chapter three

395 55 4
                                    

After all that we had, we acted like we had never met. - J

If you don't leave the past in the past, it will destroy your future. - R

***

Reia sedikit shock saat menyadari tindakan refleknya pada Jevano kembali menyita perhatian teman-teman kantornya. Walaupun ia tidak menyesali perbuatan itu untuk menebus tindakan tidak senonoh pria itu yang tanpa consent menyentuh wajah dan bibirnya. Tapi agaknya ia seharusnya bisa mengontrol emosi agar masalah pertengkarannya dengan Jevano tak membuat mereka mendapat panggilan dari atasannya yang terkenal galak.

" Ria dan Javano, masuk ke ruangan saya sekarang!"

Pria berambut cepak dengan kumis seperti sungut lele itu mendadak berdiri di depan pintu ruangan yang bertuliskan 'general manager' dengan tangan bersilangan di depan dadanya. Matanya nyalang menatap bergantian antara Reia dan Jevano.

" Astaga, guys," Anika bukan menjadi tersangka yang harus datang ke ruangan bosnya, tapi yang pertama kali kebat-kebit malah dirinya.

" Pak, saya nggak perlu ikut ya, saya masih shock setelah kena hantaman." Keluh Jevano dengan erangan tertahan. Wajahnya masih memerah karena menahan sakit.

Reia yang tidak terima karena dikorbankan sendiri kemudian menuduh kalau Jevano hanya sekedar berpura-pura.

" Ngga usah lebay gitu bisa ga sih?" gregetnya.

Jevano yang masih meringkuk di lantai menatap Reia melongo, kemudian meringis menatap Anika –mencari pembelaan.

" Mbak? Lo tadi denger sendiri kan? Ga ada empatinya emang nih cewek atu." Jawabnya dengan raut masih penuh dengan tekanan.

" Emang sesakit itu?" tanya Reia masih ragu.

Jevano kini tak bisa berkata-kata lagi, untuk kali ini pertengkarannya dengan Reia ia biarkan wanita itu yang jadi pemenangnya saja. Masa depannya sedang di ujung kehancuran, ia bisa apa selain mengerang kesakitan?

" Kalian nggak dengar perkataan saya ya?! Cepat masuk!" suara interupsi keras kembali terdengar.

Jevano menatap bosnya memelas, " Pak, saya__"

" Nggak peduli saya, mau batang kamu bengkok apa hilang sekalipun itu ngga ada pengaruhnya buat saya."

Karyawan lain yang mendengar hanya bisa menahan tawa dengan menunduk dalam-dalam.

" Ugh," Jevano tak tahan untuk mengerang lagi. Antara malu dan sakit itu susah dibedakan kalau campur begini.

" Tapi gimana saya bisa berdiri, Pak?" tanya Jevano sembari menunjuk dirinya yang masih menggelepar di lantai seperti suster ngesot.

" Ya udah itu, minta tolong Ria buat mapah. Cepet! Saya ada kerjaan yang mau diurus!" perintah si bos tanpa mempedulikan layangan protes yang hampir keluar dari mulut Reia. Diteruskan suara pintu ruangan yang ditutup dengan kencang.

Brak!

Reia menahan mulutnya untuk tidak protes setelah mendengar suara gebrakan pintu. Wajahnya yang enggan, menatap Jevano ke bawah.

" Ayo cepetan kita masuk." Celotehnya seolah tidak mempedulikan instruksi atasannya dan membutakan mata dengan kondisi Jevano.

" Bantu gue atau lo sendiri aja sana."

" Ih ga mau." Protes Reia cepat.

" Ya udah, sana sendiri." Sahut Jevano masa bodoh.

" Ck!"

Love-HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang