Doea (2) - Tahoe Telor

31 6 0
                                    

Pada akhirnya, perwira pertamalah yang mengantarnya pulang.

Aneh, tak ada yang bertanya lebih lanjut mengenai kemampuan penyembuhannya.

"Aku masih bingung." Perawat di sisi Lies berhati-hati memindahkan instrumen medis steril dari bejana autoklaf ke dalam bak baja stainless. "Hampir setahun kau tinggal di ibukota; bagaimana bisa kau nyasar semalam?"

"Maklum, Wid, kepikiran masku terus." Lies menyusun gulungan-gulungan perban untuk klinik setelah rehat siang.

"Cobalah ke MBT [8] TNI lagi?" usul rekannya.

"Percuma; namanya tidak terdaftar."

Detik berikutnya, Lies dipanggil.

"Dokter?" Setengah berlari Lies kembali ke ruang depan Klinik Poesat PMI, seraya merapikan sanggulnya.

Langkahnya terhenti.

Berdiri mengobrol dengan dokter kepala ialah ....

Si Kutu Buduk.

Djati, berseragam hijau lumut, dengan sabuk dan selempang kulit; menoleh; tersenyum melihatnya. Di kerahnya, sepasang pin persegi panjang garis tiga-berbintang dua berkilau; juga insignia TNI di topi pejuang hitamnya.

"Ah, Sus, Letnan ini mencarimu." Dokter kepala mengisyaratkan agar Lies mendekat. "Kau ada janji makan siang?"

APA?

Lies melongo. "Saya tid--"

Rangkulan di bahu Lies menyelanya. "Kenalkan: Widya, kawan Lies." Perawat rekanan itu mengulurkan tangan satunya kepada Djati. "Dia kost dengan keluarga saya."

Djati mengenalkan diri, menyalami Widya. "Sus Widya, mata Sus Lies warna apa?"

Jantung Lies melompat sedetak.

"Cokelat?" Dahi Widya berkerut. "Kau tak cerita punya pacar tampan, Lies?" Ia senyam-senyum menyikut sahabatnya. "Gagahnya ..., perwira pula!"

Lies ternganga. "Bukan!"

"Siap, Sus?" Tersenyum lebar, Djati menawarkan siku lengannya. "Mari."

* * *

"Apa maumu?" Lengan Lies tersilang di dada; jemarinya menekan ban lengan berlogo palang merah di seragam baju terusan putihnya. "Masih curiga aku mata-mata?"

Bersepeda, Djati tadi memboncengnya ke warung makan kecil dekat Pasar Beringharjo.

Djati terkekeh pelan; topinya yang dipipihkan diselipkan ke skoder pundak. "Tidak. Maafkan sikapku semalam." Ia berdiri dan menerima dua piring dari pemilik warung. "Ini, silakan."

Lies terkesiap melihat isi piring di hadapannya. Aroma bumbu kacang berpetis terhirupnya. "Tahu telor!" Matanya berbinar. "Di sini ada??"

Djati tersenyum. "Satu-satunya di ibukota."

"Aduh, lama sekali tak makan ini!" Sumringah Lies menatap Djati. "Terima kasih!"

Dibegitukan, Djati menelan ludah.

Keduanya makan dalam diam.

"Bung, kenapa menolak dibawa ke Markas Kesehatan?" tanya Lies selepas mereka makan.

Djati menyesap kopi tubruknya. "Pagi buta aku mesti lapor Kolonel Tjokro; mendesak. Lagipula, luka seperti itu ... bisa membuatku dibebastugaskan sementara."

"Kau nekat, Bung!" Lies bergeleng-geleng. "Apa jadinya kalau orangmu gagal menemukanku? Atau aku menolak menyembuhkan?"

Djati menatapnya lama. "Tapi, kau pilih menyelamatkanku, Sus."

Lies membuang muka; jengah ditatap demikian.

Djati tertawa ringan. "Tahu telor ... kesukaanmu dari kecil, 'kan?"

Lies menoleh. "Kok, tahu?"

"Nama aslimu ... Anelise?"

Napas Lies tertahan.

Ditelisiknya perwira itu. "Dari mana ...?"

Ujung telunjuk Djati memutari bibir gelas belimbing kopinya. "Kau adik Hendri?"

Lies membelalak.

"Kau kenal masku??" Duduknya berputar menghadap Djati. "Di mana dia sekarang?? TNI, 'kan? Aku mencarinya kemana-mana!"

"Sus, tenang." Djati melihat pemilik warung menoleh penasaran. "Mari, kita bicara di luar."

Mereka menyusuri trotoar penuh orang berlalu lalang menuju Jalan Malioboro. Ramai siang itu; banyak delman, sepeda, serta beberapa mobil memenuhi jalan.

"'Kutu buduk'," Djati berhenti menuntun sepedanya; menyandarkannya di bawah pohon beringin besar. "Hanya Hermawan yang pakai istilah itu." Dipandangnya aspal. "Bukan 'kutu busuk', seperti lazimnya."

Lies mengernyit. "Hermawan?"

"Masmu pakai nama itu; Letnan Hermawan. Cuma aku yang tahu aslinya: 'Hendri', dan 'Hendrijk'."

Apa ...?

"Di mana dia? Aku harus bertemu! Karena, orangtua ..., rumah kami ...." Suara Lies tercekat, tangannya yang mendingin dikepalkan. "Masku tugas di mana??"

Alis tegas Djati bertaut; bibirnya ditarik mendatar.

"Bung?"

* * *

[8] MBT = Markas Besar Tentara; markas tertinggi di ibukota Indonesia paska kemerdekaan.

Sepasang Mata Biru: Sebuah Cerpen RevolusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang