06

107 14 21
                                    

🥀🥀🥀

"Ngapa muka kusut begitu?" Asep yang tengah duduk di serambi masjid tampak kebingungan, kala melihat Gamma pulang dengan wajah yang cemberut. "Bukannya lu tadi pamit mau langsung ke rumah si Kavian?"

"Kagak jadi! Udah panas duluan ini ati," celetuk Gamma seraya menghampiri sang bapak.

Pria yang mengenakan sarung dan kaus dalaman berwarna putih itu makin dibuat bingung oleh Gamma. "Ari maneh ku naon Gamma?"

"Anak gadis Bapak, bikin Gamma emosi mulu. Kalo Gamma getok kepalanya, kira-kira dia nangis nggak, ya, Pak?" Gamma mengadu setelah duduk di samping sang bapak.

"Hulu maneh, nu digetok ku aing," sungut Asep, tangannya sudah bersiap hendak memukul kepala sang anak. "Wawanianan maneh!"

Gamma melindungi kepalanya menggunakan kedua tangan. "Ah, Bapak nggak asyik! Masa ngebela Mecca. Anaknya lagi tersakiti ini!"

"Tersakiti ku naon deui maneh? Biasanya lu duluan yang usil. Neng Mecca nggak bakal mulai duluan, kalo lu kagak mancing, Gam. Bapak udah hafal watak kalian." Jangankan Mecca, Asep saja sudah tidak mempan oleh drama yang Gamma buat.

Rasa kesalnya makin menjadi-jadi, membuat Gamma memilih memasuki kamarnya. Melempar topi serta jaket jeans berwarna hitamnya kesembarang arah. "Susah juga suka sama buaya pake anting, lengah dikit dia udah nebar jala."

Gamma kembali keluar dari tempat ternyamannya, lalu pergi ke dapur untuk mengambil air. Tenggorokannya selalu merasa kering, padahal tadi ia sudah minum lemon tea milik Mecca.

"Gue mau fokus sama kuliah dulu, gue nggak mau pacaran dulu. Trauma gue sama cowok, mending gue ngejar skripsi. Masa gue kalah sama lo." Gamma mengulangi ucapan Mecca dua bulan yang lalu, lengkap dengan cara Mecca berbicara. "Tai kucing! Baru gue tinggal meleng bentar dia udah jalan sama yang lain."

Gamma terus mengomel, sampai ia melupakan Mecca yang ia tinggalkan di tempat makan yang cukup ramai tadi. Hatinya sangat panas, ia benar-benar harus membuat strategi untuk mendapatkan Mecca kembali. Untuk hari ini ia masih menang, tetapi belum tentu dengan besok. Bisa saja ada laki-laki lain yang datang, lalu disambut oleh Mecca. Ia harus gencar mendekati Mecca.

Gamma menarik kursi meja makan, ia duduk dan mengeluarkan ponselnya. "Langkah pertama, mari kita pantau lagi akun sosmed si Meccalodon."

Ia membuka aplikasi dengan simbol X, yang sering Mecca gunakan. Gamma sejujurnya bukan pemuda yang paham dengan dunia sosial media, ia menggunakan aplikasi-aplikasi itu hanya karena Mecca memilikinya. Setelah membuat akun, Gamma hanya akan mendiamkan dan menggunakannya untuk memantau Mecca. Tak ada satu pun gambar, atau sekedar kata-kata yang Gamma posting di akun media sosialnya. Sampai para adik tingkatannya pun mengira jika Gamma lupa dengan kata sandi akunya.

Ketika Gamma membuka aplikasi, hal pertama yang muncul adalah foto Mecca yang mengenakan kaus rajut putih. Ia berpose menyimpan tangannya di pipi, lalu tersenyum manis dan membuat Gamma ikut tersenyum. Mecca hanya memberikan stiker senyum sebagai keterangan gambarnya dan foto itu diunggah beberapa jam yang lalu.

Niat iseng Gamma pun muncul, ibu jarinya mulai mencari foto dirinya yang mengenakan jaket jeans berwarna putih. "Kayaknya gue pernah dipaksa foto sama si Mecca pas pake jaket itu, tapi di mana, ya?"

Setelah beberapa detik mencari, Gamma menemukan foto yang ia maksud di galeri paling bawah. Ia pun mengunggahnya, lengkap dengan caption yang cukup panjangan dan stiker yang sama dengan Mecca.

Postingan pertamanya langsung dibanjiri komentar, tetapi komentar yang Gamma tunggu tak kunjung muncul. Sambil menunggu, Gamma akhirnya melihat komentar-komentar pada postingan Mecca.

"Si bangke! Apa-apaan ini! Kenapa komenannya begini semua?" Emosi Gamma semakin meluap-luap. Tanpa sadar dua ibu jarinya menari di atas keyboard untuk membalas setiap komentar yang mayoritas laki-laki itu.

Kata-kata seperti "Masih gue pantau. Situ oke sampe minta kenalan segala." Gamma tuliskan, bahkan pemuda itu sampai memberi nomor panggilan darurat saat ada pemuda yang meminta nomor ponsel Mecca.

Saat sibuk dengan semua itu, notifikasi dari grup whatsapp berbunyi. Gamma pun membuka room chat grup miliknya bersama dua temannya.

Kavian
[Mengirim gambar]
[Emang boleh secouple ini?]

Dimas
[Wah temen lo ada kemajuan]

Membaca semua itu Gamma hanya bisa menghela napas. Pasalnya, kenapa harus Kavian yang menyadari modusnya? Kenapa bukan Mecca? Gamma akan menerima dengan senang hati, meski Mecca mengiriminya pesan hanya untuk memarahinya.

Dengan malas dan sedikit emosi Gamma pun membalas pesan dari para sahabatnya.

Gamma
[Berisik! Lo berdua nggak usah banyak bacot!]
[Kemaren-kemaren nyuruh gue gerak]
[Gue gerak lo berdua malah ribut]

Kavian
[Emang boleh segerak ini?]

Dimas
[2]

Gamma
[Tai lo berdua]

Kavian dan Dimas semakin gencar mengejek Gamma, tetapi pada akhirnya dua pemuda itu tetap mendoakan Gamma, agar mereka bisa kembali bersama. Jujur saja, Kavian dan Dimas merasa keduanya memang masih memiliki rasa. Hanya saja, Mecca tak menyadarinya. Gadis itu malah sibuk mencari orang di luar sana, sedangkan ia sudah memiliki rumah yang nyaman untuknya tinggal.

Gamma yang sudah hendak kembali ke kamar pun mengurungkan niatnya, kala Kavian memintanya untuk datang ke rumah.

"Ada job buat lo, mayan buat ngajak Mecca jajan." Pesan singkat itu mampu membuat Gamma kembali mengenakan jaket serta topinya, lalu melesat ke daerah Cipete. Dimana rumah Kavian berada.

Sementara di lain tempat, Mecca terus menggerutu saat Gamma benar-benar meninggalkannya. "Cowok stres! Cowok sinting! Cowok gila! Gue bener-bener bakal aduin lo ke Bapak Asep, liat aja lo, Gam. Sekate-kate banget ninggalin gue, harusnya dia tanggung jawab dong. Dia udah bikin Akbar kabur, dia juga yang harusnya anterin gue balik. Ini malah pundung kayak anak perawan."

Jarak dari tempat makan all you can eat ke rumah Mecca memang tak terlalu jauh, hanya beberapa kilo saja. Namun, jika harus berjalan kaki, ya, melelahkan juga. Akhirnya Mecca memesan ojek online, karena tak sudi menghubungi Gamma.  Kenapa jadi Gamma yang marah? Harusnya dirinya yang marah, sebab acaranya gagal total akibat pemuda itu.

Bukan sekali ini saja Gamma begitu. Setiap Mecca sedang pendekatan dengan laki-laki lain, ada saja tingkah Gamma yang berhasil merusak acaranya. Akan tetapi, Gamma akan sedikit anteng dan menjauh saat Mecca sudah berpacaran. Rumit, kan, anak Bapak Asep ini?

Namun, kali ini Gamma sudah sangat keterlaluan. Ia sampai berani mencium Mecca dan itu sudah menyalahi aturan persahabatan mereka. Gamma dan Mecca memang dekat, tetapi hanya sampai berpelukan. Itu pun terkadang Mecca lakukan jika telalu senang, atau sedang sedih. Untuk cium-cium seperti tadi, tak pernah mereka lakukan.

🥀🥀🥀

200 Days || Xie Junze ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang