chapter five

422 60 10
                                    


I think it's time I let you go. And that's so hard to do because a part of me will be in love with you for the rest of my life. But the day dreaming, the running in place, it's not healthy. I can't do that anymore. - R

***

Suasana sudah begitu sunyi ketika Reia menapakkan kedua kakinya di pelataran rumahnya. Kedua orang tuanya pasti sudah terlelap, sedangkan Reia merupakan anak kedua dari dua bersaudara, kakak perempuannya sudah tiga tahun menikah dan tidak tinggal disini. Maka sudah tak mengherankan jika di jam menjelang tengah malam seperti ini rumahnya seperti tidak berpenghuni.

Melepas sepatu hak tingginya dan menaruh rapi di rak, Reia kemudian langsung bergegas masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua. Tanpa mau repot-repot mandi terlebih dahulu, perempuan bersurai pirang itu mendudukan diri di lantai yang dingin, kepalanya rebah pada ujung kasur. Helaan napas keluar tanpa bisa di cegah.

Tangannya lekas membuka isi kresek putih berlogo minimarket andalannya, dua kaleng bir yang kala itu menjadi pilihannya. Satu bir terbuka, dan Reia tidak menyia-nyiakannya sama sekali untuk langsung menegaknya dalam jumlah banyak. Hingga hanya menyisakan seperempat bagian.

Kepala berhias rambut pirang itu perlahan menjadi berat. Ada banyak hal berseliweran disana, meminta untuk dijawab satu persatu, meminta diselesaikan hari ini juga. Tapi sayangnya semua tidak semudah itu. Kedua mata indah berbulu mata lentiknya perlahan menutup, meminimalisir denyut nyeri disudut hatinya yang kembali timbul, dirinyya tanpa sadar memutar kembali kenangan.

Kenangan yang sebenarnya sangat ia hindari selepas enam tahun berselang, tapi untuk hari ini Reia tidak mau berpura-pura. Hanya kali ini saja, Reia ingin menjadi dirinya sendiri. Diri yang sebenarnya patah dan belum sembuh namun dipaksa untuk kuat di hadapan dunia.

Satu persatu ingatan hilang timbul menyapa pikirannya.

" Reia, Mama pulang dulu ya. Hari ini Reia harus belajar untuk bermain bersama teman tanpa Mama. Kalau Reia takut, nanti tinggal panggil Jevano biar Jevano temenin. Biar Jevano pegang tangan Reia dengan erat dan Reia pasti akan baik-baik saja."

Itu ingatannya saat Reia kecil mulai masuk ke sekolah Tingkat Kanak-Kanak. Senyum Jevano kecil mengembang terlalu tulus saat itu. Tak mempedulikan wajah Reia yang menahan tangis karena ditinggal sang Mama, Jevano mengulurkan tangan untuk meraih jemari mungilnya dengan erat.

" Reia, sama Jevano ya. Jevano pasti akan temenin Reia terus. Kamu jangan takut."

Dada Reia memberat, dengan keadaan terpejam bersandar pada kasur, satu isakan keluar dari mulut perempuan itu.

Ingatan lain berkelebat ikut menimbrung.

" Lihat kamera Reia, senyum dong sayang." Suara mamanya membujuk dirinya untuk berpose.

Mamanya tidak tahu saja betapa kecewa dirinya waktu itu karena gagal menyabet juara pertama di kejuaraan lari. Walaupun hanya tingkat kedu, tapi Reia sudah berusaha berlatih selama 3 bulan lamanya, dan hari itu usahanya malah tidak membuahkan hasil. Hasil yang dimaksud Reia adalah nomer satu. Menjadi juara harapan satu bukanlah pencapaian yang membanggakan untuknya kala itu.

" Hey, Rey! lihat aku sini, ngga apa-apa kamu ngga juara hari ini. Nih nanti aku dapet juara satu, dapet piala juga. Pialaku kan pialamu juga. Senyum ya, Rey! Cheese!"

Diujung podium, Jevano yang berusia 12 tahun terlihat antusias selagi menunggu antrian pemberian hadiah dan piala dari panitia, dua tangannya melambai untuk memberi semangat padanya. Reia mengangguk patuh dan mengulas senyum amat lebar.

Love-HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang