Halaman 7

30 5 0
                                    

Dadaku rasanya seolah akan meledak ketika aku menghindari kejaran para kelinci itu. Aku pikir mereka temanku. Dilihat dari bentuknya, mereka imut sekali. Namun rupanya aku salah. Mereka adalah karnivora ganas.

Terseok-seok aku berlari menembus gelapnya hutan. Kakiku sempat tersandung akar lagi. Akibatnya aku jatuh berguling ke tanah. Tulangku nyut-nyutan. Seolah belum cukup buruk, para kelinci itu berhasil menggigit ujung celanaku, lalu mencoba menariknya dengan gigi mereka yang tajam.

Dasar kelinci jahat! Aku ingat mengumpati binatang itu keras sekali.  Aku berharap mereka takut. Alih-alih, suaraku bergetar. Aku yakin dikira sedang bersenandung oleh mereka.

Tanganku mati-matian mempertahankan celanaku agar tidak melorot. Aku tak berniat menjelajahi hutan sembari telanjang.

Kujejak kepala para kelinci itu hingga ujung celananku robek. Waktu itu rasanya aku sudah mirip sekali dengan Tarzan versi lebih kecil dan tanpa otot. Aku lantas kembali berlari.

Aku tak tahu berapa lama aku berlari, pun berapa jauh. Yang ada dalam pikiranku hanya menghindari para kelinci itu. Namun, ketika aku merasa sudah tak kuat melangkah lagi, kulihat kelinci-kelinci itu tak lagi mengejarku. Mereka berdiri, atau kupikir begitu, di ujung hutan.

Kusadari bahwa aku sudah memasuki wilayah lain. Akan tetapi, aku tak sempat mengamati sekitar karena tak lama kemudian, aku ambruk. Pandanganku kabur. Tubuhku berdenyut-denyut. Napasku juga berat. Waktu itu aku sudah tak peduli kelinci-kelinci itu menyerbuku. Aku lelah sekali.

Aku lalu menangis. Aku merindukan kain-kain kumal di rumah kecilku. Aku tak memiliki kasur. Jadi, aku menggunakan kain bekas yang kususun sedemikian rupa untuk alas tidur. Dibanding hutan, tempat tidurku jauh lebih nyaman.

(Sebenarnya aku tidak ingin menulis kedua keluhanku ini dalam jurnalku, karena saat membacanya, kalian pasti menilaiku cengeng. Tapi, sungguh, seandainya kalian dapat merasakan betapa putus asanya aku saat itu, aku yakin kalian pasti sudah gantung diri di pohon tomat.)

Karena lelah, aku tak sengaja tertidur. Aku ingat telah bermimpi. Dalam mimpiku itu aku tengah bersama Maven. Kami berlari dari kejaran ibu asuh kami. Wanita gemuk itu berhasil menggapaiku.

Lari, lari, Maven, seruku dalam mimpi itu. Namun, Maven tampak bimbang. Ia memandangku dengan ragu. Ia meninggalkanku setelah aku meyakinkannya akan menyusul.

Kemudian, kurasakan jemari besar ibu asuhku menyeretku kembali ke rumah. Aku dimasukkannya ke dalam sumur. Sumur yang bahkan aku sendiri pun tak tahu kedalamannya. Segala yang ada di sekitarku menjadi sangat gelap, sampai-sampai tak ada bedanya ketika aku membuka maupun menutup mata. Udaranya pun lembap. Aku bahkan tak dapat bernapas dengan benar. Ulu hatiku terasa berdesir ketika aku jatuh ke dalam kegelapan.

Aku tak tahu kapan aku mendarat. Pokoknya dalam mimpi itu tahu-tahu aku berada di lautan kepiting. Kaki mereka yang kecil menusuk-nusuk kulitku.

Saat aku terbangun, aku mengira diriku belum terjaga. Kulihat kepiting-kepiting terbang di atasku. Iya, kalian tak salah baca kok. Kepiting itu terbang. Sebagian merayap di tubuhku yang terlentang.

Waktu itu secercah cahaya matahari menyorot mataku, membuatku yakin kalau aku sudah tidak bermimpi. Kepiting-kepiting itu nyata, senyata jurnalku ini.

Aku lantas bangkit. Kuperiksa anggota tubuhku dan lega ketika mendapati mereka masih utuh. Itu artinya kelinci-kelinci itu tak menggerogotiku. Mungkin karena aku berada di wilayah lain, mereka tak lagi berselera memakanku.

Untungnya kepiting-kepiting itu tidak suka daging, atau kalaupun suka, mereka tipe pemakan daging premium. Yang jelas aku jadi bisa mengela napas dengan aman.

Holly Serpent : Three Crused AmuletsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang