Lift - Horor

51 14 0
                                    

"Ya, adikmu kecelakaan."

Begitu menerima telepon dari Mama kalau Kinara kecelakaan, aku bergegas pergi. Aku memilih memesan taksi daripada mengendarai kendaraan sendiri. Takut pikiran kalutku sekarang justru menambah musibah. Berkali-kali aku melihat ponsel untuk menerka berapa lama lagi aku akan tiba di rumah sakit. Sepuluh menit, tidak lama. Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi selain melihat ke luar jendela. Aku sudah melihat gedung rumah sakitnya. Menjulang tinggi dengan papan nama rumah sakit yang besar. Siapa pun bisa tahu hanya dengan melihat sekilas.

Saat mobil kembali berjalan setelah lampu berubah warna hijau, aku mengembuskan napas lega. Tujuanku makin dekat dan jantungku berdetak kencang. Aku merasa belum siap untuk bertatap muka dengan Mama. Melihat dirinya yang hancur karena Kinara kecelakaan. Aku juga tidak siap melihat kondisi Kinara. Untuk menetralkan detak jantung dan memberikan rasa tenang pada diri sendiri, aku mengambil napas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Mataku terpejam selagi melakukan hal itu.

Mobil berhenti dan aku membuka mata. Rumah sakit berada di sebelah kiriku dan terasa amat nyata. Aku masih berusaha menyangkal semuanya, tetapi begitu sampai di sini, aku tahu kalau semua ini adalah nyata. Setelah memberikan uang pada sopir dan turun, aku menarik napas kembali. Di pinggir jalan banyak gerobak makanan dan minuman. Aku tidak punya selera untuk makan apa pun sekarang. Sebelum benar-benar melangkahkan kaki ke halaman rumah sakit, aku mendongak, menatap langit hitam tanpa bintang. Hanya bulan di sana. Berbentuk sabit.

Sepanjang perjalanan menuju kamar yang diberi tahu Mama, aku hanya bertemu paling banyak lima orang. Satu satpam, dua perawat, dan dua lagi pengunjung. Ini pertama kalinya aku pergi ke rumah sakit ini. Letaknya lumayan jauh dari rumah, tetapi dekat dengan lokasi kecelakaan. Karena tidak tahu di mana lift berada, aku berjalan memutar. Tidak ada orang yang bisa aku tanya. Satpam di depan hanya mengatakan kalau aku harus naik lift untuk sampai di lantai yang aku tuju.

Aku melihat tangga, tetapi sepertinya tangga itu tidak akan membawaku ke lantai yang aku tuju. Kakiku melangkah melewati tangga lalu kembali berhenti begitu aku melihat ruangan di bawah tangga. Kamar jenazah. Pintunya terbuka lebar dan lampunya menyala. Untung lampunya menyala. Aku bergegas melangkah, berusaha untuk tidak memperhatikan ruangan itu meski mataku tetap melirik saat benar-benar melewatinya. Aku berbelok kanan dan melihat satu orang lain yang sepertinya pengunjung sedang berdiri di tengah lorong. Di depan lift. Syukurlah.

Tidak perlu menunggu lama untuk lift itu datang. Kami melangkah bersamaan. Dia menekan angka lima, sedangkan aku menekan angka sebelas. Tidak satu pun dari kami yang berbicara. Aku sibuk melihat pantulan diriku di dinding lift. Celana jin abu-abu dengan kaus putih yang dilapisi kardigan cokelat dan sepatu hitam tanpa hak. Pakaian tercepat yang bisa aku temukan saat itu. Saat Mama memberi kabar. Aku bahkan tidak sempat menyisir rambut, hanya mengucirnya dengan asal. Cowok di sebelahku sibuk memainkan ponsel dan tengah menyender.

Denting suara dan lift terbuka. Cowok itu bergegas keluar. Tinggallah aku sendirian di dalam lift. Sekarang aku yang menyenderkan tubuh. Memejamkan mata dan menarik napas dalam. Aku terus memejamkan mata, merasakan gerakan lift yang membuat kepalaku terasa pening dan berat. Sampai ketika suara denting itu kembali, barulah aku membuka mata. Lorong yang sama, lantai yang berbeda. Aku melangkah mantap menuju kamar yang disebutkan Mama di telepon dengan suara terisak.

"Mama," ucapku saat melihat wanita paruh baya yang tengah menutup wajahnya dengan satu tangan, sedangkan tangan sebelahnya memeluk pinggangnya.

Aku terenyuh dan sesak. Wajah Mama tampak amat lelah dengan kilauan air yang membasahi pipinya. Matanya merah dan masih terdapat air yang menggenang. Aku segera berjalan menghampiri Mama dan memeluknya erat. Sebisa mungkin aku menahan tangis. Mama butuh seseorang yang kuat yang bisa mendampinginya sekarang, yang dapat menghiburnya. Akulah orang itu.

Storiette Where stories live. Discover now