6. Decision Maker

147 22 0
                                    

*****

Kami sudah kelas tiga sekarang. Dan tentunya kebanyakan dari kami sudah bersiap untuk masuk ke universitas. Begitupun dengan diriku. Orang tuaku sudah menyuruhku masuk ke salah satu universitas bonafit di Amerika. Aku memang bukan siswa yang menonjol tapi aku cukup pintar jadi aku yakin bisa lolos ujian masuk kesana.

Tapi bukan itu yang membuat diriku resah. Melainkan hubunganku dengan Yuna. Orangtua kami sudah tahu jika kami berpacaran. Mereka juga sudah memberikan lampu hijau. Namun sepertinya mereka tak menganggap jika aku benar-benar serius dengan Yuna. Apalagi dengan status Yuna yang seorang trainee.

Sebenarnya aku bisa saja memaksakan untuk melakukan perjodohan atau tunangan tapi aku tak bisa. Semakin lama menjalin hubungan dengan Yuna aku merasa semakin dalam mencintai dirinya. Dan akhirnya akupun paham hakikat cinta bukan hanya ambisi untuk memiliki namun saat aku melihatnya bahagia.

Saat Yuna tersenyum senang karena mendapatkan nilai evaluasi yang bagus di akademi tempatnya berlatih aku ikut bahagia. Sungguh melihatnya bahagia adalah prioritasku. Untuk itulah aku tak bisa memaksakan hubunganku dengan dirinya. Dengan Yuna yang kulihat mulai bisa menerima diriku dan dengan melihatnya tersenyum bahagia itu sudah cukup ternyata. Toh Yuna memang tak pernah menjanjikan hubungan kami akan bertahan lama. Dan tentu saja jalan karirnya atau diriku juga masih panjang. Jadi biarkan saja ini semua mengalir apa adanya.

Kalian pikir aku menyerah untuk mendapatkan hatinya? Hmm tentu saja tidak. Hanya untuk sekarang aku bisa lebih menerima. Kalau kami berjodoh pasti suatu saat kami akan bersatu bukan? Aku meyakini hal itu.

Jadi saat Yuna memintaku datang ke roof top dan mengatakan kata putus aku hanya bisa mengangguk mengerti. Aku tak menangis tapi Yuna yang justru menangis. Yuna menangis sesenggukan dengan diriku yang hanya terdiam. Sesakit itukah berpisah dengan diriku Yuna? Bukankah kau akan menggapai mimpimu.

Yuna masih menangis membuatku akhirnya memperpendek jarak kami. Aku mengangkat wajahnya. Melihat mata Yuna yang memerah dan wajahnya yang berurai air mata. Sesakit itukah?

"Kau sangat jelek saat menangis. Sudahlah. Aku tak apa. Kalau memang kita berjodoh bukankah pasti ada jalan nantinya." Ujarku sembari menghapus air matanya. Namun isakan Yuna justru semakin keras.

"Maaf." Bisik Yuna sebelum aku menariknya dalam pelukanku. Yuna masih menangis membuat seragamku basah karena air matanya. Kemudian saat dirinya sudah tenang aku melerai pelakukanku.

Kulihat mata Yuna sembab dengan air mata yang masih mengalir. Aku menghapus air matanya kemudian kudekatkan bibirku pada bibir Yuna. Aku menciumnya. Menciumnya dengan perlahan dan penuh kelembutan. Yuna membalas ciumanku. Ciuman pertama kami terasa basah. Karena air mata Yuna malah mengalir lebih deras. Ah, cinta pertamaku. Ciuman pertamaku. Sangat berkesan namun juga sedikit menyakitkan.

Terima kasih Yuna. Aku akan selalu mencintai dirimu meski kau tak disampingku. Aku akan selalu mencintai dirimu dengan caraku sendiri.

*****

"Jadi, kau akan segera debut?" Tanyaku pada Yuna saat aku mengantarnya pulang. Yuna mengangguk pelan. Sedikit ragu untuk bercerita.

"Sebenarnya aku akan menjalani pelatihan intensif dan debut di agensi lain, bukan RM entertainment. Aku juga akan pindah sekolah." Jelas Yuna membuatku terkejut. Seketika aku menghentikan mobilku di tempat yang cukup sepi dan mengalihkan atensiku pada Yuna sepenuhnya.

Sebelumnya yang kutahu Yuna selalu berlatih di akademi dibawah yayasan pendidikan Jeon. Akademi itu juga selalu mentransfer trainee berbakat untuk debut di RM Entertainment, salah satu perusahaan hiburan yang masih berafiliasi dengan perusahaan Jeon juga. Untuk itulah selama ini aku mendukung dirinya untuk menjadi idola. Karena jika Yuna debut di RM Entertainment aku masih bisa mengawasi dan melindungi dirinya. Tapi kenapa tiba-tiba jadi seperti ini?

YUNA MARRY ME!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang