8. [End]

664 79 8
                                    

Langit mendung dengan awan menggelap yang berarak, padahal jam masih menunjukkan pukul satu siang. Beberapa anak dengan seragam SD bergerombol sambil berceloteh ria, membicarakan idola mereka yang sebentar lagi akan comeback. Pejalan kaki berseliweran di depan restoran cepat saji, langkah mereka cepat agar terhindar dari hujan yang kemungkinan besar akan mengguyur kota.

Laki-laki bersurai hitam dengan wajah yang dingin itu masih saja termenung, lingkaran hitam samar-samar terlihat dari bawah mata laki-laki itu. Dia terus saja memperhatikan tetesan-tetesan air hujan yang kini mulai turun membasahi kota. Matanya jauh menerawang ke dalam masa lalu, mengingatnya membuat setetes air mata kembali mengalir melewati pipinya yang sedikit tirus.

Tangan putih yang kini terlihat sedikit kurus terangkat dan menyeka air mata sialan yang lagi-lagi jatuh tanpa permisi.

"Bos, laporan hariannya sudah aku kirim lewat email." ucap Adel pelan. Laki-laki yang di panggil bos itu hanya mengangguk lemah. Adel menghela nafasnya, lalu gadis bongsor itu kembali ke meja kasirnya.

Samudra masih saja termenung, dengan tangan yang menopang dagunya, matanya jauh menerawang ke masa lalu. Kembali, dia menghela nafasnya untuk yang kesekian kali, tangannya mengusap wajahnya dengan gerakan yang sedikit kasar. Dia bangkit, lalu melenggang pergi begitu saja meninggalkan restoran miliknya.

Hujan benar-benar mengguyur kota. Samudra berlari kecil menuju ke mobilnya yang terparkir rapi di sebelah restoran, dia membuka pintu mobil dengan tergesa-gesa, lalu menutupnya dengan gerakan yang sedikit kasar, hingga menimbulkan bunyi yang cukup membuat pejalan kaki kaget.

Duduk di balik kemudi dengan raut wajahnya yang kembali dingin. Samudra hanya terdiam, raganya memang disini, namun jiwanya entah dimana. Hujan semakin mengguyur kota dengan lebat, membuat cuaca menjadi dingin. Namun tidak dengan Samudra, laki-laki itu masih saja diam seperti patung, menghiraukan suara hujan yang lumayan memekakkan telinga.

Helaan nafas akhirnya keluar begitu saja, Samudra mengacak rambutnya frustasi, memukul setir kemudinya dengan brutal, hingga punggung tangannya terluka. Ingin rasanya dia berteriak, melepas semua kesedihan yang dia pendam selama ini, namun dia masih cukup waras untuk menahannya. Tidak mungkin kan dia berteriak di dalam mobilnya seperti orang kerasukan?

Hidup memang penuh kejutan. Dan Samudra masih saja terkejut dengan hidupnya yang kini berubah menjadi berantakan.

Mobil hitam itu perlahan melaju, membelah jalanan kota, menembus derasnya hujan, dan membawa laki-laki berlesung pipi di dalamnya entah menuju kemana.

.

.

.

.

.

.

.

.

Flashback.

Samudra membuka pintu kamarnya pelan, takut jika suara berisiknya akan mengganggu Chika yang tengah tertidur.

"Oh astaga.. kau belum tidur?" kaget Samudra saat mengetahui bahwa gadisnya itu masih terjaga. Chika tengah terduduk sambil bersandar pada kepala ranjang. Senyum lebarnya seketika terlihat menyambut Samudra yang baru saja pulang dari restoran.

"Aku tidak bisa tidur jika kau belum pulang." ucap Chika pelan. Membuat Samudra otomatis tersenyum. Dia lalu duduk di samping Chika, meraih selimut dan memakaikannya untuk mereka berdua.

Pillow talk. Mereka selalu melakukan itu sebelum tidur. Membicarakan apa saja sampai mengantuk.

"Samudra..."

VOICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang