Halaman Terakhir

15 2 0
                                    

Jadi, di sinilah akhirnya. Apa aku harus menulis puisi perpisahan yang indah? Kurasa tak perlu. Selain aku tak bisa, aku juga mau muntah saat berusaha menulisnya.

Pada halaman ini aku menyampaikan bahwa aku menyesal memilih arah kiri. Kupikir tadinya aku melihat tulisan yang menunjukkan arah yang benar di sisi kanan kukang, yang adalah di sisi kiriku. Namun, ketika aku menelusuri belokan itu aku tiba di karang terjal. Ombak menderu-deru di telingaku, mengajakku menceburkan diri ke dalamnya.

Tentu saja aku tak mau. Kenapa aku harus menurutinya? Mereka kan tidak punya mulut. Huh! Aku benci laut. Tetapi aku harus menceburkan diri di sana, bergabung dengan arwah para bajak laut yang gagal mendapatkan jimat suci itu.

Oh, ya. Seandainya ada yang menemukan jurnal ini, aku mohon pada kalian, tolong beritahu Maven kalau aku sudah meninggal. Aku takut dia kan menungguku terus sampai tua. Dan bagaimana kalian bisa tahu Maven? Yah, kalian kan punya mulut. Tanya saja orang-orang di Rhea. Pasti salah satunya kenal kawanku itu.

Lagi pula, Maven tidak sulit ditemukan. Dia kurus, seperti orang yang kekurangan gizi. Rambutnya selalu kelimis. Dan ketika kalian mendekatinya, baunya seperti muntahan. Gampang, kan?

Nah, kenapa aku bisa mati? Tidak, aku meralat. Aku belum mati, tetapi akan mati. Karena di ujung gua aku bertemu si hantu penari itu. Aku tahu dia tidak akan melepaskanku begitu saja. Jadi, ya sudahlah. Setelah aku mengakhiri jurnal ini kuajak saja dia berkencan sebelum aku dimakannya.

Mengerikan, bukan? Cantik-cantik ternyata kanibal.

Sebelum aku menyerahkan diri kepadanya, aku ingin menulis perasaanku saat mengikuti petulangan ini. AKu senang. Sedikit. Karena jelas saja, aku akan mati. Jadi, aku sedikit saja merasa senang.

Aku sempat mengobrol dengan si gadis penari. Dia sangat humble pada mangsanya, asal kalian tahu. Dia bercerita banyak hal padaku.

Dari tamu yang dibawa Kapten Sebastien, hanya ada tiga orang yang berhasil mendapatkan jimat-jimat itu. Di sini, di area Green Misty, hanya ada satu yang mendapatkannya. Si penari tak tahu namanya. Akan tetapi, akhir darinya pun tak begitu jauh dari akhir yang kualami.

Untuk mengambil jimat itu, rupanya harus ada tumbal. Jadi orang kedualah yang berhasil mendapatkan jimat itu karena orang pertama langsung koit begitu menyentuh jilat itu.

Namun, itu belum selesai, by the way. Si pemenang, alias orang kedua tadi memberikan jimat itu kepada Kapten Sebastien. Begitupun dengan kedua orang lainnya. Mereka lantas mati juga.

Iya. Rupanya tujuan Kapten Sebastien hanya untuk menumbalkan kami saja. Berengsek, kan? Memang, sih. Tapi ya sudahlah. Mungkin mati tak begitu menyakitkan.

Aku hanya berharap Maven menemukan jalan hidupnya sendiri. Mungkin saat aku menjadi hantu nanti, aku akan ikut ke kapalnya dan turun ke Rhea. Aku akan mengawasi Maven hingga sampai menjadi gubernur. Aku akan menghantui para musuh-musuhnya. Yah, kalau dipikir-pikir enak juga memiliki tentara hantu.

Jadi, yah. Si penari sudah memanggilku. Kurasa ini saatnya aku mati. Selamat tinggal. Sehat-sehat ya kalian. Jangan sebut namaku, nanti kudatangi kalian.

***

Arlo de Quincy, 

penulis jurnal. 

Holly Serpent : Three Crused AmuletsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang