Tiga (3) - Limoen

23 5 0
                                    

"Hermawan ... sempat bingung, karena gagal terus menghubungimu tahun lalu." Djati berdehem. "Sus Lies." Suara beratnya merendah, serta melembut. "Masmu ... sudah gugur. Tugas intai; dekat Semarang. Maaf."

Bagai terbelah badan Lies.

Pandangannya menggelap.

"Sus Lies!" Djati menangkap kedua sikunya saat topangan kakinya melemas.

Air mata membasahi pipinya. Berakhirlah pencariannya selama ini.

Masnya.

Harapan terakhirnya.

Sudah tiada.

* * *

"Mereka djongos [9] dan baboe [10] di luar Soerabaja. Meneer [11] pulang ke Holland setelah Nyai [12], ibu kandung kami, wafat usai melahirkanku," tutur Lies.

Setelah reda tangisnya, Djati membelikannya limun di kedai tua Malioboro. Dari delapan meja-meja kayu bundar yang tersedia, selain yang mereka tempati, tiga lainnya terisi—rata-rata oleh bapak-bapak tua berambut licin, mengopi berbincang, atau membaca surat kabar. Aroma kopi yang menguar di udara kedai tersebar berkat sebuah kipas langit-langit yang giat berputar.

Aroma yang asing bagi Lies.

"Ibuku tersambar petir; tapi, entah bagaimana, bertahan hingga aku dilahirkan bedah di RS." Lies memandang telapak tangannya. "Dugaan Hendri, mungkin ... itu ada hubungannya dengan asal kemampuanku."

"Kami diasuh Bapak dan Simbok sejak itu." Lies memainkan botol limun di tangannya. "Merekalah yang kami anggap orangtua."

Diceritakannya, tiap bulan ada Meester [13] paruh baya yang bertamu memberi uang, hingga Hendri lulus AMS [14]; Lies lulus MULO [15]. Tahun 1939, Hendri mendapat beasiswa sekolah kedokteran NIAS [16]; Lies melanjutkan ke sekolah perawat.

"Aku senang baca buku-buku masku sepulangnya dari asrama," kenang Lies.

Saat Jepang tiba, Lies baru lulus; Hendri terputus pendidikannya ketika NIAS ditutup Jepang.

"Selepas PETA [17] di sini," cerita Djati, "aku bertemu Hendri; sekolah perwira Sawunggaling [18]."

Lies mengangguk. "Masku terpanggil menjadi pejuang setelah Proklamasi. Beruntung dia ... terlihat pribumi." Bibirnya tersenyum tipis. "Tak sepertiku."

Djati terpana. "Berarti, benar matamu ...?"

Lies mengangguk lagi.

"Warna aslinya, ... kenapa hanya aku?" kulik Djati.

Lies menenggak limunnya, sebanyak yang diizinkan perutnya yang memulas, dan enek yang mulai merayapi kerongkongan. Dihirupnya napas dalam-dalam. "Bapak dan Simbok memintaku bersembunyi di rumah. Orang-orang Pemoeda [19] makin hari makin beringas. Yang dianggap, 'terlihat', pro-kolonial ... dibunuh, Bung.

"Tetangga kami, nenek Oei, sebatang kara. Aku dan Hendri waktu kecil selalu main ke rumah beliau sore-sore; tiap potong ayam, pasti buatkan bacang buat kami." Lies membasahi bibirnya. "Nenek Oei sasaran. Orangtuaku sembunyikan; tapi, ada yang kasih tahu Pemoeda tentangnya di rumah kami.

"Malam itu ... tahu-tahu Bapak dan Simbok menyuruhku lari ke rumah nenek Oei, terus kabur ke Djogjakarta, cari masku; bawa nenek Oei." Lies terisak; mulai pecah suaranya. "Aku sempat mendengar ... saat mereka dihabisi." Lengkingan-lengkingan yang ingin dilupakannya tergiang lagi tanpa permisi. "Rumah kami dibakar.

"Aku berlari menggendongnya ke stasiun—cukup sanggup, mengingat beliau kurus. Tak mungkin lewat jalan utama; aku memutuskan memotong kebon-kebon; dan waktu nyaris sampai, dia memaksa diturunkan dan ... ditinggal.

Sepasang Mata Biru: Sebuah Cerpen RevolusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang