Halaman 6

27 8 0
                                    

Hidup itu singkat, kawan. Jadi nikmatilah selagi bisa.

Mendadak, aku ingin menulis kalimat itu dalam jurnalku. Bukannya apa-apa. Aku hanya ingin memberi kesan kepada kalian kalau aku pernah bijak. Nah, selain menulis kalimat itu di jurnal, sebenarnya aku juga ingin menulis, Arlo pernah di sini di Pohon Baobab, di bawah tulisan wise men bla bla bla.

Tetapi, tentu saja tak kulakukan. Aku takut ada orang yang mengadukanku pada penunggu pohon itu. Aku pasti bakal dicekiknya.

Nah, omong-omong soal penunggu pohon, rupanya Mr. Wise adalah penunggu Pohon Baobab. Dan ketika ia menunjuk ke arah hutan, aku sempat bingung.

Aku mencoba menunjuk ke arah sebaliknya, ke tempat yang menurutku lebih aman. Namun, ia tak merespons dan malah menghilang.

Tunggu, tunggu, kataku waktu itu. Aku tak mau sendirian lagi. Tak apalah ditemani hantu, asal tak sendirian di tempat seperti itu. Namun, dia tak muncul. Aku terpaksa berjalan ke arah yang ditujunya. Mungkin dia ingin membantuku menemukan jimat suci, pikirku kala itu.

Aku lantas mencoba menyeberangi sungai. Omong-omong, tak mudah menyeberangi sungai itu. Tak ada daerah yang tidak ditumbuhi bunga beracun. Saat menengok sekilas, kedalaman sungai itu pun tak bisa kuperkirakan. Sungai itu juga cukup lebar. Aku lantas mencoba mencari papan untk kujadikan jembatan. Namun, aku tak menemukannya.

Duh, waktu itu rasanya aku ingin menyerah saja.

Namun kemudian, hujan lagi-lagi datang. Aku menelusuri sungai itu. Ada sebuah daerah yang sedikit ditumbuhi bunga Sweet Violetta. Karena saat itu hujan, aku berpikir serbuknya tak akan mengenaiku kalau sekadar kusenggol sedikit. Di daerah yang kutemukan itu lebar sungainya lebih sempit dibanding tempat lain. Maka dari itu aku berencana melompatinya.

Lebar sungainya kira-kira dua meter. Dan mengingat ada ladang bunga ungu yang mesti kuhindari, aku berasumsi lebarnya menjadi tiga meter. Waktu itu aku bimbang sekali, apa aku bisa melompatinya?

Dulu, saat ibu asuhku menyuruh kami mencuci baju di sungai, aku dan Maven sering sekali berlomba melompati sungai sebagai permainan. Jika salah satu di antara kami tercebur, maka dialah yang akan membersihkan kandang ternak hari itu. Aku sering kalah dari Maven. Sebab, kakiku lebih pedek dari dia. Tetapi, dia selalu berkata,

Bukan salah kakimu kau payah, tetapi salahkanlah otakmu yang bodoh. Melompat itu butuh teknik. Dia lalu tertawa.

Maven selalu mampu membuatku tertohok. Mengingat hal itu membuatku yakin aku bisa melompati sungai itu.

Sebelum kulaksanakan rencana itu, aku berancang-ancang. Aku lalu berlari sekuat tenaga, tetapi ketika sampai di tepi sungai, aku sempat melihat seekor buaya payau mengawasiku. Aku pun berputar arah. Sial. Buaya itu besar sekali. Kalau aku sampai tercebur, dia akan memakanku dalam sekali hap.

Pahit, pahit, pahit, pahit, gumamku pada buaya itu. Aku memberitahu rasa dagingku kepadanya, berharap dia mengerti tak ada gunanya mencaplokku.

Namun, aku tak bisa berlama-lama menunggu buaya itu belajar bahasa manusia. Hujan sudah mulai reda, yang artinya aku bakal mati kalau sampai menginjak bunga-bunga ungu sialan itu.

Kuambil napas dalam-dalam, mundur untuk berancang-ancang sejauh mungkin, lalu berlari. Kupijakkan kaki terkuatku ke tepi sungai. Kubayangkan aku adalah burung yang memiliki sayap. Kurasakan embusan angin menerpa bawah tubuhku, mengangkatku ke udara. Aku merasa seolah terbang sebelum kulirik ke bawah dan kudapati mulut si buaya menganga, menungguku jatuh ke sana. Awas kau, Buaya!

Namun kemudian kurasakan jatuhku menukik. Sialan. Dalam hati aku berdoa lompatanku mampu melampaui lebar sungai itu. Untungnya doaku terkabul, walau nyaris saja aku menggencet bunga violet beracun.

Holly Serpent : Three Crused AmuletsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang