Chance - Fiksi Ilmiah

68 24 20
                                    

Aku melihat diriku. Rambut panjang berwarna-warni, tindik di wajah dan telinga, dan pakaian ketat yang kurang bahan. Kerutan muncul di dahi dan tangan terlipat di depan dada. Lalu mulut yang bergerak-gerak layaknya makan sesuatu. Kepala bergerak miring seakan sedang bertanya. Tapi aku masih berdiri tegak, tanpa sedikit pun merubah posisi.

Aku melihat diriku di masa lalu. Bukan pantulan diriku di cermin.

Aku melihat diriku yang berumur 17 tahun.

"Apa-apaan orang tua ini? Minggir!" Dia mendorongku. Aku di masa lalu sangat tidak sopan ternyata.

Kakinya melangkah meninggalkanku sendirian. Aku mengikuti langkahnya. Ada hal yang harus kubicarakan dengannya.

"Floy!" Aneh sekali rasanya memanggil nama sendiri.

Dia berhenti melangkah lalu membalikkan badannya. Kakiku melangkah lebih cepat ke arahnya. Senyum kuberikan padanya, tapi dia hanya memasang wajah jutek. Apa aku dulu seperti ini?

"Aku tidak mengenalmu."

"Benarkah?" Apa wajah kami tidak ada kemiripan sama sekali?

"Menjauhlah orang tua." Floy memasukkan tangannya ke dalam saku celana pendeknya.

Aku mendesah. "Ada yang harus kita bicarakan."

"Aku tidak mau," jawabnya lalu menendang perutku dengan keras. Ia tertawa sambil mengacungkan jari tengahnya. "Enyahlah!"

Tendangannya terlalu kuat untuk aku yang sekarang lemah fisik. Aku tidak bisa mengejarnya. Aku hanya bisa meringkuk di atas aspal sambil memegangi perut. Ringisan keluar dari mulutku diselingi gigi yang menggeletuk karena udara dingin. Mataku terpejam mencoba mengingat kembali kejadian sebelum aku pergi ke masa lalu.

Aku ingat saat itu pertengahan musim dingin. Di mana suhu mencapai minus. Aku masih ingat jelas ketika tubuhku mulai membeku di depan toko roti orang yang tengah tutup. Kupikir saat itu aku akan mati karena kedinginan. Kupikir akan ada berita yang berjudul "Seorang Tunawisma Mati Kedinginan di Depan Toko Roti". Nyatanya tidak.

Seorang lelaki berambut hitam dan berjanggut datang menghampiriku. Dia memakai mantel bulu berwarna cokelat. Satu tangannya terdapat mantel bulu lain berwarna putih. Dia berjongkok dan mendekatkan dirinya padaku. Saking dekatnya aku bahkan bisa merasakan embusan napas hangatnya.

"Apa kau mau bekerja dan punya rumah?" tanyanya yang tentu saja kubalas anggukan. Mulutku sudah tidak sanggup untuk bergerak.

Dia memakaikan mantel bulu putih pada tubuhku. "Namaku Jonathan. Kau bisa memanggilku Jo."

Jo menggendongku menuju mobilnya. Di dalam mobil ia memberikan air hangat dan camilan untuk mengisi perutku. Lalu mobil berjalan meninggalkan kawasan toko yang diselimuti salju putih. Rasa hangat tak hanya menyelimuti tubuhku, tapi juga hatiku.

Dan sekarang, aku kembali merasakan dingin. Kembali berbaring di jalanan beraspal. Kembali meringkuk dan berharap rasa dingin kan pergi. Tapi kali ini berbeda. Aku masih punya harapan. Maka aku pun berdiri dan berjalan menuju rumah lamaku. Aku akan mengubah masa depanku sekarang.

Rumah bergaya antik yang sudah lama kurindukan kini ada di depan mataku. Rumah dua lantai yang hanya terdiri dari 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dapur, dan ruang tamu itu benar-benar ada di depan mataku. Aku ingat saat menjual rumah ini dan pergi ke New York. Siapa sangka di sana aku akan menjadi tunawisma.

Kalau mengingat sepuluh tahun yang lalu, rumah ini hanya ditinggali olehku. Ayah dan Ibu bercerai, lalu Ibu kabur meninggalkanku sendirian di rumah ini. Aku bisa diam-diam masuk ke kamar Ibu. Karena tinggal sendiri, aku biasanya membawa kunci rumah, tapi ingatanku tentang rumah ini masih terekam jelas.

Storiette Where stories live. Discover now