"Dimana kau pernah bertemu dengan gangster, Val?"
Sejak tadi Edward menginterupsiku berbagai pertanyaan mengenai gangster. Dia tampak sangat antusias membahas mengenai mereka. Aku hanya khawatir, jika rasa ingin tahunya benar-benar besar ia bisa saja melakukan hal yang berbahaya baginya. Seperti kemungkinan suatu saat nanti ia terdaftar sebagai anggota suatu komplotan jalanan berbahaya. Aku akan sangat terkejut apabila ia benar-benar melakukannya.
Hm, ia juga membuatku tidak bisa melupakan peristiwa tadi pagi.
"Mereka mafia. Bukan gangster,"
Edward mendengus, "Bukankah sama saja?"
Aku hanya mengedikkan bahu, tidak peduli. Terserah saja mereka itu mafia, gangster, atau sekelompok penyembah setan, yang paling penting adalah kehidupanku jauh-jauh dari jangkauan mereka. Menghindari bahaya adalah hal yang utama jika ingin hidup aman, bukan?
Edward benar-benar mengantarku selamat sampai di rumah. Sebenarnya aku ragu membawanya ke tempat ini, karena rumahku hanyalah sebuah rumah sederhana. Keluargaku bukanlah keluarga yang bisa seenak hati meleburkan emas kemudian dijadikan hiasan gagang pintu, bukan. Bahkan Ibuku saja tidak mempunyai perhiasan berbahan emas selain cincin perkawinannya dengan Ayahku.
Setidaknya kami pernah merasakan bagaimana rasanya kaya hingga Ayah dipecat dari pekerjaannya dan terpaksa menjadi buruh pabrik. Kisah itu terlalu menyedihkan jika diceritakan kembali.
Aku takut Edward tidak mau berteman denganku karena aku miskin. Karena itulah selama ini aku hanya mempunyai satu teman dekat, Azella. Tidak, sebenarnya teman-temanku di universitas tidak terlalu mempersoalkan masalah harta. Mereka juga tidak pernah membullyku karena aku kuliah denganbantuan beasiswa. Hanya saja aku merasa kecil bila berhadapan dengan mereka yang jauh lebih berduit dibandingkan diriku.
"Terima kasih telah mengantarku sehingga aku sehat, selamat, sentosa, tanpa kurang suatu apapun." ucapku pada Edward. Ia terkekeh geli, kemudian mengacak-acak rambutku.
Edward memandang rumah kecil dan sederhana di depannya. Ah, bagaimana jika ia tidak suka berteman dengan gadis miskin sepertiku?
"Jadi ini rumahmu?" ia memberikan pandangan menilai terhadap rumahku. Orang yang menilai sesuatu seenaknya saja itu sangat menyebalkan.
"Kecil," katanya, membuat hatiku nyaris kecewa jika ia tidak mengatakan kata-kata lanjutannya, "tapi bersih, indah, dan hijau."
Aku tersenyum gembira kemudian memukul lengannya dengan satu kepalan tanganku. Ia meringis kecil kemudian balas menjitak dahiku. Belum pernah kukatakan kah kalau jitakan Edward adalah jitakan paling mantap dan menyakitkan setelah Ayahku.
Kurasa Edward juga tidak mempermasalahkan kekayaan dalam ikatan pertemanan.
"Kau tidak menyuruhku masuk?" tanya Edward. Ia melipat tangan di depan dada dan mencibir, seakan meminta pertanggung jawabanku.
"Untuk apa, hm? Aku tidak pernah merasa mengundangmu ke rumahku." balasku. Aku berbalik dan berjalan ke arah rumahku. Tidak ada reaksi apa-apa dari Edward jadi kutinggalkan saja dia.
"Baiklah, mungkin lain kali. Aku pulang dulu, Val!" teriaknya dari belakang. Aku menoleh dan memberikan lambaian tangan padanya. Sementara itu Edward berlari menjauh dari sini, entah dia tahu jalan pulang atau tidak.
Baru saja aku akan membuka pintu gerbang, mataku menangkap sebuah pemandangan asing tak jauh dari tempatku berdiri. Di lapangan tak jauh dari rumahku, ada seseorang memarkirkan mobil sport yang kuyakin harganya jauh lebih mahal dari rumah mewah berkolam renang di pinggir jalan sana. Sial! Bukankah mobil itu, maserati gibhli?
Jarang sekali ada orang kaya yang memasuki area sekitar rumahku. Mereka ke sini pasti karena ada tujuan tersembunyi. Bisa saja mereka mempunyai tujuan licik, seperti membeli lahan di sekitar kompleks ini dan menjadikannya mall atau jalan tol.
Aku tidak melihat tanda-tanda adanya pengemudi di dalam mobil itu. Mereka mungkin sedang keluar atau apalah. Aku tahu seharusnya aku tidak ikut campur, tapi kedatangan monster spektakuler yang sangat mencolok saat terkena matahari itu membuat rasa penasaranku meninggi.
Aku berjalan mendekati mobil mahal itu perlahan-lahan. Dari kejauhan saja ia tampak sangat memukau, apalagi bila aku bisa mengendarainya. Bagaimana mungkin ia tega meninggalkan barang mahal di sini? Bagaimana jika mobilnya diderek orang lain? Apakah kaca ini bullet proof ? Ah, pertanyaan tidak penting.
Tidak kutemui tanda-tanda orang yang memarkirkan mobilnya sembarangan. Ini aneh. Lapangan ini tampak sepi seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda orang sekalipun hanya sekedar lewat saja.
Aku menyapu pandanganku ke sekeliling lapangan yang tidak terlalu besar ini. Nihil. Aku tidak menemukan tanda-tanda kehidupan apapun. Bahkan rumah-rumah di sekitar lapangan ini pintunya tertutup semua.
Srek...
Suara gesekan sepatu mengagetkanku. Tepat saat aku ingin menoleh ke belakang, ada seseorang yang menepuk pundakku dengan keras.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
***
Akhirnya update lagi uyy. Bahagianya!
Vote dan Comment selalu dinanti dengan sepenuh hati ya...
Luv luv luv
KAMU SEDANG MEMBACA
Married To The Bastard
FanfictionAku hanyalah gadis biasa. Aku mencintai keluargaku lebih dari apapun di dunia ini. Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya aku harus melakukan pengorbanan demi kebahagiaan keluargaku. Namun ada seorang pria. Ia tiba-tiba masuk ke dalam hidupku...