PROLOG : CERITA DARI MBAH ARIP

93 37 8
                                    


Note:
Jika anda menemukan cerita yang sama di platform lain, selamat! Anda menemukan akunku yang lain!

Note:Jika anda menemukan cerita yang sama di platform lain, selamat! Anda menemukan akunku yang lain!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

...**✿❀ ❀✿**...

12 tahun yang lalu....

 Seorang anak kecil berusia lima tahun sedang sibuk bermain di halaman rumah milik kakeknya bersama beberapa temannya. Lengkingan dari pita suaranya terdengar bahagia, walau mereka hanya bermain kejar-kejaran.

 Dari kejauhan, terlihat seorang pria tua yang mengawasi si anak kecil sembari bersantai di atas kursi malas. Tak lupa juga ia ditemani oleh kopi dan gorengan yang diletakkan pada sebuah meja.

 Semilir angin dengan senang hati datang menyejukkan teras dari rumah kecil di perkampungan yang ditempati oleh si pria tua, menambah keindahan rumah beserta keasrian pohon mangganya yang sudah berbuah.

 "Eca, ayo ke sini," panggil pria tua yang tak lain adalah kakek dari anak yang dipanggil.

 "Nanti dulu!" balas dari yang dipanggil, lalu melanjutkan permainannya.

 "Kamu dipanggil Mbah Arip tuh, kok nggak nyusulin?" tanya salah satu teman se-permainan nya yang berusia sedikit lebih tua dari si anak kecil. Sedangkan yang ditanya urung menjawab, hanya terdiam sambil senyum cengengesan.

 "Ya udah nih, aku susulin kakek dulu ya! dadah!" seru si anak kecil sembari melayangkan kedua tangannya ke udara.

 Akhirnya, si anak kecil dengan cepat berlari mendekati kakeknya yang bernama Mbah Arip, tak lupa dengan pelukan manjanya. Anak yang dipanggil Eca itu dengan pelan melepaskan pelukannya, lalu duduk bersila di hadapan si kakek dengan tatapan polosnya. Eca kecil telah berhasil membuat Mbah Arip tertawa gemas melihat tingkah darinya.

 "Eca, gimana mainnya tadi?" tanya Mbah Arip lembut.

 "Seru banget!" jawab Nesca; nama asli Eca.

 "Eca mau dengar cerita?" Mbah Arip bertanya kembali. Tentu saja Nesca kecil menjawabnya dengan anggukan riang, karena ia sangat suka mendengarkan cerita. Terutama jika itu cerita dari Mbah Arip.

 "Ayo ke dalam."

 Dengan suara yang lembut menenangkan, Mbah Arip mengajak cucu kecilnya itu masuk ke dalam rumah. Nesca kecil dengan patuh berjalan mengekori kakeknya dengan air muka kebingungan. Mereka berdua berjalan menuju ke sebuah ruangan misterius yang tak pernah dibuka sebelumnya. Sedangkan teman-teman se-permainannya kembali melanjutkan kegiatan mereka.

 Mbah Arip mengeluarkan sekantong kecil yang berisi sebuah kunci berkarat. Nesca kecil hanya diam di tempat, mengamati apa yang dilakukan oleh kakeknya. Memang perlu sedikit usaha untuk membuka pintu yang sudah tujuh tahun tidak pernah terbuka itu, namun akhirnya berhasil terbuka.

 Dan terhampar lah di depan mereka saat ini sebuah ruangan yang berisi banyak barang antik. Keris-keris bergantungan pada dinding kayu yang telah ditancap paku. Tampak juga beberapa peti yang terbuat dari kayu terkunci rapi di sana, walaupun dipenuhi oleh sarang laba-laba dan debu yang bertaburan menyelimuti setiap benda yang ada di sana.

 Nesca kecil yang sedang diam berdiri di ambang pintu sibuk menghalau butiran-butiran debu itu masuk ke dalam rongga hidungnya dengan terbatuk-batuk, juga sesekali bersin. Sedang Mbah Arip sedari tadi sibuk membongkari beberapa kardus di pojok ruangan, tanpa memperhatikan cucunya. Mbah Arip menghadap ke belakang, melihat keadaan cucunya yang sudah terlihat tak nyaman akan tempat itu dengan netranya yang tidak se-awas dulu.

 "Eca mau keluar?" Mbah Arip bertanya dengan lemah lembut. Nesca kecil menjawabnya dengan anggukan kencang.

 "Yaudah, Eca keluar dulu ya. Biar ga bersin terus," perintah Mbah Arip dengan suara yang di alunkan dengan lembut, membuat Nesca kecil tersenyum riang dan langsung berlari keluar dari tempat itu menuju ke arah ruang keluarga.

 Nesca kecil dengan bersegera duduk di atas tikar besar yang berada tepat di depan sebuah televisi kotak tua milik Mbah Arip. Ia sudah tak sabar lagi untuk mendengarkan cerita darinya.

...**✿❀ ❀✿**...

 Mbah Arip sampai saat ini masih mencari-cari sebuah benda yang tersembunyi di dalam tempat itu. Satu-persatu kotak penuh debu itu dibuka, berharap menemukan benda yang dicari. Hingga akhirnya Mbah Arip mengangkat tinggi sebuah buku bersampul kulit berwarna cokelat. Dengan senyumannya yang terukir lebar, Mbah Arip berucap;

 "Akhirnya ... petunjuk terungkap."

 Dengan segera pria tua itu keluar dari tempat ia berpijak sebelumnya, tak lupa juga mengunci kembali pintu yang belum lama dimasuki udara luar tersebut. Rasa pengap kembali memenuhi ruangan itu, dengan sebuah cahaya keemasan misterius yang keluar dari sudutnya. Ia melangkah dengan ekspresi bahagia menuju tempat Nesca berada. Sudah ia lihat dari kejauhan cucu kesayangannya itu berdiri di hadapannya dengan satu raut muka penasaran. Nesca kecil mendekati kakeknya, lalu duduk di lantai seraya memperhatikan buku usang yang berada di genggaman Mbah Arip.

"Apa itu?" tanya Nesca kecil sambil menunjuk buku yang dipegang Mbah Arip.

"Ini buku ceritanya. Eca mau liat?" jawab Mbah Arip lembut.

"Eca mau liat!" balas Nesca kecil yang kini sudah mulai meraba-raba benda itu.

Nesca kecil pun membuka sampul dari buku yang telah usang itu dengan bersemangat. Seketika matanya terbelalak ketika lembaran pertama terbuka. Cahaya remang keemasan tiba-tiba keluar dari lembaran kertas lapuk yang kini sedang dipegangnya, beserta kertas-kertas yang sengaja dibuat timbul untuk membuat cerita di dalamnya tampak nyata.

"Wow," gumam Nesca takjub.

"Sini, Mbah ceritakan," ucap Mbah Arip sembari menggeser tubuhnya mendekat ke buku. Nesca kecil juga mengarahkan atensinya ke arah buku itu.

"Dunia yang ada di buku ini bernama dunia 'Dwipayana'. Pada zaman dahulu, seluruh rakyat Dwipayana hidup dengan aman dan damai." Mbah Arip mulai membalik halaman yang telah dibuka oleh Nesca.

"Suatu hari, ada sebuah kejadian yang membuat rakyat Dwipayana menjadi ketakutan. Kabut kegelapan datang memporak-porandakan seluruh Dwipayana. Kabut itu tidak bisa dikalahkan." Nesca sedikit merasa ketakutan ketika melihat gambar yang tersaji di buku.

"Lalu datanglah seorang kesatria yang berjuang sendiri melawan kabut hitam itu. Kesatria itu dengan gagah berani melawan kabut hitam itu, sehingga kabut hitam bisa tersegel di sebuah tempat yang tidak diketahui, sama seperti dirinya."

"Dan pada suatu saat nanti, akan ada seseorang dari tempat asing yang nantinya bisa memusnahkan kabut hitam dari Dwipayana dan seluruh dunia. Ketika orang itu datang, kabut hitam akan kembali menyerang Dwipayana. Dan orang itu akan menjadi pahlawan."

"Siapa orang itu?" tanya Nesca kecil dengan penuh penasaran. Mbah Arip hanya menjawabnya dengan isyarat jari telunjuk yang mengarah padanya. Nesca kebingungan. Ia tidak mengerti maksud dari kakeknya.

Setelah itu Nesca terdiam, begitupun dengan Mbah Arip. Tak ada suara keluar dari mulut mereka sedikitpun. Yang mengisi ruang udara di tempat itu hanyalah suara kicauan burung murai milik Mbah Arip. Tak lama setelah itu, Nesca mengantuk.

"Eca udah ngantuk ya." Mbah Arip bertanya kepada cucunya. Nesca menjawabnya dengan anggukan lemah. Nesca kecil dibawa oleh Mbah Arip menuju ke dalam kamarnya, seraya menyanyikan kidung tidur untuknya.

Lalu Mbah Arip keluar. Ia menuju ke ruang televisi, tempat ia meletakkan buku tadi. Ia menaruh buku itu ke atas televisi sambil tersenyum aneh.

"Kau akan mengerti apa maksudku suatu saat nanti, Nesca"

NESCATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang