So Raru tak menyangka, membuka pintu di pagi hari bisa membuat tensinya naik.
Mafuyu Abramovich Raskolnikov, berdiri tegap dengan senyuman lebar terpatri di wajahnya. "Selamat pagi, Rarushka."
"Tiba-tiba saja aku sudah dinamai seenaknya."
Cercaan itu tidak berhasil menurunkan senyum seorang Mafuyu. "Aku sudah cukup menjaga sopan santun kemarin dengan memanggilmu menggunakan honorifik yang tidak wajar dipakai di Utara, tahu?"
"Kenapa cuma berlaku sehari?"
"Bukankah harusnya Anda yang tahu diri sedikit, Tuan tamu?"
Lihat itu. Masih pagi bahkan sudah mendahului mentari untuk memanasi kepalanya. Merasa meladeni hanya akan berujung pada kesia-siaan, So Raru melengos melewati tubuh besar si pria albino. "Minggirlah. Aku punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan."
Jalanan Moskva pagi ini sama seperti kemarin-kemarin. Biar langit masih pucat redup, aktivitas manusia sudah bidup di sepanjang jalan. So Raru melangkah konstan. Ingatan yang bagus telah membantunya menghafal jalanan Moskva sejak tempo hari. Semua mulus.
Mulus jika tidak dihitung pria albino setinggi dua meter yang berjalan mengekor di belakangnya dengan kecepatan langkah yang sama.
Awalnya So Raru masih memilih untuk mengabaikan eksistensi makhluk ini. Dia melewati beberapa kerumunan, menyusuri sejumlah jalan besar, kemudian naik sebuah trem. Perjalanan ditempuh selama lebih dari lima belas menit. Bahkan hingga dia telah turun dari trem dan berjalan melewati dua blok, pria albino yang sama masih mengekor tak jauh di balik punggungnya.
Akhirnya, tepat di depan sebuah kedai kopi yang masih tutup, So Raru berhenti melangkah. Lelaki bersurai gagak menghela napas panjang sambil menggaruk gusar helaian ikalnya sebelum balik badan.
"Kau ini mau kemana?" So Raru nyaris membentak.
"Kau sendiri mau kemana?"
Alis So Raru berkedut. Senyuman Mafuyu masih terlihat menyebalkan seperti sebelumnya. Sang agen memijit kening frustrasi. Dengusan kasar keluar dari mulutnya sebelum bicara. "Dengar, ya, Mafuyu--"
"Mafu."
Sorot biru safir memandang merah rubi dengan heran. Mafuyu mengulangi kalimatnya, "Panggil saja aku Mafu."
"Kita tidak sedekat itu sampai bisa memakai nama panggilan."
"Kalau bukan karena aku, kau mungkin sudah dipulangkan ke negaramu dalam peti mati."
Tanpa memberi jawaban verbal, ekspresi wajah So Raru sudah cukup memberi penyangkalan. Mafuyu bicara lagi, "Kalau tidak mau, ya, aku akan terus memanggilmu 'Rarushka'."
"Hei, kau--"
"Mafu. Mau 'Mafenka' sekalian juga boleh~"
Suara decakan keluar dari bibir So Raru. "Dasar bajinga--"
"Oh, tiba-tiba aku dapat ide bagus. Karena Rarushka terlalu panjang..."
"Siala--"
"...'Rasha' saja, bagaimana? Lucu, kan?"
"Argh!"
"Segera biasakanlah dirimu dengan tata krama orang Utara. Aku merasa canggung juga kalau ada orang yang melempar tatapan heran tiap kali aku mengatakan 'gospodin' tahu."
[*Note: di Utara, penggunaan honorifik formal sebenarnya cukup tidak lazim. Bagian ini akan Kafka jelaskan lebih detail di akhir chapter nanti]
So Raru meremat kepalanya. Percakapan ini terasa sangat menguras tenaga dan kesabaran. Kalau bisa, So Raru ingin sekali membanting benda apa pun yang sekiranya bisa dibanting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravens [After The Rain]
Fiksi PenggemarSebuah dokumen dengan status kerahasiaan tingkat tinggi milik Kekaisaran telah hilang. Seorang agen Badan Intelijen Kekaisaran, So Raru, diberikan mandat untuk merebut kembali dokumen yang diduga telah dicuri pihak luar tersebut. Maka terbanglah ia...