Halaman 5

29 6 0
                                    

Apa aku pernah bilang kalau Dead Fish Black Curry itu enak? Apalagi kalau dimakan ketika lapar? Walau namanya mengerikan, daging ikan yang menjadi bahan utamanya sangat lembut. Rempah hitamnya memberi rasa unik yang tak bisa kulupakan. Aku sangat menikmatinya.

Setelah merasa kenyang, Kapten Sebastian menyilakan kami menjelajah pulau untuk menemukan jimat suci.

Selamat bersenang-senang, katanya waktu itu.

Apa kalian percaya? Bersenang-senang? Bah! Aku tak ingat di mana letak kesenangannya. Tetapi ya sudahlah. Mari kita lanjutkan.

Waktu itu aku tak tahu akan memulai pencarianku dari mana. Jadi, aku berjongkok, menggali tanah di bawahku dengan pasak sembari melihat-lihat ke sekeliling. Beberapa orang sudah bergerak. Mereka masuk ke wilayah-wilayah yang berbeda.

Ada sebagian tamu yang menuju Moroe Vulkano. Aku tidak mau mengikuti mereka. Aku tidak mau dekat-dekat dengan si gunung berapi saat ia bersin. Aku takut terpercik ingusnya yang panas.

Sebagian tamu lagi masuk ke wilayah Monochrome Abyss. Mereka mulai melewati lembah dan bukit-bukit gersang. Melihat mereka saja aku sudah ngos-ngosan, apalagi mengikuti mereka. Tidak ah, makasih.

Aku lantas menengok ke arah hutan. Gerbangnya tampak seperti mulut monster yang menganga, siap menelanku bula-bulat. Aku jadi merinding mengingatnya.

Kemudian, aku melihatnya, tempat yang menurutku paling aman. Tempat itu terkesan tidak seharusnya ada di pulau WGALand. Tempat itu sangat indah, merupakan sumber makhluk hidup. Ya, tempat yang kumaksud adalah sungai.

Sungai itu ditumbuhi bunga-bunga violet di tepinya. Aku ingin sekali memetiknya, tetapi untungnya aku ingat peringatan Od tentang bunga-bunga itu. Ya ampun, nyaris saja.

Jadi, bunga itu adalah Sweet Violetta. Meski namanya sweet, bunga itu tidak sweet. Jika tersenggol bunga itu akan mengeluarkan serbuk. Dan ketika serbuk itu menyatu dengan angin ... wah, wassalam. Menghirup lebih dari lima kali helaan napas, kita bisa langsung koit di tempat. Kalau kalian tidak percaya, coba saja. Aku sih ogah. Aku juga tak berminat memetiknya sebagai oleh-oleh untuk Maven. Jadi, aku memutuskan untuk mengikuti aliran sungai itu, sembari berhati-hari agar tidak menyenggol si bunga ungu.

Aku masuk ke area padang rumput yang luas. Udara di sekitarku perlahan berubah seiring jalanku. Semakin jauh dari tempatku berkemah, suasana semakin pekat saja. Matahari tertutup awan tebal. Mendung menggantung. Hawa menjadi lebih lembap dan dingin. Kemudian, gerimis pun turun. Karena haus, aku menengadah, memasukkan air hujan ke mulut. Setelah puas, aku baru sadar kalau bajuku basah. Tubuhku menggigil. Sejenak aku ingin berlindung dari hujan, tetapi sepanjang mata memandang, aku tak menemukan tempat untuk berlindung.

Aku berbalik, mencoba mencari teman. Namun, tak ada siapa-siapa di sana. Aku sendirian. Ya Tuhan, setiap mengingat saat itu, lututku terasa lemas. Bayangkan, anak kecil, luntang-lantung sendirian di tengah pulau misterius! Apa yang bisa kulakukan, coba? Meraung minta tolong? Berguling-guling di tanah sembari merengek minta pulang?

Sebenarnya itu sudah kulakukan. Tetapi aku malah mendengar suara-suara yang tak ada wujudnya. Bulu kudukku langsung meremang. Aku tahu suara itu bukan suara manusia. Manusia tak akan berbicara sambil mendesah-desah, kecuali kalau mereka sedang ... bermain monopoli.

Maksudku, begini. Suatu malam Maven dan aku terbangun dari tidur. Saat itu kami baru saja menyelesaikan rumah papan kami. Aku terbangun karena mendengar desahan. Penasaran, Maven mengintip ke luar. Namun, ketika aku juga ingin mengintip, Maven melarangku.

Itu hanya suara sepasang manusia mabuk yang sedang bermain monopoli, katanya memberitahuku.

Jadi, aku sih percaya-percaya saja. Apalagi waktu itu mataku sudah tak kuat melek lagi.

Holly Serpent : Three Crused AmuletsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang