Bukan Dinding juga Bukan Atap, lalu apa?

96 10 4
                                    

"Yang lebih menyakitkan adalah dikhianati oleh peran yang seharusnya menjadi hal yang paling utama untuk memberi kepercayaan. Yang sangat menyesakkan dada adalah tak pernah mendapatkan haknya. Sungguh iri bukan suatu dosa lagi."

_______________________________

"Kamu ndak mau sekolah di negeri ?" Pagi itu, suasana rumah Rendra sangat ramai sebab sejak jam 6 pagi, teman-teman sebayanya mengajak Rendra untuk lari pagi dan berakhirlah mereka di pendopo rumah Rendra dengan segelas es teh dan pisang goreng buatan nini.

"Males, kalo ke sekolah negeri jauh. Rena gimana?" Si tuan rumah meratap dengan hati nelangsa, masih bingung SMA mana yang harus ia pilih, ia sudah lulus dengan nilai yang Alhamdulillah bisa di bilang memuaskan, tapi rasanya Rendra terlalu kalut untuk meneruskan. Pikiran kecilnya telah jauh melayang kemana-mana, kemungkinan apa yang akan terjadi ketika dia tidak ada di rumah nanti.

Adnan–temannya– menggelengkan kepala lantas mencebik, "Rena udah besar kali. Kamu kalo nerusin sekolah disini percuma, mending pergi ke negeri meskipun jauh tapi ya ndak apa-apa lengkap aja iya ga si?"

"Habis lulus, aku juga mau ke negeri. Bapakku pengen aku bisa jadi dokter, Ren disini nggak ada fasilitasnya. Kalo mau ayok bareng sama aku."  Rei bersuara, menatap temannya yang terdiam kaku. Semakin dewasa Rendra selalu menyelami kekhawatirannya sendiri dan sebagai teman, Rei tak mungkin tinggal diam.

Semua teman disini tau bagaimana kacaunya rumah Rendra, pikiran laki-laki yang akan menginjak usia 15 tahun itu selalu berat. Tak jarang bahkan Adnan ataupun Junedi akan membawa Rendra untuk menginap di rumahnya di saat suasana rumah Rendra sedang tak baik-baik saja.

"Nggak ah." Rendra masih tak goyah.

"Rena nggak punya siapa-siapa selain aku, Nan. Nini udah terlalu tua buat ngurus Rena, ibu mana peduli?"

Semua temannya hanya mendesah pelan, tak bisa mengelak dan tak mau memaksa Rendra. Lebih baik ia mendukung apapun yang Rendra inginkan sebab hanya itu satu-satunya yang bisa mereka lakukan. Menjadi Rendra... Pasti sangat sulit.

Di saat resah yang mendera kepala masing masing anak manusia itu, tiba-tiba mereka di kejutkan dengan suara tangis dari arah luar, dan paham siapa yang menangis sekeras itu, Rendra langsung berlari bangkit dari tempat duduknya disusul teman-temannya.

Lalu mereka mendapati kondisi Rena berantakan serta luka melintang di pipi hingga hampir mengenai mata gadis cilik itu. Rena menangis begitu keras.

"Loh kenapa ?" Rendra menangkup wajah adiknya dengan nada khawatir sekaligus terkejut. Tak terkecuali teman-temannya.

Rena anak 11 tahun hanya mampu menangis, "Ayah pilih kasih." Adunya.

"Kenapa ? Ini kenapa luka !?"

"Di gores tutup pulpen sama Ayana." Dan tangisan itu semakin kencang, Rena tak tahu harus mengadukan rasa sakitnya dengan siapa. Ayana adalah anak teman Ayah, ntah apa sebutannya sebab Ayana juga memanggil Ayahnya dengan sebutan Ayah. Ia tak kuasa menahan iri hatinya saat Ayahnya menghabiskan waktu bersama di rumah Ayana dan membelikan Ayana tempat pensil bentuk tas barbie, bahkan Rena sekalipun tak punya, lantas karena Rena tahu bahwa tempat pensil itu di belikan oleh Ayahnya, ia merebutnya.

Ia ingin mengambil haknya sendiri.

Ia tak ingin berbagi pada siapapun.

Siapapun.

"Bajingan!" Jelas Rendra tersulut, ia memeluk adiknya, lalu berkata, "Nan, tolong jagain Rena."

Hanya dengan begitu teman-temannya meneriaki dirinya lantaran pergi dengan tergesa, seakan tahu apa yang akan terjadi, Junedi bergegas mengikuti Rendra.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BROKEN WORLD Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang