Megah gemintang langit malam itu kalah oleh gemerlap jalan-jalan Edo, Ibukota Kekaisaran Timur Jauh. Siapa yang bisa menyalahkan akhir pekan yang rutin menyongsong. Bagaimana pun, setiap insan punya hak untuk menikmati hidup sebagai bentuk apresiasi diri lepas lima hari kerja keras.
Selalu ada stok energi untuk hiburan malam. Selalu ada sisihan isi dompet untuk berfoya. Seperti itulah konsep yang lumrah dijumpai di distrik merah. Di tempat ini uang adalah penguasa tertinggi. Persetan dengan harga diri. Asal kantong bertambah tebal di penghujung fajar, cara apa pun jadi halal dilakukan.
Seorang bocah laki-laki yang tengah khidmat menggesek senar biola usang di tepi jalan berhenti sejenak karena gemerincing uang koin yang jatuh ke tempat biola kulit yang sengaja dia buka. Tiga keping koin perak, jumlah yang sangat cukup untuk membuat kedua bola matanya berbinar penuh suka cita. Bocah itu mendongak, wajah memerahnya disambut senyum hangat seorang lelaki berbadan tegap.
"Apa aku boleh bertanya sebentar?"
Bocah itu langsung menjawab antusias, "Silakan, Tuan!"
Dengkusan sang pria selembut sorot mata biru gelapnya. "Apa kamu sudah lama mangkal di sini?"
Si bocah mengangguk. "Setiap hari sejak matahari terbenam, Tuan. Saya selalu berada di sini sampai larut malam atau sampai tas biola saya penuh. Ada apa?"
"Kalau begitu," tangannya merogoh saku di dalam jaket hitam kebiruan yang dia pakai, "Apa kamu pernah melihat mereka di kawasan ini dalam beberapa hari terakhir?"
Yang disodorkan pria itu padanya adalah selembar foto berukuran kecil, sekitar 2R. Dalam foto itu, terlihat seorang pria bertubuh kurus dengan kumis yang dicukur rapi. Kacamata bulat bertengger pada hidungnya yang besar dan sedikit bengkok. Pria itu juga mengalami kebotakan parsial meski rambutnya tampak tidak beruban. Di sebelah kanan pria itu berdiri seorang wanita yang sedikit lebih tinggi dari si pria. Wanita itu mengenakan blouse merah muda. Rambut pendeknya yang berwarna chestnut bergaya upright pin curls dilengkapi bibir merah menyala dan sepasang mata cokelat keabuan.
Si bocah memerhatikan dua orang itu dengan saksama, sebelum kemudian mengangguk dengan bersemangat. "Oh, saya ingat sekali karena penampilan mereka tampak mencolok seperti turis asing, Tuan! Sudah tiga hari belakangan mereka selalu terlihat masuk ke Rumah Shimokawa-- Ah, bangunannya itu yang tepat di depan sana." Tangannya menunjuk pada sebuah bangunan bar dengan stik biola.
Sang lelaki yang bertanya mengangguk. "Apa kamu masih ingat pukul berapa mereka masuk?" Sebuah anggukan menyertai jawaban si bocah, "Selalu sekitar pukul delapan. Saya ingat karena jam yang ada di atas pintu masuk Shimokawa selalu tertangkap mata saya setiap mereka masuk."
Mendengar jawaban itu, sang lelaki tesenyum. "Terima kasih banyak," katanya hangat sebelum pergi.
Langkah demi langkah chukka boots kulit cokelat beradu dengan jalanan berbatu yang sedikit lembab akibat gerimis setengah jam lalu. Diantara hiruk pikuk manusia yang bercengkerama dan racauan beberapa pemabuk, sebuah alat yang terpasang rapi di telinga kanan sang lelaki mengeluarkan suara gemerisik.
"Tes, tes, Senior So? Apa Senior bisa mendengar suara saya?"
Mendengar itu, sang lelaki bemanik biru gelap menghela napas. "Aku sudah mendapat beberapa informasi. Tampaknya benar target kita ada di Rumah Shimokawa."
Di atas sebuah atap gedung bergaya khas bangunan Edo, seorang laki-laki berambut merah asyik dengan teropongnya. "Sebentar, biar coba saya periksa dan pastikan dulu," katanya sambil memutar diafragma pada teropong khusus yang dia pakai ke arah gedung Shimokawa. Seiring diafragma diputar, lensa teropong menjadi semakin jauh dan fokus. Lewat sebuah jendela, dia bisa melihat pria dan wanita berperawakan sama seperti di foto tadi tengah duduk di sebuah ruangan di lantai dua. Sebuah meja tradisional yang biasa muncul di pesta minum teh jadi pemisah antara mereka dengan dua orang pria yang menjadi lawan bicara. Terima kasih pada teknologi teropongnya, mengidentifikasi mereka jadi bukan perkara sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravens [After The Rain]
FanfictionSebuah dokumen dengan status kerahasiaan tingkat tinggi milik Kekaisaran telah hilang. Seorang agen Badan Intelijen Kekaisaran, So Raru, diberikan mandat untuk merebut kembali dokumen yang diduga telah dicuri pihak luar tersebut. Maka terbanglah ia...