tipeku."

Minji mengedik, ia menyendok kuah baksonya. Matanya mengintip ke lapangan, sudah tidak ada Danielle di sana.

***

"Yang benar saja, Danielle."

Minji menatap nanar layar ponselnya. Bibirnya mengerucut, binar matanya meredup. Kosong, tak ada respon apapun untuk chat yang dikirimnya pada Danielle. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak.

Minji menaruh handphonenya di atas meja. Ia menghempaskan badannya ke atas ranjang. Matanya mengawang, menelisik langit-langit kamarnya. Pikirannya terusik. Sikap Danielle akhir-akhir ini membingungkannya.

" Aku tidak mengerti.."

Bibirnya tertekuk ke bawah. Gelapnya mendung menjamah hatinya. Matanya menilik pada sesuatu di atas meja yang terbungkus kertas kado. Itu adalah benda yang ingin diberikannya pada Danielle. Minggu lalu ketika ia terjebak dalam kencan yang mengesalkan, matanya terantuk pada benda tersebut. Benda itu mengingatkannya pada Danielle yang sedang sakit. Ia lekas membeli benda tersebut dan membentuknya jadi kado.

Rencananya ia hendak menghadiahkan benda tersebut pada Danielle karena yakin gadis itu akan menyukainya. Diluar dugaan, tidak ada angin tidak ada hujan, sikap Danielle berubah seratus delapan puluh derajat. Tiba-tiba menjauhinya.

Awalnya ia tidak menyadari perubahan Danielle, mengira kalau gadis itu hanya sedang badmood dan butuh waktu sendiri. Tapi lama-kelamaan, semakin kentaralah bahwa perilaku gadis itu hanya berubah padanya.

Setiap hari ia melihat Danielle tersenyum cerah dan menempel pada banyak orang, terutama Hyein dan Haerin, rekannya sesama anggota klub debat. Sebaliknya Danielle berlaku sangat dingin padanya. Dingin, sedingin hamparan es di Kutub Selatan. Gadis itu hanya berbicara seperlunya.

Padahal sebelum itu Danielle gemar sekali mengusik ketenangannya, sesekali berguyon dan menggodanya dengan gombalan murah yang seringkali menghadirkan semburat merah merias pipinya.

Diluar kegiatan eskul, mereka tak lagi saling bicara.

"Talk to me, Dani.."

Minji bergumam lirih, dirapatkannya selimut ke seluruh tubuhnya. Semilir angin yang menyeruak masuk dari celah-celah ventilasi menyapa permukaan kulitnya, membenamkannya pada kesenduan yang memekat. Suasana hatinya memburuk setelah mengecek pesan chatnya yang tidak jua dibalas Danielle.

Ia memejamkan mata, helaan nafas berat menghunjam dadanya. Batinnya merintih, merindukan kembali interaksi dengan temannya itu.

***

Minji tertawa hambar. Pandangannya menyasar kepada Danielle yang berdiskusi bersama Hyein dan Yunjin, rekan satu timnya. Raut wajahnya serius, tangannya grasak-grusuk mencatat poin-poin argumen yang akan dikemukakan timnya di selembar kertas.

Seperti yang sudah-sudah, minim sekali interaksi antara mereka. Hari itu Danielle hanya menyapanya sekilas lalu asyik dengan Hyein yang bergelayut manja padanya. Gadis itu hanya bicara ketika situasi mendesak. Seperti ketika akan menyanggah argumennya.

Tak tahan lagi dengan keheningan diantara mereka yang kian mencekam, ia lekas mengambil tindakan. Setelah latihan debat berakhir, sebelum Danielle buru-buru pergi, ditariknya gadis itu ke dalam sebuah kelas kosong. Ia memerangkap Danielle diantara tembok kelas dan kedua lengannya, mencegahnya melarikan diri.

Wajah Danielle memerah, mulutnya ternganga, matanya membulat, ia kaget bukan kepalang mendapati kejadian tak disangka-sangka.

Minji mendekat, jari-jemarinya bergerak, kedua tangannya menangkup wajah mungil Danielle yang tertekuk, lalu menarik dagunya atas. Dadanya tersentak ketika Danielle menengadah dan pandangan mereka beradu pada satu garis lurus.

Dengan suara berat dan bergetar, ia berujar," Katakan padaku Dani, kenapa..kita tidak lagi saling bicara?"

***

Somebody to You [Husseyz Short Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang