05 || Larangan

4 0 0
                                    


***

Tumapel, Bumi.

Sepasang wanita dewasa dan anak laki-laki itu berjalan memasuki area ramai, dimana itu merupakan daerah Tumapel yang padat penduduk.

Perempuan itu ternganga takjub, baru kali ini ia melihat manusia-manusia dari planet Bumi beraktivitas sebegitu giatnya seperti saat ini.

Di kiri dan kanannya nampak banyak sekali orang-orang berlalu lalang. Sebagian besar terlihat membawa celurit, cangkul, dan alat bertani lainnya. Sedangkan sebagian lainnya juga membawa hasil panen dan barang-barang yang sepertinya akan dijual di pasar.

"Di sini sangat padat, Damara," ujar Dhara tanpa mengurangi wajah takjubnya sama sekali.

Melihat itu Damara hanya terkekeh pelan sembari terus menggandeng tangan Dhara agar tidak hilang. "Tentu saja. Ini adalah Singhasari, ibu kota Kerajaan Tumapel. Sudah dipastikan bahwa daerah ini akan sangat ramai, apalagi diwaktu-waktu seperti saat ini." Mendengar itu, Dhara hanya menganggukkan kepala mengerti.

"Omong-omong, Mbakyu kenapa mengajakku ke tengah kota?" tanya Damara sekali lagi.

"Oh! Aku sedang mencari seseorang, dan aku rasa ... mungkin orang itu bermukim di pusat kota. Makanya aku mengajakmu kemari."

"Memangnya siapa?"

Tersenyum sekilas, lalu tanpa banyak bicara Dhara menarik lengan Damara untuk memasuki salah satu rumah penduduk dan bertanya disana.

"Permisi, selamat pagi, Buk," sapa Dhara kepada salah seorang wanita paruh baya yang sedang mengayak beras di teras rumahnya.

"Iya, selamat pagi, Nduk. Ada apa?"

"Um, saya hanya ingin bertanya. Kira-kira Ibuk pernah tidak mendengar nama Mpu Chandrawala?"

"Mpu Chandrawala?"

"Ya, benar. Beliau pindah dan menetap ke sini disebabkan bencana hebat yang pernah terjadi di permukiman kecil tepi hutan sebelah Selatan Kerajaan Tumapel bertahun-tahun silam. Mungkin beliau sudah meninggal, tetapi bisa saja keturunannya masih menetap disini," terang Dhara sesopan mungkin.

Wanita paruh baya itu nampak terdiam sejenak, berpikir. Namun tak lama kemudian wanita itu kembali menyeletuk, "Maaf, Nduk, aku sama sekali tidak pernah mendengar nama Mpu Chandrawala."

Sedikit kecewa, namun Dhara tetap tersenyum hangat sembari mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, lalu pamit dengan sopan kepada wanita paruh baya tersebut.

Setelah dari rumah pertama, keduanya pun kini beralih menuju rumah berikutnya. Namun tetap saja, sang pemilik rumah mengajukan jawaban yang sama seperti yang dikatakan pemilik rumah sebelumnya.

Hal itu terus saja terjadi berulangkali sampai tiba pada rumah ke lima belas. Tidak ada yang sekedar tahu mengenai Mpu Chandrawala.

"Astaga Mbakyu, aku lelah," keluh Damara dengan napas terengah-engah. Mengangguk pelan, rupanya Dhara juga menyetujui keluhan Damara.

Kini keduanya tengah terduduk disalah satu kios kosong yang tertutup. Sembari meluruskan kakinya, mereka pun mengibaskan kedua tangannya untuk mengipasi area wajah dan lehernya yang kepanasan.

"Memang kenapa sih, Mbakyu mencari keturunan Mpu itu?" celetuk Damara tiba-tiba.

"Ee ... tidak apa-apa. Hanya saja aku memang sedang butuh bertemu dengannya secepat mungkin," jawab Dhara seadanya.

Kruyuk~

Tertawa kencang, lalu Dhara menyeletuk, "Kau lapar, ya?" dan Damara hanya mengangguk dengan wajah lelahnya.

I'm Your Rabbit! [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang