1

1.3K 86 12
                                    


07.30

Bunyi pisau yang beradu dengan telenan terdengar dari dapur. Seorang pria berumur 25 tahun terlihat sedang berjibaku dengan penggorengan dan spatula. Membolak-balikkan nasi berwarna sedikit kecoklatan, dia memasukkan irisan sosis dan bakso yang sudah di potong-potong. Menaburkan sedikit garam dan lada, lalu kembali membolak-balikkan nasi dengan gayanya yang terlihat maskulin namun santai.

Dia mematikan kompornya dan menaruh nasi goreng yang telah selesei dia buat ke dalam piring. Menaruh satu telur goreng di atasnya dan membawanya ke meja makan. Satu porsi nasi goreng telur dengan aroma yang khas, mampu membuat siapa saja yang mencium aroma itu membunyikan perutnya karena lapar.

Samudra Natio, itu nama panjangnya. Namun orang-orang lebih mengenalnya dengan nama Samudra. Di usia 25 tahun, dia sudah cukup sukses dengan membuka gerai makanan cepat saji di kotanya. Dia anak tunggal dan hanya tinggal seorang diri. Kedua orangtuanya meninggal 4 tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.

Samudra menarik kursi di ruang makan dan duduk dengan tenang. Menyantap nasi goreng yang tadi di buatnya dengan khidmat. Wajahnya yang putih, dengan hidung mancung, wajah yang terkesan dingin yang di wariskan dari mendiang ibunya. Dia lalu mengambil gelas berisi air putih dan langsung meneguknya. Setelah nasi goreng itu tandas tak tersisa, Samudra bangkit dari kursi dan berjalan ke arah bak cucian, menaruh piring itu di sana.

Setiap harinya hanya dia habiskan untuk bekerja dan bekerja, bahkan sahabatnya, Oniel, berkata bahwa Samudra sudah seperti robot pekerja. Ya, memang, kerja kerasnya selama ini membuahkan hasil yang hebat, gerai makanan cepat saji miliknya terhitung menjadi salah satu yang teramai di kotanya, dan tentu saja itu membuatnya memperoleh pundi-pundi uang yang tidak sedikit.

"Hah..."

Pria itu menghembuskan nafasnya. Menatap pantulan dirinya di kaca besar. Merapikan sedikit kemejanya, lalu merapikan rambutnya yang berwarna hitam. Tampan. Samudra Natio memang sangat tampan dengan wajahnya yang terkesan dingin itu.

Menyambar tas berukuran kecil dan jaket jeans yang tergantung di meja kamarnya, Samudra melenggang pergi menuju salah satu gerainya, tentunya setelah dia menutup pintu kamar dan rumahnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

Di sebuah perkampungan kumuh di pinggir kota, gadis berusia 23 tahun itu sedang terduduk di atas bangku reot di depan rumahnya. Hanya rumah sederhana yang terbuat dari papan triplek, atapnya terlihat bolong-bolong dan di sana-sini banyak sekali sarang laba-laba. Pintu reot itu terbuka, menampilkan laki-laki paruh baya berusia sekitar 40 tahun, memakai kaos oblong pendek dan topi berwarna hitam. Celananya lusuh yang terlihat banyak tambalan di kiri kanannya.

Laki-laki itu menghampiri gadis yang tengah duduk di atas bangku reot.

"Chika.. ayo pergi.." dia menyentuh punggung gadis yang bernama Chika. Gadis itu sedikit kaget.

"Kita akan pergi kemana ayah?" tanya Chika dengan wajahnya yang bingung.

Ayah Chika duduk di samping putrinya itu. Mengelus pelan rambut panjang milik Chika, entah mengapa air matanya menetes begitu saja.

"Ayah..??" panggilan Chika sukses membuat ayahnya sedikit kaget.

"Kita akan pergi kemana??" tanya Chika sekali lagi.

"Kita akan jalan-jalan ke pusat kota. Bagaimana? Kau mau??" jawab laki-laki itu sambil memandang sendu putrinya.

"Benarkah??" raut wajah Chika terlihat bahagia, bahkan dia kini sedang tersenyum senang, membuat laki-laki manapun pasti akan setuju jika gadis ini cantik.

VOICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang