"Hati-hati.."
Samudra membantu Chika untuk duduk di belakang rumahnya. Rumah Samudra walaupun tidak besar namun sangat nyaman, di belakang rumah ada semacam taman mini yang di tumbuhi berbagai jenis bunga dan tanaman lain, dulu taman mini itu milik ibunya, dan kini Samudra yang merawatnya.
"Aku menyebutnya ruang rekreasi, aku biasa menghabiskan malam disini jika sedang tidak ada pekerjaan." jelas Samudra, dan Chika hanya menganggukkan kepalanya, menikmati aroma tumbuhan yang berbaur dengan udara malam yang segar.
"Apa bintangnya banyak?" tanya gadis itu.
Samudra menengadahkan kepalanya.
"Uhum. Banyak sekali. Langitnya jadi seperti kanvas yang di lukis dengan gemerlapan bintang yang berwarna-warni." jawab Samudra. Dia tersenyum menatap Chika yang tengah menatap langit.
Tangan gadis itu terulur ke depan.
"Dimana bintang yang paling terang?" Chika menggapai-gapai dengan satu tangannya.
Samudra bergerak lebih dekat ke samping gadis itu. Tangannya menggenggam pergelangan tangan Chika dan mengarahkan ke satu bintang yang memang lebih terang di banding yang lain.
"Bintang yang sedang kita tunjuk, itu yang paling terang."
Chika tersenyum. Samudra masih menggenggam tangan gadis itu, dan dia masih saja terus memperhatikan wajah Chika dari samping. Dia tidak pernah bosan melakukannya, memandang wajah Chika seperti ini membuatnya candu.
"Kau tau? Kata ayahku, jika seseorang sudah meninggal, maka saat malam mereka akan berubah menjadi bintang yang paling terang." ucap Chika. Dia menurunkan tangannya, yang otomatis tangan Samudra juga ikut turun, namun Samudra masih setia menggenggam tangan gadis buta itu.
"Apa menurutmu bintang yang paling terang itu adalah perwujudan ayah dan ibuku?" tanya Samudra.
"Mungkin saja. Karena mereka tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian, Samudra.." Chika menoleh ke arah Samudra, senyumnya tercetak jelas, semakin menawan saat di tempa cahaya dari bulan.
"Berarti kini tiga orang yang paling spesial dalam hidupku tengah berkumpul." Samudra melepas tautan tangannya pada tangan Chika. Dia memegang syal gadis itu dan memperbaiki letaknya, agar Chika tidak merasa kedinginan.
Chika tersipu malu, pipinya bersemu merah dan itu sungguh menggemaskan. Untung malam, jika siang hari, maka Samudra pasti akan mengetahui bahwa pipi gadis itu merona karena ucapannya.
"Syalnya terlihat sangat cocok denganmu.."
Chika kembali tersenyum, jantungnya berdebar dua kali lipat dan itu sukses membuat pipinya kembali merona merah. Samudra yang melihatnya hanya tersenyum gemas, tangannya terulur dan mengusap pelan pucuk kepala Chika.
"Bintang itu... Apa sangat indah??" tanya Chika pelan.
Samudra menoleh ke arah Chika, menggenggam tangan gadisnya itu.
"Sangat indah.." ucap Samudra masih menatap wajah Chika. Hatinya kembali berdebar, merasakan sensasi hangat yang membuat dunianya seakan riuh oleh nyanyian-nyanyian pujangga cinta.
Malam ini mereka menghabiskan waktu berceloteh di ruang rekreasi milik Samudra. Chika banyak sekali bertanya tentang apa saja yang ingin dia ketahui, dan dengan tersenyum lembut Samudra selalu menjawab pertanyaan dari Chika. Kedua manusia itu masih duduk bersebelahan, beratapkan langit yang bertabur bintang, Samudra mengeratkan genggaman tangannya pada Chika. Menyalurkan seluruh perasaan sayangnya pada gadis itu.
"Jika kau bisa melihat, apa yang ingin kau lihat pertama kali??" tanya Samudra.
"Tentu saja kau. Aku ingin melihat malaikat tanpa sayap yang di kirim Tuhan untuk menemaniku selama ini.." jawab Chika.
KAMU SEDANG MEMBACA
VOICE
FanfictionTakdir memang selalu tidak terduga. Samudra, bertemu dengan gadis buta yang mampu merubah hidupnya yang kesepian. Namun lagi-lagi takdir memang selalu tidak terduga, tautan takdir yang bagai melodi sedih itu meluluhlantakkan kehidupan Samudra dengan...